Bab 64 - Sakit

Jari-jari pria itu tidak berhenti mengetuk meja menandakan bahwa sang pemilik sedang berpikir keras. Shanzel memandangi lembaran kertas hasil medical check up milik seorang pasien yang merupakan keluarga dari kenalannya. Kedua alis pria itu saling bertaut keheranan, merasakan adanya keanehan dari data tersebut. Jika didasari dari pemeriksaan, seharusnya Zhara tidak dalam kondisi yang dapat dikatakan baik-baik saja. Namun, yang membuatnya kebingungan adalah mengapa pasiennya yang satu itu tidak pernah mengeluhkan apapun? Misalnya, mual atau muntah-muntah, pusing, nyeri pada bagian perut kanan atas, dan gangguan penglihatan.

Tok, tok, tok!

"Masuk!" Shanzel menengadahkan kepalanya untuk melihat sosok yang sudah dinanti-nanti olehnya itu.

"Tumben lo manggil gue." Dhea masuk ke dalam ruangan Shanzel dengan langkah lesu. Wanita itu kemudian mengambil duduk di kursi konsultasi, menatap sahabat laki-lakinya itu dengan lesu pula sebelum bertanya dengan ketus. "Apaan?"

Shanzel menyerahkan lembaran kertas yang sejak tadi berada di tangannya kepada Dhea, secara tak langsung menyuruh wanita itu untuk membantunya menganalisis data yang dia ragukan. Meski setengah hati, Dhea tetap menerimanya. Namun baru membaca lembar pertama, matanya sudah membulat kaget. "Ini 'kan, istrinya Zhorif?!"

"Hm," sahut pria itu membenarkan. Shanzel menghela napasnya lelah ketika Dhea tiba-tiba melemparkan kertas itu kembali ke arahnya, menolak untuk membantu. Bagaimana tidak? Ia masih merasa jengkel dengan gadis muda yang telah merebut pria impiannya. Ditambah lagi, Zhara juga pernah mempermalukannya di depan banyak orang dengan memanggilnya 'Tante'. "Dhe, please ... buktiin ke gue kalau selama ini bersahabat sama cewek rempong kayak lo ada gunanya." Wajah memelas yang dikeluarkan Shanzel membuat Dhea merasa tak enak hati untuk kembali menolak.

Dhea mengambil kembali berkas itu dan membacanya dengan saksama. Usai mendapat kesimpulan, wanita itu langsung menyilangkan kedua kakinya dan bersedekap dengan dagu yang terangkat angkuh. "Seriusan, Zel? Masa gini aja lo nggak tau."

"Gue curiga eklamsia, tapi yang gue heran, kenapa pasien nggak pernah komplain masalah kesehatannya?"

"Nggak ada keluhan?" Dhea membeo. Memang benar bahwasanya Dhea juga mencurigai Zhara menderita eklamsia, tapi ketika mendengar Shanzel mengatakan bahwa pasiennya itu sama sekali tidak pernah mengeluhkan sakit membuatnya menjadi tak yakin akan hasil analisisnya sendiri. Oleh karena itu, ia buru-buru membaca kembali data tadi untuk segera memastikan. "Setau gue, penderita eklamsia seharusnya merasakan sakit kepala yang parah, lho."

"Gue juga tau kalau itu."

Dhea berdecak sebal sebelum memukul kepala Shanzel dengan lembaran kertas itu. "Gimana sih, lo, Zel?! Sebelum menderita eklamsia seharusnya dia ngelewatin fase preeklamsia dulu. Bisa-bisanya lo kecolongan..."

Shanzel mendengus gusar. Pria itu mengacak rambutnya frustrasi, perasaannya sudah bercampur aduk antara kecewa dan juga kesal pada diri sendiri karena merasa telah gagal membantu merawat kesehatan pasiennya.

"Lo mau kemana?" Dhea mencekal pergelangan tangan Shanzel ketika pria itu tiba-tiba saja bangkit dan hendak meninggalkan ruangan tanpa pamit terlebih dahulu.

"Bicara sama Zhorif."

***

"Aduh, ngakak banget gue!"

Jhesen memeluk perutnya yang kegelian karena tak bisa menahan tawa. Di sebelahnya, Aufa juga ikut tertawa sembari memukuli meja yang berada di hadapannya. Saat ini ketiga anggota Teletubbies, yakni Zhara, Aufa, dan Jhesen sedang berkumpul di sebuah restoran sushi yang baru saja dibuka di dalam sebuah mal besar. Zhara menceritakan kejadian kemarin, kejadian dimana ia mengecup bibir suaminya di hadapan kedua orang tua, kakak sepupu, dan kenalannya kepada Aufa dan Jhesen. Ia juga menambahkan kisah yang terjadi selanjutnya, yaitu Zhorif yang tidak berhenti menceramahinya seperjalanan kembali ke apartemen.

"Ngadi-ngadi sih, lo!"

Tawa mereka belum juga selesai. Aufa dan Jhesen sama sekali tidak mempedulikan tatapan terganggu pengunjung lain. Pasalnya mereka memang selalu begitu, jauh berbeda dari Agam yang biasanya sangat peka dan memiliki urat malu manusia normal. Zhara tersenyum tipis sembari meminum sedikit teh hangat yang berada di atas mejanya. Meski sejak pagi sudah merasa tak enak badan, ia tetap memaksakan diri untuk pergi karena tak enak hati telah membuat ketiga sahabatnya sampai rela bolos sekolah hanya untuk bertemu dengannya.

"Bibir lo pucet amat sih, Ra. Mau pinjem liptint gue, nggak?" tanya Aufa yang pekanya hanya setengah-setengah. Gadis itu hanya mengangguk singkat ketika melihat Zhara menggelengkan kepalanya menolak. "Si Agam mana, sih? Udah setengah jam nungguin belum dateng juga!" Aufa berdecak sebal sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam tas untuk menghubungi sahabatnya yang satu itu. Baru saja hendak menekan nomor yang dituju, Agam sudah lebih dulu menampakkan batang hidungnya. Sayangnya Agam tidak sendiri seperti dugaan mereka, melainkan bersama seorang gadis lain yang gayanya benar-benar mencolok hingga menarik banyak mata di sekitar.

"Sorry, telat." Agam berucap dengan santai.

"Lo ngapain bawa dia?" Aufa menatap Vierra—perempuan yang datang bersama Agam—dengan tatapan menilai. "Mau buat gue menggila? Siapa takut!" Aufa sudah bersiap untuk bangkit dari posisinya. Namun, ia harus kembali ke posisi semula karena Jhesen yang menarik tangannya kuat, tidak membiarkan gadis itu untuk mempermalukan dirinya sendiri di hadapan banyak orang asing.

Agam terkekeh geli dengan wajah tak berdosa. Pria itu kemudian memersilakan Vierra untuk duduk di kursi kosong, tepatnya di sebelah Zhara yang masih memproses rasa terkejutnya. "Dia punya niat baik."

"Niat baik pala lo! Sini gelud aja yuk, kita, Gam!" Aufa menggulung kemeja bagian tangannya dan bersiap untuk menjambak rambut Agam kalau saja Jhesen tidak kembali menghalanginya. "Lo apaan sih, Jhes?! Lepasin, nggak?! Gue jambak juga ya, jambul lo!" ancamnya garang yang membuat Jhesen langsung lepas tangan, tak ingin mengambil risiko.

"Gue minta maaf..."

Tubuh Aufa membeku seketika, tak jauh berbeda dengan Zhara yang sejak tadi tak bersuara.

"Gue mau minta maaf sama lo, Zhara." Kalimat itu diperjelas hingga membuat Zhara tak mampu mengondisikan dirinya. Wanita itu langsung menoleh untuk menatap Vierra yang masih setia menundukkan kepalanya, mungkin merasa takut atau tidak percaya diri. "Gue nggak seharusnya menyiksa lo sekeji itu, apalagi di saat gue tau kalau lo lagi hamil." Tubuh kurus Vierra bergetar, membuat Teletubbies kompak melotot karena tidak menyangka bahwa Vierra akan berekspresi sampai sebegitunya. Gadis itu kemudian menyentuh tangan Zhara yang berada di atas meja dan menggenggamnya erat. "Gue janji, gue nggak akan ngulangin kesalahan yang sama. Jadi, tolong maafin gue, Zhara..."

Usai tersadar dari rasa kagetnya, Zhara ikut menggenggam tangan Vierra yang bergetar. Wanita itu tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Aku mau maafin kamu, kok." Zhara menarik Vierra untuk masuk ke dalam pelukannya, menepuk punggung gadis itu sembari berkata, "Udah, jangan nangis lagi. Aku sekarang suka ikutan mellow kalau liat orang nangis."

Agam tersenyum lega melihat dua perempuan itu  telah menyelesaikan permasalahan mereka. Pria itu kemudian mengambil beberapa lembar tisu dan menyodorkannya pada Vierra yang tangisannya semakin menjadi karena merasa terharu akan kebaikan hati seorang Zhara. Agam melirik Aufa yang tidak ingin bertatap mata dengannya, mungkin merasa malu karena telah berburuk sangka.

Jhesen bertepuk tangan riuh usai Vierra dan Zhara mengurai pelukan. Hal itu sengaja ia lakukan untuk mengusir rasa canggung yang mungkin hanya dirasakan olehnya dan Aufa. "Oke, karena sekarang masalahnya udah clear, kita bisa pesen makanan, 'kan? Udah bergetar nih, perut gue."

"Yaudah, lo bertiga duluan aja, gue sama Vierra di akhiran," ujar Agam kepada ketiga sahabatnya.

Metode makan di restoran itu memang sedikit berbeda dari tempat lainnya karena di sana para pembeli diharuskan untuk memesan dan memilih langsung pesanan mereka di kassa. Seperti biasa, Aufa dan Jhesen sudah lebih dulu mengacir pergi dengan semangat Extra Joss. Di belakangnya, Zhara tampak menyusul dengan langkah gontai, kulit wajahnya terlihat semakin pucat pasi. Beruntung kejanggalan itu segera ditangkap oleh mata jeli Agam sehingga ketika tubuh Zhara tiba-tiba jatuh terhuyung ke belakang, pria itu sudah lebih dulu menahan kepala dan juga pinggang wanita itu agar tak berbenturan dengan lantai.

"Ra!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top