Bab 65 - Menghadapi Cobaan

Agam menghela napas dalam, tangannya tiada henti menggengam tangan lain yang berukuran jauh lebih mungil dari miliknya itu. Sebuah tepukan pelan pada bahunya membuat kepala pria itu tertoleh, di sampingnya, berdirilah sosok Jhesen yang telah mengeluarkan raut wajah yang tak jauh berbeda. "Gam ... menurut gue, ada baiknya kita berhenti nyembunyiin ini semua dari dr. Zhorif," kalimatnya menggantung sesaat ketika matanya bergerak untuk memerhatikan kondisi Zhara yang terkulai lemas di atas brankar, "keadaan Zhara semakin parah karena ulah kita. Pada faktanya, kita bukan ngebantu dia untuk memperbaiki situasi, yang ada malah memperkeruh masalah."

"Lo nggak paham, Jhes ... lo nggak akan paham ketakutan terbesarnya sampai mutusin untuk melangkah sejauh ini," ujar Agam sembari mengelus punggung tangan Zhara. "Dia udah berjuang sendirian selama ini. Jadi, gue, sebagai salah satu orang terdekatnya, nggak mau ngerusak itu, dan gue harap, lo dan Aufa juga bisa berusaha untuk memahami dan menghormati keputusan dia."

Jhesen berniat membuka mulutnya kembali untuk menentang ucapan Agam yang dirasanya salah. Namun, niatnya harus terhenti karena Zhara yang tiba-tiba menggerakkan jarinya. Kedua pria itu terlihat antusias menanti kesadaran sahabat perempuannya itu hingga tak sadar bahwa seharusnya mereka telah memanggil dokter untuk memeriksa kembali kondisi wanita itu.

Bulu mata lebat dan lentik itu perlahan bergerak beriringan dengan terbukanya mata bulat milik Zhara. Butuh beberapa menit baginya untuk menyadarkan diri sebelum menyadari bahwasanya Agam dan Jhesen telah berdiri di dekatnya, memandangnya dengan tatapan bercampur aduk antara lega dan khawatir.

"Hai..."

Sapaan manis dan lemas Zhara yang sangat canggung itu membuat Agam dan Jhesen kompak terkekeh geli. Tentu saja karena mereka tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian. Memangnya sejak kapan ada orang yang baru bangun dari pingsan langsung berkata hai?

Agam mengulurkan tangannya untuk mengelus pucuk kepala Zhara sembari berkata, "Gimana? Udah enakkan badannya?"

Alis wanita itu tiba-tiba bertaut, ia menggerakkan bola matanya untuk memeriksa keadaan sekitar dan pada akhirnya, baru menyadari bahwa dirinya bukan baru bangun dari tidur, melainkan dari pingsan, dan saat ini dirinya tengah dirawat di sebuah rumah sakit. Zhara bangkit dari posisinya dengan bantuan Agam, wajahnya menyorotkan rasa panik. "Ini di rumah sakit mana?" Tidak ada jawaban dari kedua pria itu. Lebih tepatnya, Agam sengaja tidak menyahut untuk menunjukkan seberapa paniknya Zhara—apabila suaminya tahu—kepada Jhesen. "Aku nggak boleh ada di sini." Zhara bersiap untuk melepas infusnya, tetapi pergerakkannya itu buru-buru ditahan oleh Agam. "Agam, aku nggak boleh di sini. Mas Zhorif nggak boleh tau kalau aku sakit..." Wanita itu menangis frustrasi karena Agam tidak mendukungnya dan malah menahan kepergiannya.

Agam melirik Jhesen, membiarkan pria itu melihat apa yang akan terjadi apabila mereka mengambil langkah tanpa persetujuan dari Zhara terlebih dahulu. "Ra, dengerin gue..."

Zhara memberontak, melepaskan cekalan pria itu dari lengannya, kemudian menatap Jhesen dengan tatapan memelas. "Jhesen, tolong bantuin aku, bilang ke Agam kalau aku harus pulang ke rumah sekarang." Wanita itu meraih tangan Jhesen dan menggoyang-goyangkannya agar pria itu segera merespon.

Jhesen menghela napasnya dalam, manik kembarnya bergerak ke atas begitu ia menengadah, berusaha kuat untuk tidak menjatuhkan air mata karena merasa pilu melihat kekacauan salah satu sahabat yang disayanginya itu. "Ara, dengerin gue..." Pria itu menangkap dan menggenggam kedua tangan Zhara, mencoba untuk sedikit menenangkan perasaannya meski tidak berhasil. "Ini bukan rumah sakit Wira Atmadja, suami lo nggak bakalan tau kalau lo sakit."

Rasanya, tumpukan batu yang menekan hati Zhara selama beberapa menit lalu langsung terangkat. Wanita itu menangis lega sembari menggumamkan terima kasih kepada kedua sahabat laki-lakinya. Melihat itu, membuat Jhesen tidak kuasa menahan dirinya untuk tidak segera mendekap Zhara masuk ke dalam pelukannya. Ia tidak pernah menyangka akan melihat sahabatnya setragisini. Persahabatan mereka terlalu kuat hingga rasanya Jhesen juga dapat ikut merasakan kekhawatiran besar yang dialami oleh wanita itu.

*

*

*

Cklek!

"Assalamualaikum..."

Zhorif masuk ke dalam apartemennya dengan sebuah senyuman yang merekah. Tubuhnya memang terasa pegal-pegal karena harus melakukan beberapa operasi hari ini hingga tidak sempat makan, tetapi ketika membayangkan wajah menggemaskan Zhara yang menunggunya sembari uring-uringan di sofa, rasa letih itu serasa hilang begitu saja.

Tubuh Zhorif langsung membeku ketika menemukan sosok-sosok yang tidak diharapkannya sudah menguasai ruang tengah. Siapa lagi kalau bukan Teletubbies? Rahang bawah Zhorif sedikit jatuh ketika melihat tempat tinggalnya yang sudah persis seperti kapal pecah, beragam sampah kemasan snack berceceran di atas lantai, belum lagi remahan biskuit yang mengotori karpet abu-abu mahalnya.

"Mas Zhorif!"

Zhara bangkit dari posisi guling miringnya dengan sebuah senyuman lebar. Wanita itu melompat-lompat kegirangan sebelum berlari untuk memeluk tubuh suaminya yang masih membeku di tempat karena terserang syok. "Mas Zhorif kok, pulangnya malem banget, sih?" Seharusnya Zhorif yang merasa kesal karena tempatnya dibuat mirip seperti kandang babi, tapi yang mengerucutkan bibirnya lebih dulu malah Zhara.

Dengan kedua tangan yang masih setia melingkar di leher suaminya, Zhara mengikuti arah pandang Zhorif yang mengarah ke Agam, Aufa, dan Jhesen yang telah menyengir kuda tanpa dosa. Ketiga insan itu bangkit berdiri sembari melambai-lambaikan tangan, menyapa Zhorif secara singkat sebelum bergegas membereskan kekacauan yang dibuat oleh mereka sendiri.

"Mas nggak masalah 'kan, temen-temenku nginep di sini?" Dengan tidak pekanya Zhara malah tersenyum manis. "Rencananya, mereka cuma mau nginep selama—hmm ... tadi berapa hari ya, Guys?" Wanita itu menatap ketiga sahabatnya dengan alis yang bertaut karena lupa.

Zhorif sudah merasakan aura tak enak ketika melihat wajah cengengesan Jhesen. "Empat hari?!" Zhorif refleks berseru ketika Aufa mengacungkan keempat jarinya sembari senyam-senyum tak tahu malu. Zhorif sudah terlihat seperti seseorang yang terkena serangan jantung ketika beranggapan bahwa Teletubbies akan menginap di tempatnya selama beberapa hari. Namun ketika melihat ketiga insan itu menggelengkan kepalanya bersamaan, Zhorif merasa sedikit lega, mungkin ia salah tangkap, mungkin yang dimaksudkan Aufa adalah perempuan itu bersama temannya yang lain belum ingin pulang dan masih ingin bermain di apartemennya selama empat jam lagi.

"Empat bulan, Bang..."

"Hah?!" Zhorif terbelalak kaget, kemudian menatap Zhara yang malah mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui ucapan Agam. "Sebentar, sebentar..." Pria itu meminta semuanya diam agar ia bisa fokus mencerna kembali maksud ucapan adik sepupunya. "Jadi, maksud kalian, kalian mau nginep di sini selama empat bulan meskipun kalian tau kalau apartemen ini cuma punya dua kamar?" tanyanya memastikan.

Hati Zhorif mencelos ketika dengan polosnya ketiga mahluk itu menganggukkan kepala secara berkala. Zhorif mengalihkan perhatiannya ke arah Zhara yang juga tengah menatapnya. "Beri saya beberapa menit untuk berbincang berdua dengan Zhara." Usai itu, Zhorif menarik pergelangan istrinya untuk masuk bersamaan dengannya ke dalam kamar, pria itu mengunci pintu kamar mereka dan menatap Zhara yang terlihat kebingungan.

"Mas Zhorif kenapa?"

"Zhara, apa kamu nggak merasa kalau teman-teman kamu itu terlalu berlebihan? Setiap hari mereka selalu mampir ke sini dan sekarang malah meminta untuk menginap di sini. Jujur, Mas nggak masalah kalau itu cuma sekadar satu atau dua hari, tapi ini empat bulan. Empat bulan yang berarti enam belas minggu, Zhara." Zhorif mengguncang pelan bahu istrinya untuk membuat wanita itu segera tersadar akan apa yang telah ia perbuat.

Bukannya berusaha memahami maksud tersirat sang suami, Zhara malah terkikik karena merasa kegelian tubuhnya digerakkan seperti itu. "Iya, Mas ... aku tau kok, arti empat bulan."

Zhorif menatap istrinya frustrasi, tampaknya ia telah gagal dalam menjelaskan isi hatinya yang sebenarnya. Pria itu menghela napas dalam sebelum bertanya, "Kamu mau mereka tidur dimana? Aufa itu perempuan, kita nggak mungkin biarin dia tidur di kamar yang sama dengan Agam dan Jhesen."

"Aku nggak pernah bilang kalau Aufa bakal tidur di kamar yang sama dengan mereka lho, Mas..." Zhorif mengangkat salah satu alisnya, tiba-tiba merasakan adanya awan kelabu yang berhinggap di kamar itu. "Mas dan aku akan pisah ranjang, aku tidur di sini sama Aufa, dan Mas Zhorif tidur sama Agam-Jhesen di kamar tamu."

Zhorif menatap istrinya tidak percaya, ingin berdecak frutrasi, tetapi tidak bisa karena kemungkinan besar Zhara akan menganggapnya marah dan kemudian wanita itu akan menangis tersedu-sedu. "Apa kamu bahkan mengerti arti dari kata pisah ranjang yang sebenarnya?" Pria itu menghela napasnya pasrah sebelum mengangguk-anggukkan kepalanya. "Untuk malam ini, Mas akan berusaha ikhlas biarin mereka tidur di sini, tapi besok, Mas nggak mau tau, mereka udah harus pulang ke rumah masing-masing." Rapat itu ditutup ketika Zhorif meletakkan ponselnya di tepi kasur dan melenggang masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Zhara mengembungkan pipinya kecewa karena telah gagal membuat teman-temannya bisa menginap dalam kurun waktu yang lama. Tentunya ia dan Teletubbies lain melakukan hal itu bukan tanpa sebab, semuanya merupakan ide Jhesen yang takut Zhara akan kenapa-napa dan tak ada yang bisa membantunya jika Zhorif sedang berada di rumah sakit. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menjaga Zhara seketat mungkin hingga wanita itu melahirkan.

Drrttt ... drrrtttt....

Lamunan Zhara terhenti ketika ponsel milik suaminya bergetar. Wanita itu mengambilnya, berniat untuk memberikannya pada Zhorif karena mungkin saja itu merupakan panggilan darurat dari rumah sakit. Namun, niatnya terhenti ketika melihat nama Shanzel tercetak jelas di layar. Dengan ragu-ragu, ia mengangkat panggilan tersebut.

"Rif, lo udah baca chat gue? Dari tadi gue udah bolak-balik ke ruangan lo untuk nyampaiin langsung, tapi nggak ketemu-temu juga sama lo. Kata suster di sana, lo sibuk operasi hari ini."

"Perihal penyakit Zhara, gue rasa ada baiknya dia di—"

Tit!

Tubuh mungil Zhara bergetar hebat, matanya berkaca-kaca karena rahasia besarnya selama ini hampir saja terbongkar. Wanita itu menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya dengan kasar, merasa tidak ada waktu untuk menangisi hal tersebut karena yang terpenting baginya saat ini adalah segera menghapus pesan yang dikirimkan Shanzel kepada suaminya, kemudian memblok nomor pria itu dari kontak Zhorif.

"Zhara, kamu sedang apa?"

Zhara refleks memutar tubuhnya dan menatap suaminya dengan ekspresi terkejut setengah mati. Tamat sudah! Ia pasti telah tertangkap basah sedang mengotak atik ponsel suaminya sendiri.

"Mas..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top