Bab 51 - Kenakalan Remaja

Seperti hari-hari biasanya, Aufa menenteng tas ranselnya dengan punggung yang merunduk malas untuk melangkah masuk ke sekolah. Selangkah lagi keluar dari wilayah tempat parkir, matanya menangkap sosok Agam yang sedang memperhatikan sesuatu dengan amat serius hingga tak mengerjapkan mata sekalipun. Merasa penasaran, Aufa pun mendekatinya dengan langkah hati-hati agar pria itu tidak menyadari kehadirannya. Baru saja ingin mengagetkan, pergerakkannya terhenti karena melihat sosok Zhara yang baru saja keluar dari sebuah mobil SUV putih milik Zhorif.

"Makanya kalo ko cinta dia itu ko jaga, sekarang su terjadi baru ko ganas, mau ko ganas pun ko gabisa puas."

Lagu berjudul Bukan PHO karya penyanyi asal Indonesia Timur yang diparodikan oleh Aufa tepat di telinganya membuat Agam refleks menoleh ke samping dengan ekspresi terkejut. Aufa menaik-turunkan alis kembarnya demi lanjut menggoda pria yang berperan sebagai second lead dalam cerita ini.

"Gue bukan lagi ngeliatin Zhara," sahut Agam yang terlalu kentara, bahkan bola matanya mulai bergerak gelisah.

"Ohh ... lagi liatin Zhara, toh." Simpulan Aufa tepat sasaran. Gadis itu kemudian merangkul bahu Agam hingga membuat pria itu terpaksa merunduk untuk menyamakan tinggi mereka. "Senyum, Gam. Lo nggak mau ketauan galau sama Zhara, 'kan?" Agam baru saja ingin protes, tetapi ketika matanya bertabrakan langsung dengan milik Zhara, ia langsung merekahkan senyumannya.

Zhara balas tersenyum lebar, kemudian melambai-lambaikan tangan dan berlari dengan lompatan kecil untuk mendekati kedua sahabatnya. "Udah lama banget nggak ketemu!" Wanita itu memeluk Aufa cukup erat hingga membuat tubuh Agam yang menempel dengan Aufa ikut terdekap juga.

"Kaki lo gimana?" Agam mengurai pelukan mereka bertiga dan menundukkan kepalanya demi memeriksa kaki Zhara. "Pasti baru lepas perban. Jangan lompat-lompat dulu." Agam tersenyum simpul hendak mengacak rambut Zhara gemas. Namun, wanita itu buru-buru melangkah mundur dengan sebuah cengiran.

"Tadi kelupaan. Bukan mahram."

Aufa tersedak saking tak tahannya untuk menyemburkan tawa. Gadis itu melirik Agam yang seketika melongo karena tak bisa berkata apa-apa, harga dirinya seolah sudah dicampakkan sedalam-dalamnya.

"Jhesen dimana, Fa?" tanya Zhara dengan dahi yang berkerut karena biasanya Jhesen selalu ada dimanapun Aufa berada.

"Nggak tau, kayaknya ditelen sama ular sanca bokap gue," sahut gadis itu asal yang membuat tautan di alis Zhara semakin menjadi. "Bercanda, Ra. Gue cuma bercanda, jangan dibawa serius!" ralatnya cepat karena tidak mau pusing. "Udah, ah! Masuk kelas, skuy! Hari ini gue lagi dalam mood untuk belajar." Aufa memeluk lengan Zhara dan Agam bersamaan, kemudian mengajak keduanya untuk masuk ke dalam kelas.

Di dalam kelas, Jhesen tampak terkejut akan kehadiran Zhara. Sontak saja, pria itu bangkit dari kursinya, berlari untuk menghambur dan memeluk tubuh mungil sahabatnya. Melihat hal itu akan terjadi, Agam bergegas menahannya, berjaga-jaga agar harga diri Jhesen tidak dijatuhkan seperti yang dialaminya beberapa waktu lalu. Namun tak disangka-sangka, Zhara malah memeluk Jhesen, bertindak tidak adil padanya.

"Gue kangen ngotorin otak suci lo, Ra!" Agam ternganga tak percaya ketika melihat Jhesen dengan santainya mengacak rambut Zhara tanpa dihalang-halangi.

Keterkejutan Agam ditambah ketika tangan kanannya dibawa paksa menuju kepala Aufa oleh gadis itu sendiri. "Nih, acak-acak rambut gue aja, sekalian kalau ada uban dicabutin, ye," godanya.

Agam mendengus gusar ketika sadar dari lamunannya, buru-buru menoyor pelipis gadis itu, kemudian mengelap-ngelap tangannya ke baju. "Bukan mahram!" ketusnnya yang refleks membuat Aufa tertawa terbahak-bahak di tempat. Agam melenggang pergi untuk duduk, meletakkan kedua kakinya di atas meja, dan membuka permen lolipop yang sempat dibelinya di Indomaret tadi pagi.

Zhara mendekati Agam dan duduk di sebelah pria itu dengan senyuman ceria tanpa lelah. "Oh iya, Gam! Kemarin kamu balik ke Jakarta karena ada pertandingan mendadak, 'kan? Gimana tandingnya? Menang atau kalah?"

"Hah?" Jhesen menaikkan salah satu alisnya bingung. "Sejak kapan lo pulang ke Jakarta karena tandingan? Bukannya, karena patah hat—" Lolipop yang sudah bersarang di liur Agam refleks berpindah tempat menuju milik Jhesen. "Alhamdulillah, rejeki dari Yang Maha Kuasa!" Jhesen dengan senang hati menikmati pemberian Agam.

Brakk!

Bunyi pintu yang terbanting kuat ke dinding membuat semua mata sontak mengarah ke seorang gadis berkuncir kuda dengan wajah yang dipenuhi oleh keringat. "Gawat, Guys! Pak Eden nggak masuk, jadi kelas kita bakal dijaga sama Pak Suwarto!" Umumnya yang refleks membuat para murid rusuh karena kecewa. Berbeda lagi dengan Teletubbies yang tersenyum lebar dan meraih tas masing-masing, bersiap untuk melarikan diri sebelum guru pengganti tiba.

Keempatnya kompak masuk ke dalam mobil milik Jhesen, menyalakan mesin mobil, dan melajukannya tanpa arah. Di perjalanan, Aufa mendengus gusar. "Main cabut aje. Padahal, lagi bokek." Gadis itu memamerkan dompetnya yang hanya diisi oleh uang sebesar dua ratus ribu rupiah.

"Gue juga," sahut Agam dan Jhesen kompak.

Zhara tersenyum tenang, mengeluarkan dompet berwarna merah muda dari ranselnya, dan memamerkan kartu hitam yang diberikan oleh sang suami beberapa waktu lalu. "Mau kemana nih, kita?" Wanita itu menaik-turunkan alisnya.

Aufa dan Jhesen refleks saling menatap karena memiliki ide yang mereka yakini sama. Jhesen kemudian menghentikan mobilnya di suatu ruko butik yang terlihat menjual berbagai jenis pakaian. Keempatnya turun dan masuk ke sana, memilih-milih pakaian sesuka hati dengan singkat, bahkan langsung mengenakannya tanpa dicuci setelah dibayar.

"Sebenernya kita mau kemana sih, Fa?" tanya Zhara sembari melipat seragamnya dan memasukkannya ke dalam ransel. "Aku pake ini cocok nggak, Gam?" Zhara berkacak pinggang agar pria itu dapat melihat penampilannya dengan jelas. Kaos hitam bermotif bibir merah dan celana jins pendek tampak sederhana, tetapi memberikan kesan seksi ketika dipakainya. Oleh karena itu, Agam menganggukkan kepala.

*

*

*

"Eh, apa-apaan, nih?!"

Agam membulatkan matanya syok ketika diseret paksa oleh Aufa dan Jhesen untuk masuk ke sebuah klub malam yang dulu pernah keduanya datangi bersama dengan Zhara, dan berakhir diusir karena ketiganya bertemu dengan Vino.

"Kalian seriusan mau masuk ke sini lagi? Aku udah janji sama Bang Vino untuk nggak main ke tempat-tempat kayak gini." Zhara meringis. Namun, di dalam hati ada dorongan ingin masuk karena sebelumnya ia belum puas menjelajah.

"Tenang ajalah, Ra! Kalau urusan Bang Vino mah, biar gue yang urus dengan kejelitaan gue!" Aufa mengibaskan rambutnya seolah pernah berhasil dalam melunakkan amukan Vino.

"Yaudah, deh!" Tidak ingin mengecewakan para sahabatnya yang telah jauh-jauh membawanya ke tempat ini, Zhara pun menyetujuinya. Alhasil, tiga suara untuk masuk ke klub mengalahkan Agam yang harus pasrah bergabung ke aliran sesat.

Ketiga sejoli itu membulatkan mata mereka syok ketika bertemu dengan sosok penjaga pintu yang waktu lalu. Mereka takut akan kembali dihadang. Namun, rupanya sang penjaga itu tampaknya telah lupa. Buktinya, ia mengizinkan mereka berempat masuk tanpa mengecek kartu tanda penduduk lebih dulu.

"JEB AJEB AJEB AJEB! SYURRR!!!"

Jhesen mengoyangkan pinggulnya dan mengangkat kedua tangannya ke atas sembari bersiul genit ketika melihat ada banyak wanita cantik berpakaian seksi sedang menari di dance floor. Pria itu menarik tangan Aufa yang membuat Aufa jadi menarik tangan Agam, dan berujung Agam menarik tangan Zhara. Alhasil, anggota Teletubbies itu terdampar di tengah orang-orang yang tengah berlinggak-lingguk menikmati alunan musik yang berkoar.

"Kalau cuma duduk di bar, nggak asik!" seru Jhesen sengaja agar dapat didengar oleh ketiga sahabatnya. Ketika melihat Agam yang hendak menyeret Aufa dan Zhara menjauh dari kerumunan Jhesen bergegas menahannya. "Masuk sini bayarnya mahal! Jangan disia-siain!" serunya lagi.

Iman Agam benar-benar digoda ketika melihat Zhara yang menuruti perintah Jhesen. Wanita itu melompat-lompat dan menari seperti anak SD yang kegirangan. Rupanya, lenggokkan tubuhnya yang asing dan unik itu berhasil mengundang banyak ketertarikan pria di sekitar sana. Seorang pria asing tak berambut terlihat mendekati Zhara dan hendak memeluk pinggang wanita itu untuk mengajaknya menari bersama. Untungnya, Agam bergegas menarik Zhara ke dalam dekapannya.

"Jangan jauh-jauh, cowok-cowok di sini bahaya!" serunya pada Zhara agar wanita itu tidak kebingungan akan perilakunya yang tak terduga.

Usai merasa lelah berdansa, para remaja itu mendudukkan bokong mereka di sebuah sofa yang berbentuk seperti lingkaran. Jhesen dan Aufa meneguk segelas bir tanpa ragu hingga berujung mabuk dan cegukan di tempat. Agam hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya, hendak menyudahi, tetapi sebuah panggilan penting dari pelatihnya tiba-tiba masuk. Oleh karena itu, ia bergegas mencari tempat yang tak terlalu bising untuk mengangkatnya. Namun sebelum itu, ia sudah lebih dulu berpesan pada Zhara untuk tak pergi kemana-mana dan jangan minum apapun.

Sepergian Agam dari sana, Zhara meraih segelas minuman yang ditawarkan oleh seorang penyaji perempuan di atas nampan, menghirup-hirup aromanya perlahan untuk menyelesaikan rasa penasarannya. Ia menatap Aufa dan Jhesen yang sudah teler dengan wajah memerah.

"Enak nggak, sih?" Meski tahu bahwa kedua sahabatnya itu akan membual, Zhara tetap menanyakannya. Aufa mengangguk dalam keadaan setengah sadar, sedangkan Jhesen malah terkikik geli sembari mengangkat kedua jempolnya. Zhara tergoda. Kepalanya bergerak celingukan untuk memastikan bahwa Agam belum kembali. Ia kemudian mendekatkan bibirnya ke gelas, hampir meminumnya jika saja pria botak yang hendak mengajaknya menari tadi tidak segera menghadang.

"Itu cuma bir. Nggak mau coba ini? Namanya vodka, rasanya lebih enak." Pria asing itu menyodorkan gelasnya kepada Zhara dengan sebuah senyuman misterius.

"Aku nggak pernah minum alkohol sebelumnya," sahut wanita itu jujur dan ragu untuk menerima sodoran itu. Melihat adanya kekecewaan di mata pria botak yang terlihat baik hati itu, membuat Zhara merasa tak enak hati. Oleh karena itu, ia mengangguk dan menerima gelas tersebut.

"One shot, dong."

Alis kembar Zhara bertaut bingung. "One shot?"

"Kayak gini." Pria itu meneguk habis segelas bir yang awalnya hendak diminum Zhara dalam satu kali tarikan napas.

Zhara berdecak kagum. Pria itu terlihat seperti aktor di drama Korea yang jago minum. Oleh karena itu, ia jadi bersemangat untuk mencontohnya. Zhara menyesap minuman itu secara perlahan dan merasakan sensasi panas di batang kerongkongannya. Namun, karena sudah menyetujui uji one shot-nya, ia terpaksa menghabiskan cairan itu walau sebenarnya tak sanggup.

Kulit wajahnya yang putih kian memerah, Zhara perlahan kehilangan kesadarannya dan menjatuhkan kepala tepat di bahu pria asing tadi. Pria itu tersenyum karena telah berhasil menunaikan rencana liciknya, ia kemudian menggendong tubuh Zhara dan membawanya ke lantai dua, mencari-cari tempat yang dikiranya tak terlalu ramai.

"Panas..." Zhara merengek dalam gumamannya, bahkan secara tak sengaja menampar wajah pria asing itu. "Kok, dindingnya muter-muter sih, Om?" Dahinya berkerut karena kepalanya berdenyut pening. Ia tidak sadar bahwa pria botak itu telah membawanya masuk ke sebuah ruangan VIP yang rupanya menyediakan sebuah kasur berukuran king size. Tubuh Zhara diturunkan untuk berbaring di atas kasur dengan hati-hati, pria itu kemudian kembali mendekati pintu untuk sekadar menguncinya. Namun sebelum hal itu sempat terjadi, dadanya telah ditendang kuat oleh sosok yang tak terduga hingga membuat bokongnya mendarat keras ke lantai.

Bugh!

"LO MAU APAIN ADEK GUE, HAH?!"

Sosok Vino datang dengan penuh amarah. Tepat di sebelahnya, ada sosok Nando yang rupanya telah memata-matai Teletubbies sejak tadi. Vino meraih kemeja yang dikenakan oleh si pria botak, kemudian menyeretnya untuk keluar dari ruangan tersebut, menghajarnya kembali dengan membabi buta hingga akhirnya, tangannya ditahan paksa oleh Nando.

"Gue belom puas, Ndo!" protesnya.

"Masa bodoh!" Nando menoyor kepala Vino karena kesal akan kekeraskepalaan sahabatnya. "Ada yang nggak beres dari Zhara!" Pria itu menunjuk Zhara yang terbaring dengan gerak-gerik gelisah.

Vino membulatkan matanya tak terima, kemudian kembali menghantam wajah pria asing itu. "Lo apain adek gue?!"

Nando memutar bola matanya malas. Ia tahu bahwa di saat-saat seperti ini tidak ada gunanya mengajak Vino untuk berpikir, biarkan saja pria itu menguras emosinya lebih dulu. Nando mendekati Zhara, duduk di dekatnya, kemudian meletakkan telapak tangannya di dahi wanita itu. Ketika ia hendak menjauhkan diri, tangannya ditahan dan dibawa paksa menurun menuju leher oleh wanita itu sendiri. Nando buru-buru menahan tangannya dan melotot sebelum berteriak pada Vino.

"Dia minum obat perangsang, Vin!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top