Bab 57 - Kegilaan Seorang Agam
"Mas mungkin akan lembur hari ini. Kamu tidur duluan aja, ya."
Zhara merasakan bibir Zhorif menyentuh kulit dahinya. Pria itu tersenyum tipis sebelum menekan tombol membuka kunci pintu mobil, mempersilakan istrinya untuk turun dan masuk ke bangunan sekolah. Namun, sebelum turun Zhara menatap pria itu dengan dengusan kecewa.
"Kok, lembur terus sih, Mas?" Bibirnya mengerucut. "Mas bilang, Mas akan usahain untuk cepet pulang dan temenin aku tidur." Zhara bersedekap merasa kesal karena suaminya mengingkari janji.
Zhorif menghela napasnya dan mengulurkan tangan untuk mengusap rambut Zhara yang dihias oleh bandana berwarna merah. "Kemarin Mas bilang, Mas akan usahakan, tapi sayangnya, nggak bisa, Zhara ... ada begitu banyak pasien di rumah sakit yang membutuhkan Mas lebih daripada kamu."
Daripada kamu. Dua kata—yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyakiti—itu malah membuat hati Zhara tertohok. Wanita itu bahkan tidak meminta apa-apa darinya, hanya sedikit waktu dan kepedulian yang semestinya seorang suami berikan pada istrinya sendiri. Ah, rasanya Zhara ingin mulai menjatuhkan air mata. Beginilah kesensitifan seorang ibu hamil, padahal wanita itu biasanya tak pernah mudah marah terhadap Zhorif yang memang ia akui telah sibuk dari sebelum mereka menikah.
"Yaudah, aku turun." Wanita itu melepas safety belt yang dikenakannya dan meraih knop pintu. Namun sebelum benar-benar membuka pintu, ia menatap Zhorif dan berkata, "Mas nggak usah jemput aku pulang kalau ujung-ujungnya bakal balik lagi ke rumah sakit."
Zhorif merasakan adanya keanehan dari tingkah laku sang istri. Oleh karena itu, ia buru-buru menahan tangan Zhara sebelum wanita itu keluar dari mobilnya dengan sempurna. "Kamu ngambek sama Mas?" tanyanya berusaha memastikan. Hatinya tidak dapat merasakan ketenangan apabila Zhara memperlakukannya seperti ini. Dirasanya tak ada jawaban dari sang istri, Zhorif pun membawa tubuhnya masuk ke dalam dekapan. "Mas minta maaf, ya? Mas benar-benar tidak bermaksud untuk membuat kamu kesal ataupun sedih." Zhara meluluh dengan begitu mudah. Aroma tubuh suaminya begitu nyaman hingga rasanya ia mungkin saja terlelap dalam hitungan menit. "Sepulang sekolah kamu boleh mampir ke rumah sakit. Tunggu Mas sampai kerjaan selesai dan setelah itu kita pergi makan malam bareng. Gimana?"
Zhara tersenyum dan menganggukkan kepalanya antusias, melupakan perasaan jengkel dan sedihnya begitu saja. "Abis makan malam, mau nonton di bioskop, nggak? Nanti aku yang pesenin tiketnya," ujar wanita itu dengan nada riang.
Zhorif menganggukkan kepalanya dan mengelus pipi istrinya. "Iya, kalau kamu belajar yang baik di sekolah," ujarnya menggantung, "ingat ... Mas ada nomor Pak Suwarto. Dia yang akan ngelaporin semua tingkah laku kamu selama sekolah hari ini."
"Oke!" seru wanita itu dengan jempol yang mengacung ke atas. Zhara mendekatkan wajahnya untuk mengecup singkat pipi Zhorif sebelum keluar dari mobil dengan melompat-lompat kecil kegirangan. Zhorif yang melihat itu dari kejauhan hanya bisa terkekeh geli sebelum melajukan mobilnya menuju tempat bekerja.
Di dalam kelas, Aufa dan Jhesen menatap sahabatnya yang cengegesan sendiri dengan alis bertaut. Keduanya mendekati Zhara dan menatapnya lekat-lekat. "Nape lo?" tanya Jhesen dengan tangan bersedekap. "Perasaan sejak kejadian itu, lo kagak pernah cengar-cengir kayak gini lagi, deh..." Pria itu mengusap tengkuknya sembari melirik Aufa yang juga tampak penasaran.
Flashback on
"Mas, kalau aku sampai hamil gimana?"
Di detik itu Zhara dapat melihat perubahan yang signifikan dari raut wajah suaminya. Zhorif menjauhkan diri, menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya, sebelum berjalan mendekati lemari untuk mengambil dan memakai pakaiannya. Dilihatnyalah Zhara yang kebingungan dalam posisi sudah terduduk di tepi kasur. Ia kemudian mendekati Zhara dan ikut duduk di sebelahnya, mengulurkan tangan untuk merapikan rambut istrinya yang acak-acakan akibat ulahnya beberapa waktu lalu.
"Mas kenapa?" Kulit wajah wanita itu masih kemerahan, karakteristiknya ketika tengah merasa terangsang. "Mas..." Zhara bangkit dari posisi duduknya untuk duduk di pangkuan Zhorif. Nadanya terdengar seperti kombinasi merengek dan memohon, meminta pria itu untuk melanjutkan kegiatan mereka yang tiba-tiba tertunda tanpa ia ketahui sebabnya.
"Setelah Mas pikir, sebaiknya kita nggak melakukan itu di sini," ujar Zhorif tak masuk akal, "Nggak enak kalau sampai didengar sama Mama dan Papa, apalagi kamar Mas nggak kedap suara."
"Tapi 'kan, ada lakban," sahut Zhara sembari melirik lakban yang sebelumnya ditempelkan Zhorif di mulutnya. Lihatlah, ia bahkan rela dilakban hanya untuk mendapatkan sentuhan Zhorif. "Kalaupun Mas masih takut kedengeran, kita 'kan, bisa lakuin di kamar mandi juga," usulnya dengan wajah tertunduk akibat merasa malu.
Zhorif menghela napasnya, mendekatkan bibirnya untuk mencium dahi Zhara untuk waktu yang cukup lama. "Nanti aja, ya? Mas ada jadwal operasi besok," ujarnya sebelum menurunkan tubuh Zhara dari pahanya, kemudian berlalu pergi untuk masuk ke kamar mandi.
Zhara menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu dengan keheranan. Bukankah Zhorif sendiri yang tadi sempat berkata kalau melakukan seks meski esok harinya harus bekerja bukanlah suatu masalah? Pria itu berkata dengan yakin bahwa dirinya tidak akan kesiangan dan kalaupun sampai kesiangan, mereka berdua pasti akan dibangunkan oleh Fachri untuk melakukan salat subuh bersama.
Flashback off
"Ra!"
Panggilan Agam yang terlalu bersemangat membuat Zhara, Aufa, dan Jhesen hampir terkena serangan jantung secara bersamaan. Pria yang masih berdiri di dekat pintu masuk kelas itu tersenyum dengan riang dan menghampiri ketiga sahabatnya. Ia kemudian menurunkan ransel yang dibawanya dan mengeluarkan alat-alat yang tak seharusnya, yakni susu bubuk di botol minum dan sebuah termos berisikan air hangat. "Lo tuh, harus rajin-rajin minum susu biar anak lo sehat, Ra," ceramahnya sembari menuangkan air hangat ke botol, mengguncangnya hingga tercampur rata, dan kemudian menyodorkannya pada Zhara.
Aufa meringis melihat sikap Agam yang benar-benar berubah total ketika tahu bahwa Zhara hamil. Tidak ada lagi Agam yang cuek, jaim, dan juga sibuk. Yang ada hanyalah Agam, pria penuh perhatian yang perhatiannya bahkan melebih-lebihi ayah kandung dari janin yang dikandung oleh sahabat perempuannya itu.
"Makasih ya, Gam." Zhara tersenyum tipis dan mulai meneguk habis susu tersebut dengan susah hati karena sebenarnya ia tak menyukai rasa khas susu itu. Rasanya benar-benar hambar, tidak seperti susu-susu kotakan perisa stroberi yang sering dibelinya di kantin.
"GESER WOY!"
Bentakan keras yang berasal dari luar kelas membuat perhatian Teletubbies teralihkan. Mereka sontak bersama-sama menatap keluar jendela untuk melihat ada keributan apa di luar sana. Rupanya itu adalah ulah The Lambey Turah, sekelompok murid berandal yang senang menyebar-luaskan aib seseorang yang bukan anggotanya, mereka juga dikenal dengan sebutan preman sekolah karena ditakuti oleh semua murid, kecuali Geng Teletubbies.
Vierra adalah nama ketuanya. Dia adalah sosok perempuan cantik dengan rambut berantakan yang dicat warna-warni. Vierra dulunya juga dikenal pernah menggilai sosok Agam, sang pangeran kelas. Namun naas, cintanya ditolak dan ia dipermalukan tepat di depan banyak orang karena menyatakan cinta di lapangan bisbol tempat Agam sering berlatih.
Vierra tersenyum miring ketika melihat keberadaan Teletubbies yang sejak tadi pagi telah ia cari kemana-mana. Vierra berjalan dengan langkah anggun mendekati keempat insan yang terlihat kebingungan, gadis itu kemudian duduk di atas meja milik Aufa dengan sekenanya, membuat rok pendek yang ia kenakan semakin tersingkap ke atas dan memamerkan tato yang tercetak di kulit pahanya, yang bertuliskan nama Agam.
"Apa kabar, Sayang?"
Gadis itu mengerlingkan matanya genit pada Agam yang tak lagi merasa terkejut dengan tingkah tak tahu malu Vierra.
"Sombong banget, sih." Vierra terkekeh geli sendiri meski hatinya diam-diam merasa jengkel karena dicampakkan. "Lo pasti mikir, gue datang ke sini karena elo, 'kan?" Gadis itu menatap Agam sembari memainkan kuku-kuku tangannya yang dicat merah.
"Lah iya, masa lo dateng buat nyamperin si Jhesen?" Sahutan itu berasal dari Aufa. Gadis itu menatap Vierra sengit, merasa kesal karena mejanya diduduki secara sembarangan.
Vierra malah bertingkah bodoh amat dan terkekeh geli dengan kepala yang tergeleng-geleng. "Sayangnya lo semua salah," ujarnya sengaja menggantung, "gue dateng ke sini untuk bertugas selayaknya seorang ketua Geng The Lambey Turah." Vierra mengeluarkan sebuah foto cetakan dari saku bajunya, mengangkatnya ke atas untuk dipamerkan ke seluruh murid di kelas. "Lo denger semuanya! Cewek ini! Cewek yang selama ini lo semua pikir polos dan lugu! Ternyata nggak lebih dari seorang pelacur! Nih, buktinya! Gue dapet foto dia lagi check up ke dokter kandungan!" Vierra berteriak sembari menunjuk-nunjuk Zhara yang tampak sangat terkejut.
"Apa-apaan sih, lo?!" Aufa murka. Gadis itu berusaha menggapai foto yang berada di tangan Vierra. Namun sayangnya, tubuh gadis itu tidak cukup tinggi.
"Ra?" Jhesen menyentuh bahu Zhara yang menegang. Pikiran wanita itu kacau. Bukan karena takut diejek atau disalahpahami oleh teman sekelas. Namun, karena takut gosip ini akan beredar hingga menyentuh telinga Pak Suwarto dan kemudian guru itu akan menyampaikannya kepada Zhorif.
"Cewek sialan! Balikkin, nggak?!" Aufa menjambak rambut Vierra hingga gadis itu menjerit kesakitan.
"Bukan gue yang sialan, tapi sahabat lo, tuh! Bisa-bisanya hamil di luar nikah setelah ngebuat Agam nolak gue!" jerit Vierra di tengah rasa sakitnya.
Jhesen melirik Agam yang berdiam diri tanpa berusaha memisahkan Aufa dan Vierra. Pria itu kemudian berdecak frustrasi dan berjalan maju ke depan, berusaha sekuat tenaga untuk menarik Aufa. Namun, Aufa tidak bisa terhentikan apabila sedang dalam fase berubah menjadi superhero Hulk, yang ada malah rambut Jhesen jadi ikut terjambak oleh dua gadis bar-bar itu.
"Woy, gila! Apaan, nih?!" Jhesen berteriak karena terkejut merasakan betapa kuat dan sakitnya jenggutan dua orang perempuan yang sedang mengamuk.
Perkelahian itu berlangsung hampir tepat menyentuh angka sepuluh menit apabila Agam tidak turun tangan setelah membeku cukup lama. Pria itu memisahkan ketiganya dengan begitu mudah. Ia kemudian menatap Vierra yang rambutnya semakin terlihat berantakan dan kulit wajahnya dipenuhi oleh cakaran.
"Mau lo apa?" tanya Agam dengan raut wajah dan nada datar.
Vierra tersenyum miring. Inilah yang ingin dia dengar, Agam yang terdengar putus asa karena ulahnya. "Lo pacarin gue."
Para murid yang sejak tadi hanya menontoni saja, kian berbisik-bisik dan menebak apakah Agam akan menyerah setelah melihat kegilaan seorang Vierra.
Yang dilakukan oleh Agam membuat semua insan di sana seolah berhenti bernapas. Pria itu menghapus jarak di antaranya dan Vierra hingga hidung mereka saling bersentuhan. "Lo yakin?" Agam mengangkat salah satu alisnya dengan senyum meremehkan. Meski merasa gugup dan terkejut, Vierra berhasil menutupinya, dan menganggukkan kepala. Hanya beberapa senti lagi bibir mereka bersentuhan dan Vierra memejamkan kedua matanya untuk menanti itu.
"Agam!"
Gadis itu refleks menjerit ketika kedua tangan Agam menyelip di antara ketiaknya, dan mengangkat tubuh kurusnya untuk terduduk kembali di atas meja Aufa.
"Lo mau ngapa—hmmh..."
Vierra memejamkan matanya kenikmatan ketika tangan kiri Agam menyentuh dan membelai kulit pahanya, sedikit menyingkap rok yang dikenakan oleh gadis itu hingga tatonya kembali terlihat. Namun, yang dilakukan oleh Agam selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Pria itu menggapai sebuah spidol merah dari dalam laci Aufa dan membukanya dengan cara yang begitu seksi, yaitu menggigit tutup spidolnya. Agam mencoret tato bertuliskan namanya di paha Vierra dan tersenyum licik.
"Now who's the bitch, huh?" Agam meniup wajah Vierra hingga poni gadis itu sedikit bergerak. Agam mendekatkan bibirnya ke telinga Vierra dan berbisik,
"Btw, Zhara hamil anak gue ... dan dia bukan hamil di luar nikah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top