Bab 53 - Teror I
Tak terasa usia pernikahan Zhorif dan Zhara kini hampir memasuki usia enam bulan, yang itu juga berarti Zhara, sebagai seorang murid kelas tiga SMA harus mempersiapkan ujian untuk masuk ke perguruan tingginya. Ya, wanita itu telah memutuskan untuk meneruskan pendidikannya paling tidak hingga ke jenjang S1. Ia melakukannya bukan tanpa sebab, melainkan karena perjanjian yang Zhorif ajukan padanya, yaitu mereka akan mulai fokus berbulan madu untuk memiliki anak ketika Zhara kuliah.
Zhorif tersenyum kecil ketika membayangkan ekspresi menggemaskan yang dikeluarkan oleh sang istri waktu menandatangi surat perjanjian konyol itu, bahkan tangannya yang hendak menyuap sesendok nasi putih ke mulut sempat terhenti sejenak. Saat ini dirinya sedang menikmati waktu istirahat siangnya bersama anggota DOGANS lain di kantin rumah sakit.
"Apaan sih, lo, Bang?!"
Jojo bergidik ngeri untuk yang ke sekian kalinya. Menurutnya, sejak awal Zhorif memang sudah terlahir aneh, dan keanehannya itu semakin menjadi ketika bertemu dan menikah dengan Zhara.
Zhorif menatap Jojo sejenak sebelum bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. "Emangnya gue kenapa?" Pria itu menyuap kembali nasinya yang sempat dianggurkan. "Makan yang banyak biar cepet dapet jodoh." Zhorif kemudian memberikan beberapa lauknya pada sang adik sepupu karena ingin cepat-cepat kembali ke ruangan dan membayangkan wajah istrinya.
Arsen dan Jeje yang kala itu tengah melihat sesuatu secara bersamaan di layar ponsel milik Arsen langsung menengadah. "Jo, lo mau nggak gue kenalin sama cewek cantik and bodi aduhai?" Pertanyaan itu dilontarkan begitu saja oleh Arsen tanpa disaring.
Jojo mengangkat salah satu alisnya, merasa heran sekaligus sedikit tertarik untuk mengetahui perempuan mana yang dimaksudkan oleh Arsen dan Jeje. "Saha?" Arsen mendorong ponselnya dengan penuh semangat untuk diperlihatkan pada Jojo, Tama, dan Zhorif yang duduk bersebelahan di hadapannya. "Rif! Liat sini dulu bentaran!" protesnya ketika Zhorif memalingkan pandangannya, sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dengan percakapan itu.
"Ini mantannya Bang Zhorif 'kan, Bang?" Jojo melotot seolah tak percaya, membuat Zhorif secara diam-diam menjadi ikut penasaran. Mantan? Siapa yang dimaksud oleh Jojo? Karena sepengalamannya, satu-satunya mantan kekasih yang ia miliki adalah Maudy, dan wanita itu sudah menikah dengan Jeje. Jadi, mana mungkin Jeje membiarkan Arsen untuk memamerkan bodi aduhai istrinya sendiri ke Jojo.
Jojo merangkul bahu Zhorif secara tiba-tiba dan memaksa pria itu untuk melihat layar ponsel milik Arsen. Jojo kemudian berdecak kagum sembari geleng-geleng kepala. "Liat, Bang ... ini si Fransisca, mantan pasiennya Arsen yang dulu naksir berat ama lo. Rupanya, bodi dia mirip personel Duo Serigala. Nyesel nggak, lo lebih milih bocil kayak Zhara ketimbang dia?" Jojo menaik-turunkan alisnya dengan santai.
Tama berdeham. Ia dapat membaca rasa tak suka Zhorif hanya dengan melihat ekspresi wajahnya. Tama menarik tangan Jojo yang masih bertengger di bahu Zhorif sembari geleng-geleng kepala, meminta adik sepupunya itu untuk bungkam. Namun sayang, Jojo sama sekali tidak peka dan malah melanjutkan percakapannya. "Oh iya, Sen. Kok, si Fransisca nggak pernah dateng untuk konsul lagi, sih? Udah sehat sentosa, 'kah?"
Arsen yang sama-sama tidak peka pun menyahutinya dengan mengendikkan bahu. "Gue kurang tau, yang jelas sejak Zhorif nikah dan undangan kesebar di sepenjuru rumah sakit, dia udah nggak pernah kontrol. Mungkin sakit hati kali ya, secara 'kan, pangeran berkuda putihnya udah digaet orang."
Tama melempar tatap pada Jeje yang duduk di sebelah Arsen, meminta agar pria itu membantunya membungkam mulut Arsen yang kian tertawa terbahak-bahak bersama Jojo. Untungnya Jeje langsung mengerti, kemudian membekap mulut Arsen dengan sebelah tangannya. Di kala Tama berniat untuk melakukan hal yang sama terhadap Jojo, Zhorif sudah lebih dulu menyumpal mulutnya dengan sesuap besar nasi di sendoknya.
Jojo menghentikan tawanya karena hampir tersedak. Ia melempar tatapan protes pada Zhorif yang tak diacuhkan oleh pria itu. Zhorif kemudian menepuk-nepuk bahu Jojo sembari berkata, "Cuma saran ... kalau mau cepet dapet istri, kapasitas bokep di otak lo harus lebih dikurangin."
***
"Ra, lo kenapa, sih?!"
Aufa menatap sahabatnya khawatir. Pasalnya, ini sudah yang keempat kalinya Zhara bolak-balik kamar mandi dan mengeluh bahwa ada yang tidak beres dengan perutnya. Ia merasa mual tanpa sebab.
"Gue ambil minyak angin di UKS dulu, ya." Aufa segera keluar dari toilet perempuan. Namun baru beberapa langkah, tangannya ditahan oleh seseorang yang rupanya telah bertengger di dinding sejak tadi. "Apaan? Gue mau ambil minyak angin." Gadis itu melepas paksa cekalan Agam pada pergelangan tangannya.
"Zhara kenapa?" Pertanyaan itu keluar juga setelah tiga detik menunggu.
"Katanya perut dia nggak enak, mual-mual mulu," jelas Aufa secara ogah-ogahan sebelum melenggang pergi meninggalkan Agam. Ya, gadis itu memang selalu sensitif tiap kali Agam bersikap peduli pada Zhara, tapi itu bukan berarti karena Aufa cemburu atau lainnya, ia hanya tidak suka saja dengan cara Agam mempermainkan perasaan sahabatnya.
"Huekkk!"
Agam celingukan, Aufa sudah terlanjur pergi jauh, dan ia yakin ada yang tidak beres dengan Zhara di dalam sana. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, ia pun memutuskan untuk bersikap bodoh amat dan masuk ke dalam toilet perempuan. Dilihatnya Zhara yang hampir jatuh berlutut di dekat wastafel jika saja ia tidak buru-buru menahan dan menopang tubuh lemas itu.
"Lo kenapa sih, Ra?!" Nada bicaranya terdengar seperti sebuah bentakan meski sebenarnya bukan.
Zhara menggelengkan kepalanya lemah. Wajah dan bibirnya terlihat pucat, area sekitar pelipisnya juga dipenuhi oleh peluh keringat, yang menandakan bahwa wanita itu memang benar-benar sedang tidak sehat.
"Kepalaku pusing, pengen tiduran, tapi masih pengen muntah juga..." Ia merengek, mungkin karena frustrasi menanggapi tingkah imun tubuhnya sendiri. Tak lama dari itu Zhara kembali memuntahkan isi perutnya, membuat Agam—si lambung lemah—harus memejamkan matanya jika tidak ingin ikut-ikutan muntah. Namun meski dengan mata tertutup, Agam tetap membantu sahabatnya dengan cara menyatukan rambut wanita itu dan menggenggamnya agar tidak terkena muntah.
"Kita ke rumah sakit aja, ya? Gue suruh Jhesen siapin mobil dulu." Agam tidak berniat mendengarkan balasan dari Zhara terlebih dahulu, dan langsung mengirim pesan pada Jhesen yang pasti sedang uring-uringan di dalam kelas.
"Nggak usah ke RS Wira Atmadja, aku nggak mau buat Mas Zhorif dan Papa khawatir," ujar Zhara dengan volume suara yang sangat kecil.
Agam menuntunnya berjalan keluar secara perlahan, tidak menyahuti ucapan Zhara karena tidak mendengarnya. Keduanya berhenti di tempat menunggu jemputan, mengharapkan kedatangan Jhesen dan mobilnya, tapi sudah hampir lima belas menit, mobil sport merah andalan Jhesen belum juga menampakan batang hidungnya, pesan yang dikirimkan oleh Agam pun belum dibaca. Menurut tebakan, saking uring-uringannya Jhesen di kelas Pak Jalendra, ia pasti ketiduran.
"Lo tunggu di sini bentar, nggak papa 'kan, Ra? Gue manggil Jhesen bentar," ujarnya yang membuat Zhara hanya bisa menganggukkan kepala. Sebenarnya Agam bisa saja menggunakan motornya, tetapi ia rasa, mengantar seseorang yang tengah sakit menggunakan motor bukanlah ide yang bagus.
Zhara meringis sembari memeluk perutnya yang kembali bergejolak. Ia pun mendekati tangga dan memutuskan untuk duduk di salah satu anak tangga yang menurutnya lumayan bersih. "Aduh..." Rasanya ingin sekali menangis, tapi tidak bisa karena takut dilihat oleh orang-orang yang mungkin sedang berlalu-lalang di sekitarnya.
"WOY!"
Zhara tersentak kaget akan suara bentakan yang terdengar familiar di gendang telinganya. Matanya menangkap Agam dan Jhesen yang kompak sedang menunjuk dan menatap marah sosok yang sepertinya berada di atas Zhara. Merasa penasaran, wanita itu pun mendongak dan langsung terbelalak kaget ketika melihat seseorang menggunakan jaket dan helm hitam sedang berancang-ancang untuk menjatuhkan sebuat pot tanaman tepat ke kepalanya.
Zhara ingin menghindar, tentu saja. Namun, tubuhnya terlalu lemah untuk digerakkan secara mendadak. Alhasil, ia hanya bisa pasrah memejamkan kedua mata dan menerima apa yang selanjutnya akan terjadi. Pot itu dijatuhkan tepat di atas kepalanya, tetapi sebelum benar-benar mengenainya, Agam sudah lebih dulu berlari dan mendekapnya erat hingga membuat pot itu malah jatuh mengenai punggung pria itu.
"Agam!" Suara jeritan Aufa yang baru saja tiba di tempat itu langsung memekakkan telinga.
Agam meringis kesakitan, ia yakin punggungnya pasti akan lebam setelah melihat pot yang berbahan dasar tanah liat itu telah hancur berserakan. Namun untuk saat ini, itu bukan poin utamanya. Pria itu merenggangkan dekapannya untuk memeriksa keadaan Zhara, tetapi yang terjadi adalah ia malah mendapati tubuh wanita itu langsung oleng tak terkendali. Ya, Zhara tak sadarkan diri dan jatuh masuk ke dalam dekapannya kembali.
"Ra!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top