Bab 63 - Panik

Usia kandungan yang mulai memasuki lima bulan minggu ke satu membuat Zhorif memutuskan untuk membawa istrinya memeriksa kandungan kembali meski tepat satu minggu sebelumnya mereka sudah melakukannya.

"Selama ini kamu yakin tidak pernah mengalami pusing berlebih dan mata memburam?"

"Yakin, Dok!"

Shanzel menautkan kedua alisnya sembari menatap manik Zhara dengan saksama, takut-takut bahwa wanita itu tengah berbohong padanya sebab jika dilihat dari tingkat pembengkakan yang terjadi pada anggota gerak Zhara, terutama bagian tungkai, yang lebih cepat dari usia seharusnya, wanita itu memiliki kemungkinan telah mengidap preeklamsia atau mungkin juga eklamsia (penyakit lanjutan preeklamsia).

Zhorif menyentuh bahu Shanzel, memaksa pria itu untuk segera menghadap ke arahnya. "Kenapa? Ada yang nggak beres? Perlu tes urine?" tanyanya yang sudah keburu khawatir dan panik duluan.

Shanzel memutar bola matanya malas seiring napasnya mendengus. Pria itu menjauhkan tangan Zhorif dari salah satu bahunya dan berkata, "Bisa nggak, nggak usah berlebihan? Menurut gue, nggak ada yang salah dari istri lo, harusnya sih, dia baik-baik aja..."

"Harusnya?" Kini giliran Zhorif yang menautkan kedua alis tebalnya keheranan.

"Ya, kalau istri lo ngomong yang sejujurnya selama konsultasi sama gue," ujarnya yang terdengar seperti campuran antara keraguan dan sebuah sindiran.

Zhara memalingkan pandangannya di kala kedua pria itu kompak memandangnya dengan tatapan menyelidik. Wanita itu buru-buru turun dari atas brankar sembari membenarkan pakaiannya yang sedikit tersingkap. "Udah ya, Dok? Kalau udah aku pamit dulu, ya. Dadah dokter ganteng, dadah Mas Suami!" Baru saja hendak melarikan diri dari peradaban, pergelangan tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh Zhorif. "Eh, kenapa nih, Mas? Bukannya, Mas lagi sibuk banget? Aku langsung pulang aja, ya, biar nggak ganggu Mas kerja dan biar sekalian bisa istirahat, guling-guling di kasur." Zhara menyengir kuda sembari berusaha melepaskan tangan suaminya dari tangannya. Namun sayang, cekalannya malah semakin menguat.

"Makan siang dulu," ujar Zhorif yang kemudian melepaskan cekalan tangannya dan mengubahnya menjadi sebuah pelukan hangat di bahu.

Ketika sepasang suami dan istri itu benar-benar berpamitan dan hendak pergi, Shanzel menghentikan Zhara dengan ekspresi yang tak terbaca. Jujur, tingkahnya itu berhasil membuat Zhara gugup setengah mati karena takut Shanzel menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi terhadap pasiennya yang suka berbohong itu.

"Hm ... temenmu sakit? Udah lama juga nggak main ke sini."

Salah satu alis Zhara terangkat dengan bibir yang terbuka syok. Ia tidak menyangka Shanzel, sang dokter berhati dingin itu menanyakan kabar Aufa, padahal beberapa bulan lalu sempat mengusirnya karena dianggap terlalu mengusik. Baru saja hendak menanggapi ucapan dokter itu, niatnya tertahan karena Zhorif yang sudah lebih dulu terkekeh geli sembari menepuk-nepuk bahu Shanzel. "Kalau kangen hubungi sendiri, Zel, jangan nyusahin istri gue."

Zhara meringis merasa bersalah sepeninggalan dirinya dan Zhorif dari ruangan itu. Sebenarnya ia tidak masalah untuk menghubungi Aufa dan membantu sahabatnya itu berbaikan dengan dr. Shanzel. Namun tampaknya, dendam kesumat Zhorif terhadap Shanzel—yang pernah mengusirnya di kala pria itu bertingkah berlebihan di awal kehamilan Zhara—masih ada.

"Kamu mau makan apa?"

Di dalam mobil Zhara dibuat tertegun karena Zhorif mendekatkan wajah ke arahnya secara tiba-tiba dan memasangkannya safety belt, bertingkah seperti aktor-aktor tampan nan gentleman di drama Korea yang sering ditonton oleh Zhara akhir-akhir ini.

"Zhara?"

Wanita itu tersadar dari lamunannya dan segera memikirkan makanan apa yang hendak dimakannya bersama dengan sang suami. Meski sudah berpikir keras, Zhara tetap tidak bisa mendapatkan ide karena sebenarnya belum terlalu lapar, dan terlebih lagi tidak memiliki napsu makan, mungkin efek muntah-muntah yang biasanya diberikan Boba tiap kali dirinya baru saja akan menyantap makanan.

"Aku nggak tau, Mas. Mas ada ide?"

Zhorif mengusap dagunya sembari berpikir keras. Pria itu ikut bingung karena tidak biasanya ia memilih dan memutuskan menu makanan apa yang hendak mereka nikmati.

"Mie ramen? Bento?"

Zhara menelan ludahnya tak sanggup, memikirkannya saja sudah membuat perutnya bergejolak ingin muntah. Buru-buru ia menggelengkan kepala menolak ide tersebut. "Aku nggak mau makan masakan resto, Mas," ujarnya menggantung kalimat, "kalau pulang ke rumah Mami boleh? Biasanya jam segini Papi udah pulang untuk masak makan siang sama-sama."

Zhorif tersenyum dan mengusap rambut istrinya penuh kasih sayang. "Yaudah, tapi kita sekalian beli buah untuk Papi dan Mami, Mas nggak enak datang ke sana dengan tangan kosong."

"Oke, Mas."

*

*

*

Setibanya pasukan suami-istri itu di kediaman keluarga Burhan, Zhorif langsung membukakan pintu mobil untuk Zhara, memperlakukan sang istri layaknya seorang putri di cerita dongeng. Dahi wanita itu berkerut ketika mendapati mobil sport mewah milik Vino—kakak sepupunya—sudah terparkir rapi di halaman depan.

"Bang Vino ngapain ke sini?" gumamnya keheranan yang dibalas gelengan tak tahu oleh Zhorif.

"Assalamualaikum, Mi, Pi..."

Salam keduanya tidak mendapat sahutan dari orang rumah meski pintu kediaman itu terbuka lebar. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk masuk lebih dalam, tepatnya menuju ke area dapur yang dimana biasanya menjadi tempat andalan Mia dan Burhan untuk menyebar keromantisan, dan benar saja, pasangan suami-istri itu sedang berpelukan mesra sembari memotong daun bawang di atas talenan.

Zhara tiba-tiba memecahkan tawa gelinya. Tentu saja bukan karena ulah Mia ataupun Burhan, tetapi karena matanya menangkap sosok Vino dan Nando sedang duduk di kursi makan, memandang sirik kekasmaraan yang terjadi di antara kedua orang tuanya meski usia pernikahan mereka tak lagi muda.

"Eh, Sayang?"

Mia buru-buru melepaskan tangan Burhan dari pinggangnya dan menghampiri Zhara yang masih berusaha menghentikan tawa. Tepat di sebelahnya, Zhorif terkekeh geli karena kebiasaan baru yang sebenarnya belum ia sadari, yaitu ikut tertawa tiap kali melihat istrinya tertawa.

"Mi, Pi..." Zhorif sedikit membungkukan tubuhnya untuk menyapa, kemudian mencium punggung masing-masing tangan mertuanya itu.

"Kangen banget sama Mami!"

Zhara memeluk tubuh ibunya cukup lama dan membuat Burhan yang menanti lama ingin dipeluk juga menjadi tak sabaran dan memutuskan untuk bergabung. Lama-kelamaan, diameter pelukan mereka semakin membesar akibat Vino yang juga ingin ikut-ikutan. Baru saja Nando—yang merasa kesepian—berniat untuk bergabung, tubuhnya lebih dulu dihentikan oleh Zhorif.

"Gimana kabar cucu Mami?" Mia mengelus lembut perut Zhara yang kian membuncit. Terlihat keantusiasan terpancar dari kedua manik hitamnya yang mengarah pada Zhara.

"Baik-baik aja, Mi, tapi akhir-akhir ini, anak Mami susah banget kalau disuruh makan sama suaminya." Zhorif membuka suara sekaligus membongkar kenakalan istrinya selama ini, dengan harapan wanita itu akan berubah dan mengubah pola makannya yang mulai tidak teratur.

"Kok, gitu sih, Nak?" Mia tampak kecewa mendengar laporan itu, sedangkan Zhara jadi tidak enak hati sekaligus merasa kesal dengan suaminya sendiri. "Mami 'kan, udah pernah bilang, sejak kamu hamil, tubuh kamu bukan cuma punya kamu aja, tapi punya anakmu juga." Nasihat yang diberikan Mia membuat Zhara hanya bisa mengangguk lemah. Mau bagaimana lagi? Ia sama sekali tidak bisa membantah sebab perkataan Mia memang seratus persen benar adanya.

"Yaudah, sekarang Papi siapin makanan kesukaan Ara biar napsu makan putri kesayangan Papi ini kembali lagi." Usai menguyel-nguyel pipi tembam Zhara seperti yang sering Zhorif lakukan, Burhan pun kembali mengajak istrinya untuk fokus memasak makan siang.

"Ara mau, nggak?" Dengan wajah tanpa dosa, Vino duduk di sebelah Zhara dan menyodorkan setoples keripik kentang yang dipenuhi bubuk balado. "Enak banget lho, Ra. Abang sama Nando beli ini sama mamang-mamang gerobak gitu," jelasnya yang kemudian membuka toples itu.

Zhara menatap kumpulan keripik itu tanpa melirik ke arah Zhorif sedikitpun sebab tidak ingin dipelototi. Oleh karena itu, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di kemudian, Zhara menggerakkan tangannya untuk mencomot makanan itu. Baru saja hendak menyuap ke mulut, Zhorif sudah lebih dulu menarik tangannya, kemudian memakan keripik itu tanpa izin dengan raut wajah yang kelewat santai.

"Zhara udah nggak makan chips lagi sejak hamil," jelas Zhorif karena mendapat tatapan keheranan dari Vino. Zhorif meletakkan keranjang buah—yang sempat dibelinya sebagai oleh-oleh untuk Burhan dan istrinya—di atas meja. "Makan buah aja, ya?" Pria itu membelai rambut belakang Zhara, membujuk istrinya yang kini sudah memberengut kecewa. Tak mendapat respon berupa suara membuat Zhorif mau tak mau harus lebih berusaha keras. Oleh karena itu, ia mendekatkan bibirnya ke salah satu telinga sang istri dan berbisik, "Nanti Mas beliin minuman boba yang rasa brown sugar."

"Beneran, Mas?!"

Manik hitam indah itu berbinar seketika. Nadanya begitu antusias dan keras hingga membuat Vino, Nando, Mia, dan Burhan kompak refleks mengalihkan fokus mereka ke arah sepasang suami-istri itu.

Zhorif terkekeh geli melihat tingkah Zhara yang menurutnya sangat menggemaskan. Andai saja mereka sedang berduaan, pasti Zhorif sudah mencium dan menggigit habis pipi tembam istrinya itu.

Baru saja kepalanya hendak bergerak mengangguk untuk menjawab pertanyaan Zhara, wajahnya sudah lebih dulu ditahan secara paksa oleh wanita itu. Zhara menarik Zhorif dan memajukan wajah mungilnya, mencium bibir pria itu tanpa ragu meski sedang berada di hadapan delapan mata yang terbuka lebar.

"Makasih Mas Zhorif Sayang!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top