Bab 56 - Penasaran

"Sudah sejak kapan kamu begini?"

Zhara terbelalak kaget, memutar tubuhnya, dan langsung mendapati sosok Hulya yang telah bersandar santai di daun pintu dengan sebuah senyuman tipis. Wanita baya itu kemudian masuk sempurna ke dalam toilet dan menutup juga mengunci pintu agar tidak ada satu orang pun yang bisa masuk selain dirinya.

"Mama—"

"Shhhtttt ... udah jangan nangis." Hulya membawa Zhara untuk masuk ke dalam dekapannya yang hangat, berusaha menenangkan hati seorang gadis remaja yang sepertinya memiliki kekhawatiran cukup besar. "Mama nggak akan maksa kamu untuk cerita kenapa kamu harus muntah sembunyi-sembunyi dari Zhorif seperti ini, tapi kamu harus jawab pertanyaan Mama yang satu ini dengan jujur..." Hulya menggenggam kedua tangan anak menantunya dengan lembut. "Kamu hamil, ya?" Tak ada jawaban dari Zhara, dan itu membuat Hulya mendapatkan kesimpulannya sendiri. "Terima kasih, Ya Allah!" Wanita baya itu menahan pekikannya dan langsung mengulurkan tangannya untuk mengelus perut Zhara yang masih rata.

"Mama tau darimana?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Zhara setelah tertegun dengan pikirannya sendiri cukup lama.

Hulya tersenyum tipis dan mengelus pipi tembam Zhara persis seperti yang sering Zhorif lakukan. "Seorang ibu punya firasat yang pekat, Nak," ujarnya menggantung, "Tiga hari berturut-turut Mama mimpiin kamu gendong bayi, bayinya lucu banget, mukanya cetakan Zhorif sewaktu kecil."

Kekhawatiran Zhara menghilang begitu saja ketika ia mulai membayangkan sosok bayi yang memiliki wajah seperti suaminya. Namun, khayalan itu buyar di kala memori otaknya mengingat sesuatu yang krusial. "Mama bisa rahasiain kehamilanku dari Mas Zhorif, 'kan? Sejauh ini cuma Agam dan teman-temanku yang tau." Ia menggenggam tangan Hulya dan menatapnya penuh permohonan.

Hulya menganggukkan kepalanya, membuat Zhara langsung menghela napasnya lega hanya untuk sejenak karena di detik berikutnya, Hulya menggelengkan kepala dan berkata, "Mama akan rahasiakan ini dari semua orang asalkan kamu kasih tau Mama kenapa kamu sembunyi-sembunyi begini?"

Zhara menggigit bibir bawahnya gugup. Ia takut kebenaran akan menoreh luka di hati sang ibu mertua. Ia tidak mau membahas Zuneira—mantan calon adik iparnya—yang hanya bisa menghirup oksigen selama lima menit sebelum kembali ke surga.

"Zhorif pasti udah cerita ke kamu tentang Zuneira, 'kan?"

Zhara refleks menatap Hulya dengan ekspresi terkejut. Apa selain memiliki pabrik parfum, sabun, dan sampo, ibu mertuanya itu juga memiliki pekerjaan sampingan, seperti menjadi dukun atau peramal? Ya, meski tebakannya itu tidak sempurna benar, paling tidak itu memang menyangkut tentang Almarhumah Zuneira.

"Mama udah tebak sejak dia keluar dari ruang operasi Maudy dengan raut wajah kesal. Dia pasti merasa bersalah pada Maudy karena tidak bisa membantu sampai tahap akhir," ujar Hulya tersenyum miris, membayangkan kembali kejadian di beberapa tahun lalu itu. Tanpa ia sadari, air mata kian membasahi pipinya. "Mama minta maaf sama kamu ya, Nak ... karena Mama, kamu jadi harus tersiksa seperti ini, padahal di saat-saat hamil, seorang istri harusnya mendapat banyak dukungan dari suaminya."

Zhara tidak mampu untuk menahan tangisannya, kebiasaannya tiap kali melihat orang-orang terdekatnya bersedih. "Meskipun nggak hamil, Mas Zhorif selalu memperlakukan aku dengan baik kok, Ma." Zhara mengelus bahu ibu mertuanya yang bergetar. "Ini semua bukan salah Mama. Aku yakin seiring dengan berjalannya waktu Mas Zhorif akan sembuh dari traumanya dan menerima kehamilanku." Perkataan Zhara membuat bulu kuduk Hulya meremang. Ia tidak menyangka, di balik kepolosannya Zhara memiliki sisi kedewasaan yang luar bisa.

Tok, tok, tok!

"Ma, Zhara ada di dalam, nggak?"

Suara Zhorif yang datang dari luar membuat kedua wanita itu refleks terbelalak kaget dan buru-buru menghapus kesedihan yang terpancar dari raut wajah masing-masing. Setelah memeriksa bahwa Zhara telah selesai, Hulya pun membuka pintunya, menatap sang putra dengan dagu terangkat, diam-diam merasa kesal setengah mati atas apa yang diperbuat oleh Zhorif terhadap anak menantu kesayangannya.

"Ngapain kamu di sini? Mama sama Zhara lagi girl's time tau! Ganggu aja, sih!" ketus sang ibu dengan delikan tajamnya, membuat Zhorif hanya bisa mengangkat salah satu alisnya terheran-heran. Apa para wanita memang selalu seaneh ini? Melakukan percakapan rahasia di dalam kamar mandi ketika mereka punya ruang tamu dan kamar yang sekiranya akan lebih nyaman untuk dipakai?

Sepergian Hulya dari kamar mandi, Zhorif dan Zhara saling bertatapan tanpa berkata apa-apa. Zhorif kemudian melangkah mendekat, menarik pinggang mungil istrinya, dan berniat untuk memberikan sebuah kecupan singkat. Namun, niatnya itu terpaksa berhenti akibat Zhara yang bergegas mendorong dadanya menjauh. "Mas, nggak enak kalau ditungguin sama Papa dan Mama. Acara makan malam kita 'kan, belum selesai," elaknya.

Zhorif melepaskan Zhara dengan sedikit rasa jengkel di dalam hati. Bibirnya terlihat mengerucut, menunjukkan secara terang-terangan bahwa dirinya kecewa atas penolakan Zhara. Namun di lain sisi, juga bisa memahami alasan sang istri yang cukup masuk akal.

*

*

*

Zhara keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Mereka menginap di rumah Hulya dan Fachri tanpa adanya persiapan. Alhasil, Zhara tidak punya baju untuk digunakan dan harus mengenakan pakaian milik Zhorif yang masih tersimpan di lemari lama pria itu. Ketika sedang sibuk memilih-milih pakaian, Zhorif mendekatinya dan memeluk tubuh istrinya dari belakang. Aroma khas bayi yang selalu melekat di kulit tubuh Zhara untuk sekian kalinya mampu memabukkan pria itu.

"Mas ngapain?" Terdengar getaran dari bicaranya, mungkin karena was-was takut diapa-apakan dalam keadaan sedang mengandung diam-diam seperti ini. "Mas nanti didenger Mama dan Papa," cicitnya ketika pria itu mulai mengendus-ngendus lehernya.

"Ya, makanya kamu jangan bersuara," balas Zhorif kelewat santai. Tangannya kian naik untuk membuka lilitan handuk yang dikenakan oleh sang istri. "Cantik banget istri Mas," pujinya tepat berbisik di sebelah telinga Zhara dengan pandangan tertunduk.

"Mas..." Zhara merengek ketika Zhorif mulai mengecup lembut bagian-bagian sensitif tubuhnya. Ia tidak akan tahan jika terus digoda seperti ini, mau bagaimana pun juga, jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat menginginkan Zhorif juga. "Mas besok mau kerja, 'kan? Nanti kesiangan." Alis pria itu bertaut keheranan ketika Zhara tiba-tiba membicarakan itu.

"Biasanya juga Mas kerja, kok," protesnya, "Mas juga nggak pernah kesiangan, ditambah lagi kita nginep di rumah Papa, Papa pasti udah bangunin kita untuk salat subuh bareng." Zhorif kemudian menggendong dan membawa tubuh istrinya untuk dibaringkan ke atas kasur dengan hati-hati. "Mas kangen kamu..."

"Kangen apanya? Kemarin 'kan, udah," sahut Zhara yang masih kukuh untuk menyelamatkan nyawa bayinya tanpa membuat sang suami curiga. Ah, iya! Ia jadi teringat bahwa kemarin dirinya baik-baik saja setelah berhubungan dengan Zhorif. Janinnya masih hidup dengan baik di dalam sana, bahkan umurnya sudah satu bulan lebih sedikit.

"Ya, kangen lagi." Semakin lama mengenal tingkah laku suaminya, Zhara semakin tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka. Zhorif rupanya tipe laki-laki yang sangat manja, mudah merajuk, dan tidak suka ditolak. "Ah, iya. Jangan pernah berpikir untuk menolak Mas malam ini. Ingat, kalau tadi siang kamu bolos sekolah, anggap aja ini sebagai hukuman. Mas nggak akan biarin kamu tidur cepet," ocehnya sebelum kembali memberikan kecupan di sekujur tubuh istrinya.

Zhara terkikik kegelian di bawah kekangan tubuh suaminya. Wanita itu kemudian mengecup rahang suaminya singkat dan tersenyum manis. "Mas yakin? Aku bisa jerit keras-keras lho, biar Mama sama Papa denger."

Wanita itu tersenyum licik ketika Zhorif terdiam tampak bimbang. Namun, secara tak terduga-duga, Zhorif menjauhkan dirinya sejenak, kemudian membuka nakas yang terletak di sebelah kasurnya dan mengeluarkan sebuah lakban hitam dengan sebuah gunting. Pria itu kemudian menggunting sedikit bagian dari lakbannya dan bergelut untuk waktu yang cukup lama agar benda itu bisa menempel sempurna di bibir sang istri. Zhara memberengut kesal ketika berhasil dikalahkan oleh Zhorif dengan mudah.

"Salah siapa yang mulai ngancem-ngancem duluan?" Zhorif mencium kening Zhara gemas, mengabaikan raut wajah tak terima istrinya dan kembali mencumbu tubuh mungil yang terlentang di bawahnya. Zhorif menghela napasnya gusar ketika lima menit baru saja berjalan. Ia merasa bercinta dengan cara seperti ini sangat tidak memuaskan. Oleh karena itu, ia membuka lakban yang ditempelnya di bibir Zhara dengan hati-hati. "Terserah kamu mau teriak sekencang apa, Mas nggak akan peduli, lagipula kalau kedengeran Mama dan Papa, Mas malunya juga nggak sendirian."

"Mas!"

Zhara memberengut kesal ketika Zhorif mempermainkannya. Bagian bawahnya sudah berdenyut menanti kehadiran milik suaminya, tetapi Zhorif tampak masih menikmati permainannya, yaitu menggoda Zhara yang di awal sempat menolak-nolak ajakan bercintanya.

"Kenapa?" Zhorif tersenyum dengan wajah tanpa dosa.

"Cepetan!" pinta wanita itu dengan wajah yang memerah malu.

"Cepetan apa?"

"Ih, Mas Zhorif!" Zhara mendengus kesal, benar-benar merasa jengkel hingga berniat untuk mendorong dada suaminya menjauh, menghentikan aksi percintaan mereka yang belum terlaksana sempurna. Beruntungnya, Zhorif dengan mudah dapat membaca pikiran sang istri. Pria itu buru-buru menimpa kedua tangan Zhara ke atas kasur dan menahannya hingga wanita itu sama sekali tidak bisa bergerak. "Mas ngeselin banget!" Zhara hampir menangis karena kembali dipermainkan oleh suaminya untuk yang ke sekian kali.

Zhorif mengecup kedua mata istrinya secara bergantian. "Jangan nangis, nanti Mas dimarahin sama Mama," ujarnya. Ia kemudian menghentikan permainannya, menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan, sebelum bersiap untuk melakukan penyatuan. Hanya tinggal sedikit lagi keduanya menyatu, Zhara tiba-tiba menahan dada suaminya dan mengeluarkan pertanyaan yang sangat tak terduga.

"Mas, kalau aku sampai hamil gimana?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top