Bab 55 - Merahasiakan

"Dr. Shanzel!"

Shanzeliq, dokter spesialis kandungan yang tadi sempat memeriksa Zhara pun menghentikan langkah kakinya ketika merasa namanya dipanggil. Pria itu memutar pandangannya dan mendapati sosok Zhara, pasien sekaligus istri dari koleganya, tengah berjalan cepat menuju ke arahnya. Di belakangnya, terlihat Agam dan kedua sahabatnya yang lain menyusul.

"Aku pengen bicara sesuatu sama Dokter..." Zhara menatapnya dengan nada memohon, membuat pria itu merasa tidak tega meski sebenarnya ia masih memiliki urusan yang lebih penting. "Aku janji cuma sebentar!" Tatapannya penuh keyakinan. Oleh karena itu, Shanzel mengiyakannya, mengajak empat insan itu untuk masuk ke ruang konsultasinya.

"Ada apa?" tanya Shanzel tanpa basa-basi ketika melihat keempatnya sudah mengambil posisi duduk, siap untuk menjelaskan apa yang ingin dibicarakan oleh wanita itu.

"Aku pengen minta tolong sama Dokter untuk merahasiakan kehamilanku dari Mas Zhorif. Bisa, 'kan?" Guratan khawatir di raut wajahnya tercetak jelas. Entah apa yang ada dikhawatirkan oleh wanita itu, tapi yang jelas, Shanzeliq tidak bisa menyetujui permintaannya. "Dokter, please..." Zhara mengusap kedua telapak tangannya beberapa kali sebagai wujud permohonan. "Aku nggak mau suamiku tau untuk saat ini."

Shanzeliq mengernyitkan dahinya. Ia sebenarnya tidak bisa memahami situasi tersebut. Dia juga tidak ingin berusaha untuk memahaminya karena mau bagaimanapun juga itu bukan urusannya dan ia tidak berhak ikut campur. "Maaf, saya tidak bisa berjanji. Di situasi ini, Zhorif tidak saya anggap sebagai seorang kolega ataupun teman, melainkan keluarga dari pihak pasien."

Zhara meringis kecewa. Namun di detik berikutnya, ia kembali mendapatkan ide yang mungkin dapat membantunya menjalankan rencana. "Dokter adalah dokter yang sama yang pernah mengoperasi Mbak Maudy beberapa bulan lalu, 'kan?" Shanzeliq mengernyit bingung. Maudy? Ada begitu banyak pasien yang menggunakan nama itu selama ia bekerja di rumah sakit ini. "Maudy istrinya dr. Jeje!" jelas Zhara dengan nada yang antusias. Melihat Shanzeliq yang mengangguk pun membuat wanita itu refleks mengambil salah satu tangannya dan menggenggamnya erat seolah tak akan melepas apabila pria itu tidak menyetujui kemauannya. "Dokter liat sendiri 'kan, seberapa tertekannya suamiku saat di ruang operasi? Dia punya trauma berat, dia takut melihat orang-orang terdekatnya melahirkan..."

Agam tertegun sejenak, berusaha mencerna apa yang tengah dibicarakan oleh Zhara. Ya, sebenarnya sejak awal ia tidak mengerti mengapa Zhara terlihat begitu ingin bertemu dengan dokter yang telah merawatnya. Agam menatap sahabat perempuannya yang masih setia membujuk Shanzeliq, melihatnya yang tampak seperti wanita paling mengenaskan yang pernah ia temui. Sudah terlanjur hamil, tetapi sang suami rupanya belum siap untuk memiliki anak.

"Zhara..." Agam memanggil wanita itu dengan raut wajah tanpa ekspresi, secara diam-diam menelan kekesalannya terhadap Zhorif. "Cukup," ujarnya kemudian. Ia tidak tahan melihat sahabatnya yang memohon seperti pengemis kelaparan. Zhara terlihat kaget ketika Agam memintanya untuk berhenti. Namun di detik selanjutnya, wanita itu memilih untuk tak mengindahkan perintah pria itu. Oleh karena itu, Agam meraih tangannya dengan paksa, kemudian membawanya keluar dari ruangan Shanzeliq.

"Agam lepasin! Aku belum selesai bicara sama dr. Shanzel!" protesnya sembari berusaha melepaskan cekalan Agam dari pergelangan tangannya.

"Kenapa lo harus nyembunyiin semuanya, Ra?" Pertanyaan itu dilontarkan di dekat pintu ruangan Shanzeliq. "Lo hamil itu anugerah, bukan aib." Kalimat itu menohok tepat di hati Zhara, membuat gerakan berontaknya kian berhenti. "Lagipula, masa bodoh dengan trauma berat suami lo! Kalau dari awal dia nggak mau punya anak, dia harusnya nggak nyentuh lo atau paling nggak, gunain pengaman saat kalian ngelakuin seks!" Ucapan itu penuh tekanan, membuat beberapa orang yang berlalu-lalang menoleh ke arah mereka ketika pria itu menyebutkan kata 'seks.'

Shanzeliq—selaku orang dewasa--yang merasa khawatir akan keadaan pasiennya pun memilih untuk segera keluar dari ruangan dan melepas paksa cekalan tangan Agam dari Zhara. "Tidak perlu bertengkar di sini, ini rumah sakit."

Di sisi lain. Jhesen meringis kesakitan ketika merasakan nyeri di bagian lengan atasnya, yang rupanya terjadi karena gigitan gemas yang diberikan Aufa. Pria itu menatap sahabatnya kesal dengan penuh tanya, meminta penjelasan akan tingkah lakunya yang terlalu tiba-tiba dan merugikan itu.

"Dr. Shanzel ganteng banget ya, Jhes! Mana sopan dan dewasa lagi, nggak kayak elo!" bisik Aufa yang salah fokus, bukannya berusaha membantu Zhara untuk memberi pengertian pada Agam.

"Ada keributan apa ini?"

Suara bariton yang familiar itu membuat semuanya kompak menoleh dan mendapati sosok Fachri yang telah berjalan berdampingan dengan putranya. Ayah dan anak itu terlihat syok ketika menemukan keberadaan Zhara. "Lho, Nak? Kamu kok, ada di sini? Bukannya ini masih jam sekolah?" Fachri memeriksa jam yang melingkar di tangannya. "Kamu sakit atau ada temanmu yang sakit?" Pemikiran ayah mertuanya itu sangat positif, berbeda dengan Zhorif yang sudah menyimpulkan sendiri bahwasanya istrinya itu sedang kembali membolos sekolah.

"Lo ngapain, Zel?" Zhorif mengangkat salah satu alisnya keheranan karena merasa Shanzeliq tidak seharusnya berada di perkumpulan Teletubbies.

Shanzeliq meneguk ludahnya gugup, ia melirik Agam dan Zhara secara bergantian sebelum kembali menatap Zhorif dengan ekspresi santai yang dibuat-buat. "Hm ... kebetulan ketemu sama mereka aja."

Itu adalah alasan yang paling tidak masuk akal yang pernah Zhara dengar selama hidupnya.

"Gue nggak tau kalau lo sedeket itu sama Agam dan Zhara sampai-sampai harus bertegur sapa." Zhorif terlalu pintar, ia tidak mungkin mengabaikan perasaan ingin tahunya begitu saja.

"Hm ... sebenernya gue—"

"Sebenernya dr. Shanzel itu pacarku!" Aufa tiba-tiba memeluk lengan Shanzeliq dan menyandarkan kepalanya di lengan atas pria itu sembari tersenyum lebar. "Aku dan Kak Shanzel baru aja jadian tiga hari yang lalu, Dok, jadi aku pengen kenalin pacarku secara resmi ke Agam, Jhesen, dan Zhara." Aufa menatap Shanzeliq hangat, sedangkan yang ditatap malah membeku karena terlalu terkejut dan bingung harus bersikap seperti apa.

Zhorif menatap Shanzeliq tak percaya untuk sesaat sebelum berdeham. "Selamat kalau gitu," ujarnya sembari mengulurkan tangan untuk menarik istrinya yang berdiri terlalu dekat dengan Agam. "Kasih Mas penjelasan yang logis kenapa kamu bisa ada di sini kalau kamu nggak mau Mas hukum nanti malam." Bisikan pria itu membuat bulu kuduk Zhara meremang. Otaknya bergegas mencari-cari alasan yang sesuai untuk menjawab pertanyaan sang suami, ia tidak bisa menerima hukuman lagi. Tentu saja karena ia sedang mengandung dan melakukan seks mungkin akan membahayakan janin yang berada di rahimnya. Itu yang ia baca dari Google, sih.

Zhara melirik Shanzeliq dengan tatapan penuh permohonan, berharap agar pria itu mengiyakan ucapan Aufa sehingga semuanya tidak akan menjadi rumit dan Zhorif akan langsung percaya padanya. Shanzeliq menghela napasnya kecil sebelum melepaskan pelukan Aufa dari lengannya dan berkata, "Iya, ini memang cewek gue, Rif."

Ini? Kenapa ini? Ya, tentu saja ini karena Shanzeliq sendiri, bahkan belum mengatahui siapa nama kekasih pura-puranya itu.

Zhara menghela napasnya lega, sedangkan orang-orang di sekitarnya yang tak lain dan tak bukan adalah Agam, Aufa, Fachri, Jhesen, dan Zhorif malah mengeluarkan ekspresi terkejut. Di menit berikutnya, Fachri menghentikan pembicaraan yang sebenarnya tidak terlalu penting itu dengan berkata pada Zhara, "Nak, apa malam ini kamu mau menginap di rumah Papa dan Mama? Mama pasti senang sekali melihat kedatanganmu."

Beruntungnya Zhara saat itu. Ia lekas mengangguk tanpa berpikir panjang. Meskipun bodoh, ia sangat tahu bahwa Zhorif tidak akan berani mengapa-ngapakannya jika mereka sedang berada di rumah Fachri dan Hulya sebab Hulya selalu mendatangi Zhara di waktu-waktu tak terduga. Jadi, Zhorif akan menjadi begitu was-was hingga memilih untuk menahan hasrat birahinya saja.

"Aku menginap delapan bulan juga bisa kok, Pa!" sahut Zhara penuh semangat. Ya, ia hanya membutuhkan waktu delapan bulan untuk Zhorif tidak menyentuhnya karena saat ini kandungannya telah memasuki usia satu bulan.

Di sebelahnya, Zhorif tampak mendengus gusar. Ia tahu bahwa itu adalah akal-akalan sang istri agar tidak dikenai hukuman, tapi apa boleh buat? Ayahnya memang telah berkata sejak awal bahwasanya Hulya sangat ingin bertemu dengan menantu semata wayangnya.

*

*

*

"Sayaaanggg!"

Hulya menghambur memeluk tubuh mungil Zhara ketika mata keduanya saling bertemu. Zhara yang bahkan belum memasuki rumah dengan sepenuhnya hanya bisa terkekeh geli dan balas memeluk wanita baya itu erat.

"Mama apa kabar?"

"Nggak baik, dong! Udah berapa lama Mama pengen kamu menginap di sini, tapi selalu aja dihalang-halangi sama Papa dan Zhorif!" Hulya mencibir sembari mendelik tajam ke arah anak dan suaminya. "Udah, ah! Ngapain ngurusin orang-orang nyebelin kayak mereka berdua, mendingan kamu cepetan cuci tangan, terus cobain masakan Mama. Mama punya resep baru, lho ... nanti Mama ajarin ke kamu kalau kamu mau." Alhasil, keempatnya pergi ke dapur, mencari wastafel untuk sekadar mencuci tangan sebelum duduk di kursi makan.

"Wah!" Zhara menatap menu-menu makanan yang dihidangkan dengan begitu antusias, bahkan ia yakin, restoran manapun akan kalah jika dibandingkan dengan buatan Hulya.

Rutinitas keluarga Wira Atmadja yang memang seharusnya dilakukan oleh semua umat muslim pun dijalankan, yaitu membaca doa sebelum makan. Zhara kemudian dengan telaten mengambilkan nasi dan beberapa lauk dan sayur untuk suaminya terlebih dahulu, seperti yang biasa ia lakukan di hari-hari biasanya. Ia kemudian membantu Hulya dan Fachri yang tampak kesulitan meraih beberapa makanan. Baru setelah itu, ia mengambil makanannya sendiri.

"Tuh, udah Mama bilang, 'kan? Kedewasaan perempuan itu bukan cuma dilihat dari umur. Lihat, deh, mantu Mama, masih 17 tahun aja udah bisa jadi istri yang baik." Hulya mengerlingkan matanya untuk menggoda Zhara yang tiba-tiba menundukkan wajahnya malu.

Zhorif tersenyum simpul melirik tingkah laku istrinya. Ia kemudian mengulurkan tangannya untuk mengusap tangan mungil Zhara dengan lembut.

"Jadi, kapan kalian mau punya anak?"

Pertanyaan itu refleks membuat Zhorif dan Zhara kehilangan fokus dan langsung menatap Hulya yang dengan santainya malai senyam-senyum sendiri, menanti jawaban atas pertanyaannya tadi. Di sebelahnya, Fachri hanya mampu geleng-geleng kepala dan memulai acara makannya sendiri.

"Ma..." Zhorif mengeluarkan nada memelasnya, meminta sang ibu agar berhenti membahasnya.

Zhara berpura-pura sibuk menyuap nasi dan lauk ke mulutnya. Ia tidak mau ketahuan melalui ekspresi wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi panik. Namun, ketika ia baru saja memasukkan sesendok daging sapi lada hitam ke dalam mulut, perutnya kembali bergejolak seperti tadi siang. Ia refleks menutup mulutnya dan membuat sendok dan garpu yang sedang dipegangnya berdenting jatuh ke piring.

Ting!

Pandangan Zhorif langsung jatuh ke istrinya. Oleh karena itu, Zhara buru-buru melepas bekapan mulutnya sembari tersenyum seolah dirinya baik-baik saja meskipun ia sudah tidak tahan lagi untuk muntah. "Ma, Pa, aku izin ke toilet sebentar, ya..." Zhara bangkit dari kursinya dengan harapan Zhorif tidak akan menyusul dari belakang. Ia menoleh ke belakang dan tampaknya memang benar, Zhorif masih duduk di meja makan. Oleh karena itu, Zhara buru-buru berlari dan mencari toilet terdekat untuk memuntahkan isi perutnya.

"Huekkk!"

Zhara menghela napasnya kasar, entah mengapa kepalanya terasa begitu pening tiap kali ia memuntahkan isi perutnya. Wanita itu menghabiskan waktu di dalam kamar mandi cukup lama dan ketika dirasanya sudah cukup untuk muntah, ia lekas berkumur-kumur dan membersihkan bibirnya.

"Sudah sejak kapan kamu begini?"

Zhara terbelalak kaget, tubuhnya refleks menoleh dan mendapati sosok yang tak diduga-duga yang rupanya telah memperhatikannya sejak tadi secara diam-diam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top