Bab 60 - Resah

Zhorif mengecup kening Zhara dengan kedua mata yang terpejam nyaman. Kini, wanita yang sedang mengandung buah hati mereka itu telah tertidur pulas di dalam dekapannya selama kurang lebih dua puluh menit. Zhorif memindahkan kepala istrinya secara perlahan dari lengan atas menuju bantal agar tak terbangun. Pria itu kemudian mengambil langkah pelan untuk membuka pintu balkon dan keluar untuk menikmati angin sepoi penuh polusi oleh kendaraan-kendaraan di ibukota.

"Ya Allah..."

Zhorif mendengus gusar. Tangannya bergerak untuk mengusap wajahnya dan kemudian mengacak rambut hitam lebatnya frustrasi. Sebenarnya sejak tadi siang, tepatnya ketika ia mendengar kabar kehamilan Zhara melalui Pak Suwarto, hatinya tak berhenti gelisah. Ketakutan itu masih berperan besar dalam hidupnya. Ia takut kejadian itu terulang. Ia takut akan terjadi apa-apa pada Zhara nantinya. Namun, sebisa mungkin ia menutupinya. Saat ini yang ia rasa perlu ia lakukan adalah menjaga perasaan sang istri, lagipula semuanya sudah terlanjur terjadi, 'kan? Salahnya sendiri yang tidak berpikir untuk menggunakan pengaman saat melakukan itu seperti yang pernah disarankan oleh Arsen dan Jojo.

Drrttt ... drrrtttt....

Zhorif mengeluarkan ponselnya dari dalam kantung celana, kemudian mengangkat panggilan yang rupanya berasal dari ibunya.

"Assalamualaikum, Ma."

"Waalaikumusalam, Sayang."

"Ma..."

Zhorif sempat melirik Zhara yang masih terlelap melalui pintu kaca untuk memastikan, sebelum menundukkan kepalanya dan kemudian pecahlah tangisan yang telah ia tahan-tahan sejak tadi.

"Gimana ini, Ma?"

Zhorif berusaha menahan tangisannya sekuat mungkin, tetapi air mata itu tetap saja bersikeras untuk keluar meski tak mengucur dengan deras.

"Aku sangat senang melihat istriku tersenyum dan tertawa bahagia saat bersamaku, tapi beda halnya kalau ini menyangkut kehamilannya. Aku masih putra Mama yang sama, aku masih seorang pengecut yang belum bisa melupakan kejadian masa lalu."

"Nak—"

"Mama tau 'kan, alasanku setuju untuk menikahi Zhara waktu itu?"

"Mama bilang kemungkinan Zhara untuk segera hamil itu sangat kecil. Papa bilang, Mami Mia pernah sangat kesulitan untuk mendapatkan anak dan kemungkinan besar, kesulitan itu akan menurun pada Zhara. Aku percaya dengan omongan Papa dan Mama, tapi apa yang kudapatkan saat ini?"

"Aku sangat sengsara, Ma. Aku pernah bilang ke Papa kalau saja dulu sempat terjadi hal buruk terhadap Mama, aku mungkin akan menjadi gila. Namun, kali ini akan beda pula jika menyangkut tentang istriku. Aku rasa menjadi gila terlalu sederhana, Ma ... aku mungkin lebih memilih untuk mati daripada ditinggalkan seorang diri."

"Sekarang aku harus bagaimana, Ma?"

Zhorif mengusap air mata yang membasahi bagian ujung matanya dengan kilat.

"Kamu seorang dokter, Nak. Kamu tau dengan lebih baik daripada Mama kalau hal buruk itu tidak selalu terjadi pada setiap orang."

Zhorif menghela napasnya dalam. Bukan kata-kata ini yang ingin ia dengar dari sang ibu. Zhorif benci dengan ketidakpastian. Ia benci dengan permainan takdir meski tahu bahwa perbuatannya itu salah.

Tubuh pria itu refleks menegang ketika dua tangan mungil melingkari pinggangnya dari belakang. Ia memutar tubuhnya dan langsung mendapati Zhara yang semakin mengeratkan pelukannya. Kala itu, rasa bersalah langsung memenuhi benak Zhorif. Ia takut perkataannya tadi telah didengar oleh sang istri. Oleh karena itu, ia buru-buru mengucapkan salam pamit pada Hulya dan menutup panggilannya secara sepihak.

"Sejak kapan kamu bangun?" Zhorif balas memeluk tubuh mungil wanita itu dengan jantung yang berdebar-debar, masih merasa gugup akan kemungkinan sang istri mendengar semuanya.

Zhara mendongak dengan wajah bantalnya, menguap kecil, sebelum mengulurkan tangan untuk mengusap sisa air mata yang membasahi pipi suaminya. "Mas Suami kenapa nangis? Kenapa juga belum tidur, malah sibuk teleponan?" dengusnya dengan bibir mengerucut sebal.

Pria itu menghela napasnya lega, paling tidak sekarang ia bisa yakin bahwa Zhara tak sempat mendengar apa-apa. Zhorif mengecup lembut tangan Zhara yang masih menempel di pipinya. "Mas terlalu senang akan kehamilan kamu," bohongnya sembari mengelus perut rata istrinya. Zhorif kemudian mencakup wajah Zhara dan menatap matanya serius. "Kita rawat tubuh kamu dan anak kita dengan sangat hati-hati, ya? Mas nggak mau kamu sakit-sakitan selama masa kehamilan."

Zhara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, sebelum melingkarkan tangannya di leher Zhorif, menjinjit cukup tinggi hanya untuk mengecup lesung pipi suaminya yang dalam. "Aku istri Mas yang kuat. Jadi, Mas nggak usah khawatir. Aku akan selalu jaga kesehatan dan melahirkan bayi kita dalam keadaan sehat pula."

*

*

*

"Suami lo ngomong gitu, Ra?!"

Zhara menganggukkan kepalanya lesu menanggapi ekspresi terkejut Aufa dan Jhesen yang sangat kompak. Lain halnya dengan Agam yang mengeluarkan raut wajah datar seperti biasanya. Sejak wanita itu dinyatakan seratus persen keluar dari sekolah, di saat itu pula Agam, Aufa, dan Jhesen memutuskan untuk lebih sering bolos sekolah agar sahabat mereka itu tak pernah merasa kesepian ketika suaminya sedang tidak berada di apartemen.

"Berarti dr. Zhorif nggak jahat dong, Ra. Dia punya alasan sendiri yang ngebuat dia nggak mau lo sampai cepet-cepet tekdung," ujar Aufa yang membuat Jhesen manggut-manggut setuju di sebelahnya.

Ya, pada kenyataannya Zhara menguping pembicaraan Zhorif dan Hulya sejak awal hingga akhir, bahkan ia sama sekali belum tertidur di kala Zhorif memindahkan kepalanya ke atas bantal. Sejujurnya, hatinya sangat kecewa mendengar kenyataan di balik sang suami yang setuju untuk menikahinya waktu itu. Namun, ia tak peduli karena yang ia pedulikan hanyalah Zhorif telah menjadi suami sahnya saat ini. Tak dipungkiri, hatinya renyuh ketika mendengar Zhorif mengatakan bahwa pria itu akan lebih memilih mati daripada ditinggalkan olehnya. Zhara tidak pernah tahu bahwa Zhorif benar-benar mempedulikannya sampai sebesar itu.

"Lo kenapa sih, Gam? Muka rese' banget, ntar gue setrikain baru tau rasa!" omel Jhesen yang risih melihat Agam yang tak kunjung berbicara juga.

Agam menghela napasnya berat. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya kuat karena teringat sesuatu yang buruk dan membaringkan kepalanya di pangkuan Aufa sembari menendang-nendang udara, menggeram frustrasi layaknya orang gila. "Sial, sumpah hidup gue sial amat!" makinya. Ketiga Teletubbies menautkan alis mereka keheranan dengan tingkah autis pria itu hingga pada akhirnya Agam membuka mulut, berkata, "Bokap gue lagi nyomblangin gue sama anak temennya."

"HAH?!"

***

"Emangnya, Om nggak ada niatan untuk cepet-cepet nambah cucu?"

Fathur—ayah Agam—menatap Zhorif dengan kedua alis yang saling bertaut, merasa asing dengan pertanyaan Zhorif yang sangat di luar dugaan itu. Pasalnya, saat ini mereka tengah berada di ruang operasi. Biasanya, Zhorif cenderung diam dan fokus, tetapi kali ini berbeda, pria itu tiada henti mengajak Fathur berbicara sejak satu jam lalu.

"Ya, bentar lagi 'kan, dapet dari kamu dan Zhara. Memang kenapa sih, nanya-nanya?" tanya pria baya itu penasaran dengan mata dan tangan yang masih terfokus menjahit organ tubuh pasien yang sedang ditanganinya.

Zhorif mengendikkan bahunya dengan sok tak acuh dan memotong benang jahit yang ditandai oleh pamannya. "Nggak kenapa-napa, cuma kasihan aja liat Agam kesepian di rumah."

Fathur yang tidak mengerti arah pembicaraan Zhorif pun mengangguk-anggukan kepalanya. "Itu anak sudah Om suruh untuk tinggal sama-sama masih aja keras kepala. Coba kamu aja deh, yang nasihatin, biasanya 'kan, langsung nurut."

"Susah, Om."

"Lah, jadi?" Fathur mendongak dan meminta Zhorif untuk segera menjelaskan apa yang diinginkan olehnya tanpa harus bicara berputar-putar seperti ini. "Mau kamu apa sih, Rif? Om udah taulah kalau kamu punya permintaan. Cepet bilang biar Om turutin sebelum masa berlakunya habis, nih."

"Gimana ya, Om..." Zhorif berpura-pura tak enak hati sembari mengusap tengkuknya.

"Yaudah, kalau emang nggak enakkan nggak usah minta, lagian Om punya firasat buruk. 'Kan, jarang-jarang kamu mau minta tolong sesuatu," sindir Fathur.

Zhorif terbelalak kaget. Tidak! Ia tidak boleh sampai kehilangan kesempatan sebesar ini. Oleh karena itu, ia buru-buru meralat tingkah sok tan enakkannya dan berkata,

"Jodohin Agam, Om!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top