Bab 52 - Karma
"Sorry, Bro, jadi ngerepotin."
Vino mendelik tak suka dan menyingkirkan tangan Zhorif dari bahunya. "Dia adek gue," sahutnya sembari menatap Zhara yang telah duduk grasak-grusuk di kursi mobil tepat sebelah kemudi. Vino menahan pintu mobil yang hampir ditutup seutuhnya oleh Zhorif. "Lo nggak bakal apa-apain Ara, 'kan?" Raut wajahnya terlihat khawatir. Mungkin karena pria itu berpikir Zhorif akan melakukan hal yang iya-iya pada adiknya meskipun sebenarnya pasangan suami-istri itu memang sudah pernah melakukannya tanpa sepengetahuan Vino.
Dahi Zhorif sontak berkerut. "Maksud lo?"
Vino tak lekas menjawab, ia pergi mendekati Nando yang kala itu sedang susah payah membopong tubuh Jhesen untuk masuk ke mobilnya. "Vin, lo mau ngapain?!" Nando melotot kaget ketika sahabat prianya itu meraba-raba bokongnya dan mengeluarkan sesuatu dari kantung celana jins yang sedang dipakainya.
Vino kembali berbalik arah untuk mendekati Zhorif, meraih tangan pria itu secara tak terduga, dan memberikan benda yang telah dicurinya dari kantung celana Nando. "In case kalau memang udah nggak ada cara lain untuk ngebantu Ara."
Zhorif mengernyit bingung, menundukkan kepalanya untuk melihat benda asing apa yang telah diberikan oleh saudara iparnya itu. Matanya refleks membulat ketika mengetahui bahwa benda itu adalah benda yang sama seperti yang pernah hendak dibeli oleh istrinya di malam pengantin pertama mereka. "Gue—"
"Gue tau kalau lo seorang dokter, tapi gue yakin, nggak semua dokter tau kalau obat perangsang bener-bener bisa menyiksa pemakainya."
*
*
*
Di perjalanan kembali menuju ke apartemen mereka, Zhorif sudah menghela napasnya frustrasi untuk yang ke sekian kali. Bagaimana tidak? Zhara terus menggerayangi tubuhnya sembari merengek-rengek dan berkata tubuhnya kepanasan.
"Mas Zhorif..."
"Zhara, jangan!" Zhorif menahan kedua tangan istrinya yang bergerak nakal untuk membuka kancing kemeja putih yang dikenakan olehnya. Namun ternyata, wanita itu tidak cepat menyerah, ia mencodongkan wajahnya untuk mencium pipi Zhorif yang kemudian mulai beralih turun ke lehernya. "Ya Allah..." Zhorif menggeram frustrasi dengan mata yang terpejam karena turut menikmati apa yang tengah dilakukan oleh sang istri. Pria itu mendorong tubuh Zhara agar menjauh darinya ketika tersadar bahwa apa yang dilakukannya saat ini tidak benar. Ia tidak boleh melakukan hal itu di dalam mobil, apalagi ketika sedang dalam kondisi menyetir di jalan raya seperti ini.
"Mas, nggak tahan..."
Zhara menggigit bibir bawahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia malu, tentu saja. Namun di sisi lain, tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama, ada gejolak aneh yang bersarang di bagian sana. Wanita itu kemudian menggerakkan salah satu tangannya untuk menyentuh paha Zhorif dan membelainya perlahan, membuat sang pemilik semakin kehilangan fokus untuk berkendara. Zhorif berdecak frustrasi, berusaha menahan tangan itu untuk berhenti bergerak naik dan membuat juniornya bangkit di saat yang tidak tepat.
"Lampu merah, Mas." Zhara mencakup pipi suaminya, kemudian melumat bibir itu dengan tak sabaran ketika mobil itu baru saja berhenti. Zhorif membalasnya dan ikut menikmatinya karena Zhara berinisiatif. Zhara mendesah kecewa ketika Zhorif mendorongnya menjauh untuk yang kedua kali. Ia melakukannya bukan tanpa sebab, tetapi karena lampu merah yang kian mulai berganti menjadi hijau. "Masih lama ya, sampainya?"
Zhorif menganggukkan kepalanya jujur. Letak klub milik Vino memang amat jauh dari tempat tinggal mereka yang sedikit lebih ke pinggiran kota Jakarta. Ia melirik Zhara yang tengah sibuk membuka seragam yang dikenakannya. Ah, ngomong-ngomong soal seragam, Zhorif jadi teringat akan sesuatu.
"Kamu bolos sekolah lagi?"
Ya, pria itu hendak memarahi istrinya dan menghukumnya sekalian. Pasalnya, Zhara sudah sangat keterlaluan: bolos sekolah, pergi ke klub malam, dan meminum minuman yang tidak sepatutnya. Zhorif benar-benar kaget ketika Vino meneleponnya dan mengatakan bahwa Zhara berada di klub dan secara tak sengaja telah meminum obat perangsang.
"Bahas itu nanti aja, ya." Zhara mendekatkan wajahnya kembali untuk mencium Zhorif. Namun, pria itu bergegas menahannya kembali hingga membuat sang istri refleks melengos kecewa. "Mas, kenapa?"
"Pakai baju kamu kembali," suruhnya dengan nada datar. Ia memutuskan untuk kembali ke niat awalnya, menghukum Zhara agar wanita itu jengah membuat masalah lagi. Wanita itu terlihat kebingungan, tapi tetap menuruti kemauan suaminya. "Mas nggak suka kamu bolos sekolah dan pergi ke tempat-tempat seperti itu."
"Iya, tau..." cicitnya dengan kepala tertunduk.
"Kalau tau, kenapa masih bolos dan pergi ke sana?" Zhorif melirik istrinya singkat, dalam hati merasa kegemasan karena Zhara mengembungkan pipinya sedih.
"Karena aku nggak mau sekolah lagi," jawabnya jujur yang membuat Zhorif terlihat terkejut, "aku mau jadi ibu rumah tangga aja, fokus untuk mengurus anak aku dan Mas Zhorif nanti."
Entah mengapa rasanya mejengkelkan meski Zhara sebenarnya memiliki cita-cita yang amat mulia. Zhorif merasa bahwa dirinya adalah penghambat masa depan wanita itu. "Kamu tau nggak, dengan bertingkah seperti ini kamu malah membuat Mas menyesal karena telah menyentuh kamu?" Zhara mengangkat wajahnya dengan mata yang membulat. "Kamu memang sudah menikah, tapi itu bukan berarti kamu harus berhenti mengejar pendidikanmu, Zhara..." Zhara terlihat hendak menangis. Oleh karena itu, pria itu buru-buru berkata, "Ini bukan berarti Mas nggak mau punya anak dari kamu." Zhara diam, dan itu membuat Zhorif yakin bahwa istrinya pasti merasa sangat tersakiti. Zhorif beranjak menggerakkan tangannya untuk menyentuh tangan wanita itu, tapi dengan secepat itu pula, Zhara menjauhkan tangannya.
Sesampainya di dalam apartemen, Zhara melakukan hal yang tak terduga. Ia memindahkan semua barang-barangnya, termasuk Teby menuju kamar tamu, tidak mengacuhkan tatapan kebingungan suaminya. Usai itu, Zhara terlihat berjalan ke dapur untuk mendapatkan segelas air dingin demi menyadarkan pikirannya. Ia kemudian kembali ke kamar barunya, berniat untuk mandi air dingin, tapi sebelum itu sempat terjadi, Zhorif telah memeluk pinggangnya lebih dulu dari belakang. Pria itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengecup lembut leher istrinya. Kecupan itu lama-kelamaan mulai memanas, Zhorif membawa tubuh Zhara untuk duduk di atas sofa, hendak mencumbunya kembali, tetapi buru-buru ditolak oleh sang empu. Ya, Zhara menolaknya dengan cara yang sama seperti yang ia lakukan di mobil tadi.
"Mas nggak bisa lama-lama, Mas harus balik ke rumah sakit sebentar lagi," jelas pria itu yang kemudian mencium bibir Zhara dengan rakus. "Satu ronde, ya? Mas nggak tega liat kamu mandi air dingin." Ketika tangan Zhorif bergerak untuk membuka kancing seragam yang dikenakan istrinya, Zhara menahannya.
"Nggak usah. Mas balik aja ke rumah sakit, nggak usah khawatirin aku. Lagipula, aku memang lagi kepengen mandi air dingin." Nada yang digunakannya benar-benar dingin. Zhara beranjak dari sofa dan meninggalkan Zhorif yang terngaga di tempat. Ah, tiba-tiba pria itu merasa menyesal karena telah menggunakan Zhara sebagai alasan, padahal sebenarnya ialah yang membutuhkan wanita itu untuk menghangatkannya. Di saat bersamaan, ponsel pria itu bergetar. Rupanya, sang pamanlah orang yang menghubunginya.
"Assalammualaikum, Om."
"Waalaikumusalam, Rif. Kamu dimana? Om dan Papamu hendak mengadakan rapat penting."
"Di apartemen, Om."
"Lho, kok, udah pulang aja? Kamu nggak enak badan?"
Zhorif terdiam, bingung untuk menjawab pertanyaan pamannya.
"Rif?"
"Om, aku boleh cuti setengah hari?"
"Kamu beneran sakit, ya?"
"Om mau aku jadi ahli waris, 'kan?"
"Ahli waris? Kok, tiba-tiba membahas itu? Om ini sedang mengkhawatirkan kondisi—ah! Om ngerti maksud kamu. Yaudah, silakan lanjutkan bercocok tanamnya, jangan lupa rajin disiram, Rif."
Zhorif mengusap wajahnya frustrasi dan malu. Ia terpaksa berkata seperti itu agar Fathur berhenti bertanya dan menyuruhnya untuk segera kembali ke rumah sakit. Setelah saling mengucapkan salam, panggilan itu terputus. Mata Zhorif langsung beralih untuk melihat pintu kamar yang kini dipakai Zhara. Ia bangkit dari duduknya dan membuka pintu yang rupanya tak terkunci itu. Dilihatnya kamar itu tampak kosong, yang itu berarti Zhara sedang berada di dalam kamar mandi.
Tok, tok, tok!
Tak ada jawaban dari dalam sana. Zhorif menghela napasnya karena tau bahwa Zhara masih merasa kesal. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk membuka pintu itu sendiri. Namun, rupanya terkunci.
"Zhara, tolong buka pintunya."
Tidak ada sahutan dari dalam, yang dapat didengar oleh Zhorif hanyalah suara keran shower yang menyala. Asal tahu saja, Zhorif bukan pria yang mudah menyerah. Buktinya, ia sekarang mulai mencari keberadaan kunci cadangan kamar mandi tersebut dan langsung membuka pintunya ketika berhasil menemukan benda kecil itu di dalam laci.
Zhorif mendapati Zhara yang terduduk di lantai, tepatnya di bawah guyuran air, sedang menagis dengan tubuh bergetar. Pria itu mengambil langkah pelan untuk mendekati istrinya, kemudian menyentuh wajah Zhara. "Mas minta maaf, ya?" Suara itu terdengar sangat kecil, meski dekat dengan telinga. "Mas nggak seharusnya berbicara seperti itu. Mas nggak pernah menyesal karena telah menikah ataupun meniduri kamu." Zhorif mengecup mata istrinya singkat. "Tolong jangan menangis lagi..."
Zhara menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Mas jahat tau, nggak?! Jahat banget!" Wanita itu memukul dada suaminya pelan untuk melampiaskan kekesalannya. "Aku butuh Mas, tapi Mas malah marah-marah. Emangnya Mas pikir aku nggak malu ngemis-ngemis kayak tadi?"
"Mas bersalah." Zhorif tidak ingin pertengkaran mereka berlanjut. Oleh karena itu, ia lekas menarik tubuh Zhara untuk masuk ke dalam dekapannya. "Mungkin sekarang ini, kamu berpikir kalau kamulah satu-satunya orang yang paling ingin melakukan itu."
"Bukannya emang gitu?" Ketus Zhara masih merasa jengkel.
Zhorif refleks berdecak frustrasi. "Asal kamu tau, Mas udah tersiksa sejak di mobil, ditambah lagi kamu pakai acara nolak-nolak Mas di sofa, dan lebih milih nangis sendirian di sini."
Zhara mengangkat pandangannya, menatap sang suami untuk mencari kebenaran lewat matanya. Ketika merasa bahwa Zhorif mengatakan yang sejujurnya, ia mulai tersenyum kecil, rasa kecewanya yang tadi hilang begitu saja. Ia kemudian mengalungkan tangannya di leher Zhorif dan melumat bibir pria itu dengan lembut, membuat Zhorif lama-kelamaan mulai terbuai dan berusaha melepaskan pakaiannya sendiri tanpa memutus jalinan di antara keduanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top