Bab 43 - Pertama Kali Bertengkar
"Assalamualaikum..."
Zhorif menahan senyumannya ketika menemukan Zhara sedang duduk di tepi kasur dengan posisi menghadap jendela, membelakanginya. Dahinya berkerut karena gadis itu tidak kunjung menyahut. Oleh karena itu, Zhorif pun memutuskan untuk mendekat dan memeriksa apa yang telah terjadi pada istrinya yang biasanya selalu antusias apabila melihatnya pulang.
"Zhara?"
Tatapan gadis itu terlihat kosong, hanya mengarah lurus ke depan. Ia juga tidak menyahut ketika namanya dipanggil berulang kali oleh Zhorif. Sampai akhirnya, mata melamun itu mulai berkaca-kaca, membuat Zhorif yang melihatnya sontak berjongkok dan menatapnya khawatir.
"Kamu kenapa?!" Kedua tangan pria itu mencakup pipi Zhara yang tembam. "Kamu nggak enak badan? Ada yang sakit?!" Namun, istrinya malah menggeleng pelan dengan tangisan yang pecah. "Kamu kesal karena saya tinggal sendirian?" Zhara kembali menggeleng. "Ada yang berbuat jahat sama kamu selama saya pergi?" Lagi-lagi gelengan yang menyahuti pertanyaan Zhorif. Pria itu mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya dengan lembut. "Zhara, jangan menangis tanpa alasan seperti ini ... kamu membuat saya merasa khawatir. Apa saya ngelakuin kesalahan, seperti menyinggung perasaan kamu? Kalau benar, saya minta maaf."
Zhara menatap Zhorif dengan mata yang memerah serta bahu yang bergerak naik turun akibat sesenggukan. "Kenapa—" Gadis itu menjeda pertanyaannya, "—kenapa Mas nggak pernah kasih tau aku kebenarannya? Selama ini, aku benar-benar berpikir bahwa apa yang aku lakuin akan membuahkan hasil."
"Kebenaran apa? Saya tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan, Zhara..." Zhorif kembali menghapus air mata istrinya yang mengucur deras seperti air mancur.
"Anak. Mas bohong sama aku! Mas bilang aku akan hamil kalau kita sering bersentuhan! Padahal—" Kalimatnya terjeda akibat cegukan, "—padahal kenyataannya, untuk beneran hamil, caranya nggak seperti itu!"
Zhorif terdiam untuk beberapa saat, merasa amat syok dengan ucapan istrinya sekaligus merasa penasaran darimana Zhara mengetahui kebenaran itu. "Oke, oke..." Ia menyudahi pikiran rumitnya untuk mempersingkat masalah. "Saya minta maaf. Saya minta maaf karena telah menipu kamu selama ini."
"Mas Zhorif jahat!" Zhara memberengut kecewa. Oleh karena itu, untuk membuat perasaannya membaik, Zhorif buru-buru menarik gadis itu untuk masuk ke dalam dekapannya.
"Maaf." Ia bergumam sembari mengelus rambut Zhara.
Zhara menghentikan tangisannya setelah beberapa menit. Pikirannya kemudian mengingat salah satu video porno yang ditontonnya beberapa waktu lalu. Sebelum melakukan penyatuan, dua bintang film berbeda jenis kelamin itu tampak memeluk satu sama lain seperti apa yang dilakukan oleh Zhorif padanya saat ini. Oleh karena itu, Zhara buru-buru mendorong dada suaminya menjauh dengan wajah merona malu.
"Aku udah nggak sedih lagi, Mas," ujarnya yang membuat Zhorif sebenarnya merasa sedikit keheranan. Pasalnya, ini pertama kali, Zhara mengurai pelukan keduanya lebih dulu. Namun, karena merasa hal itu tidak perlu terlalu dipermasalahkan, Zhorif pun melupakannya dengan cuma-cuma. "Ini udah jam 20.00, Mama tadi suruh aku turun untuk makan malam sama-sama. Yuk!" Zhorif pikir Zhara akan menggandeng tangannya seperti biasa. Namun, kali ini gadis itu tak begitu dan malah melenggang pergi lebih dulu.
Di dalam lift pun Zhara kembali bertingkah aneh dengan memberikan jarak yang cukup jauh di antara keduanya, membuat Zhorif lama-kelamaan merasa risih karena tak terbiasa dengan sikap istrinya.
Keduanya memasuki sebuah ruang makan pribadi yang khusus dibuat hanya untuk dipakai oleh anggota keluarga Wira Atmadja. Di dalam, hampir semua kursi telah diisi oleh keluarga besar Zhorif. Namun beruntung, masih ada dua kursi kosong yang terletak bersebelahan untuk mereka duduki. Ketika Zhorif baru saja hendak menarik kursi untuk memersilakan istrinya duduk, Zhara telah lebih dulu mengambil duduk di kursi kosong yang terletak di antara Arsen dan Agam. Perlakuan itu sebenarnya membuat Zhorif sangat terkejut dan tak percaya, tetapi mau bagaimana lagi? Zhara mungkin belum bisa memaafkannya dengan sepenuh hati.
Hulya mendelik tajam ke arah Zhorif seolah tahu bahwa kedua anaknya itu sedang bertengkar, dan tanpa mengetahui penyebabnya langsung menarik kesimpulan bahwa putra kandungnyalah yang melakukan kesalahan.
"Kalau istrinya Kak Zhorif nggak mau duduk di sebelah suaminya sendiri. Yaudah, aku aja yang duduk di kursi ini dengan senang hati!" Najella bangkit dari kursinya, kemudian berpindah tempat untuk mengisi kursi di sebelah Zhorif.
Velove, Kia, dan Maudy diam-diam meringis tak enak hati, merasa bersalah karena telah membuat Zhara jadi berbuat seperti itu pada saudara ipar mereka. Tingkah aneh mereka itu berhasil ditangkap oleh Tama. Merasa penasaran, Tama pun bertanya dengan berbisik pada istrinya, Velove, "Kamu apain Zhara sampai jadi begitu?"
"Aku nggak ngelakuin sesuatu yang keterlaluan kok, Yang, cuma ajarin dia cara buat anak aja." Tama membelalakkan mata terkejut. "Kamu sendiri 'kan, yang bilang kalau Zhara sampai hamil, itu berarti kamu nggak akan jadi pewaris rumah sakit. Niatku baik kok, cuma mau bantuin suamiku. Lagipula, mau sampai kapan hubungan Zhorif dan Zhara stuck di situ-situ aja?" Tama kemudian melirik Kia dan Maudy yang tampak salah tingkah karena telah bergabung untuk membantu perbuatan sesat istrinya.
"Makanannya dimakan, jangan cuma diliatin aja, Ra," tegur Agam setelah memberikan udang goreng telur asin yang diambilkannya khusus untuk gadis itu. "Mau gue suapin?" Meski suaranya tak terlalu besar, Zhorif tetap dapat mendengarnya, sontak saja pria itu mendengus tak terima.
"Kak Zhorif mau makan udang juga? Nih, Jella suapin untuk Kakak." Najella memaksa Zhorif untuk membuka mulutnya dan memakan makanan yang telah disendokkan olehnya. "Gimana? Enak nggak, Kak?!" Zhorif menganguk-angguk tak acuh dengan mata yang masih terfokus pada Zhara.
Usai menyelesaikan acara makan bersama, DOGANS dan para istrinya memutuskan untuk melakukan rutinitas mereka, yaitu bermain petasan sembari menikmati angin malam pantai yang sangat sejuk.
"Lo tunggu di sini bentar ya, Ra, gue mau ambil petasan di kamar Bang Jojo dulu," ujar Agam sebelum meninggalkan Zhara yang tengah duduk di kursi pantai.
Zhara menanggapinya dengan anggukkan. Sepergian Agam dari sana, Zhara sendirian. Sebenarnya ia bisa saja bergabung bersama Velove, Kia, dan Maudy yang tengah bermain air laut. Namun, karena kejadian tadi siang, ia merasa sedikit canggung. Lagipula dimana sosok Zhorif? Seharusnya pria itu terus membujuk Zhara sampai rasa kesal di hati gadis itu menghilang, bukannya malah membiarkan Zhara duduk sendirian seperti ini.
"Kak!" Firasat buruk mulai menggerogoti hatinya ketika Najella tiba-tiba datang menghampirinya, bahkan duduk di sebelahnya sembari tersenyum manis. "Bisa bantuin aku, nggak?" Nah, 'kan! Dugaannya tak melenceng.
"Bantu apa?" Ingat. Meski dirinya belum cukup untuk dibilang dewasa, usianya tetap saja dua tahun lebih tua dari Najella. Jadi, ia tidak boleh terlihat lebih kekanak-kanakkan daripada gadis itu.
"Layanganku nyangkut di pohon itu. Bisa ambilin, nggak? Aku nggak bisa manjat." Najella menunjuk sebuah pohon kelapa yang tingginya lebih pendek dari pohon-pohon kelapa lainnya. Namun meski lebih pendek dari yang lain, pohon itu tetap saja terhitung sangat tinggi bagi manusia bertubuh mungil seperti Zhara.
"Harus sekarang, ya? Kenapa nggak tunggu yang cowok-cowok balik aja? Soalnya, aku juga nggak bisa manjat," tolak Zhara dengan hati-hati, takut membuat Najella merasa sedih dan kecewa. Namun usahanya sia-sia, Najella langsung menutupi wajahnya dan bersiap untuk menangis. Oleh karena itu, Zhara langsung bangkit dari duduknya dengan gerakan panik. "Yaudah, aku bantu ambilin," putusnya sembari dalam hati meringis ngeri.
"Hati-hati, Kak!" Najella diam-diam tersenyum miring ketika melihat Zhara yang mulai memanjat pohon tinggi itu dengan gerakan yang amat lamban.
Awalnya, Zhara pikir akan sangat sulit baginya untuk memanjat. Namun, rupanya tidak begitu. Buktinya, ia bisa memanjat setengah batang pohon kelapa tersebut tanpa merasa kesulitan.
"Zhara!"
Pekikan Kia membuat Zhara mau tak mau menurunkan pandangannya. Alangkah terkejutnya gadis itu ketika tahu sudah seberapa tinggi ia memanjat, ingin turun, tetapi tidak bisa, persis seperti seekor anak kucing yang terjebak.
Hampir lima menit ia menahan berat badannya dengan tak bergerak turun ataupun naik sama sekali. Namun saat masuk di menit keenam, ototnya kelelahan, pegangannya terhadap batang pohon terlepas begitu saja, menyebabkan tubuhnya terjun bebas dari ketinggian dan berujung jatuh terduduk di pasir yang empuk.
Bugh!
"Zhara!" Kini, giliran Maudy yang memekik.
Zhara mengangkat pandangannya untuk menatap Velove, Kia, Maudy, dan Najella yang telah mengelilinginya. "Aku nggak papa kok, Mbak, pasirnya empuk banget." Gadis itu terkekeh geli untuk menenangkan perasaan orang di sekitarnya sebelum bergerak untuk bangkit dari posisinya saat ini.
"Aduh!" Namun pada kenyataannya, gadis itu tidak baik-baik saja jika dilihat dari pergelangan kaki kirinya yang nyeri apabila digerakkan sedikit saja.
"Kenapa?!" Anggota DOGANS dan Agam tampak menghampiri mereka dengan raut wajah khawatir, mungkin karena sempat mendengar pekikan yang dikeluarkan oleh Kia dan Maudy beberapa waktu lalu.
Zhara meringis malu ketika matanya bertemu langsung dengan manik hitam Zhorif yang terlihat lebih bersinar di malam itu. "Kamu nggak papa?!" Zhorif berjongkok di hadapan gadis itu dengan ekspresi khawatir. Ya, perasaannya campur aduk ketika tahu bahwa sosok yang jatuh dari pohon kelapa itu adalah istrinya sendiri.
"Aku nggak bisa gerakkin kakiku yang ini, Mas..." cicit gadis itu sembari menunjuk bagian tubuhnya yang terasa nyeri.
Tak butuh waktu untuk berpikir lagi, Zhorif langsung menggendong tubuh istrinya dan membawa gadis itu untuk duduk di tempat yang tepat. Pria itu juga segera menyuruh Jojo yang ahli ortopedi untuk segera memeriksa keadaan istrinya.
"Ini terkilir, Bang," jelas Jojo tak butuh waktu lama untuk mendiagnosa. "Saran gue, Zhara harus pakai perban biar kakinya yang ini istirahat total dulu untuk sementara waktu."
"Diperban?!" Zhara melotot tak percaya. "Jadi, aku jalannya kayak gimana, dong? Pakai kursi roda?"
"Nggak harus pakai kursi roda juga, sih," sahut Jojo, "bisa pakai kruk." Pria itu kembali membuka mulut ketika mengingat sesuatu. "Kalau nggak salah, Papa sama Om Fathur pernah beli pas kaki Jella keseleo tahun lalu, harusnya masih disimpen."
Zhorif menghela napasnya gusar. Hari ini Zhara berhasil membuatnya merasa sangat khawatir untuk yang ke sekian kalinya. "Kamu masih mau main kembang api atau balik ke kamar?" tanyanya.
Zhara menggigit pipi bagian dalamnya sebelum berkata, "Pengen liat..."
Zhorif tersenyum simpul. Paling tidak, setelah mengalami kecelakaan, istrinya itu lupa akan kemarahannya. "Yaudah, saya temenin." Zhorif duduk di kursi pantai yang sama dengan yang Zhara duduki.
"Bang, gue cabut cari Papa dulu, mau nanya kruknya diletakkin dimana." Agam menepuk bahu Tama untuk sekadar memberi informasi sebelum mendelik tajam pada Najella yang tengah bersembunyi di antara Velove, Kia, dan Maudy. "Kamu bantu Abang!" perintahnya menarik pergelangan tangan adik sepupunya itu secara paksa.
Ketika yang lainnya mulai bubar dan memutuskan untuk mulai bermain kembang api. Zhara hanya bisa menengadahkan kepalanya sembari sekali-kali berdecak kagum akan warna mencolok percon yang terlihat lebih jelas di langit malam. Tubuhnya menegang ketika dirasanya tangan Zhorif bergerak untuk menggenggam tangannya.
"Maafin saya, ya?" bujuknya dengan mata yang menatap Zhara dalam hingga membuat gadis itu merasa seperti dihipnotis dan dibuat menganggukkan kepala secara cuma-cuma. "Saya tau kalau apa yang saya perbuat ke kamu adalah suatu kesalahan, dan saya tidak akan berusaha mencari pembenaran." Zhorif membawa kepala sang istri untuk bersandar di bahunya dengan pelan.
"Mas, kenapa bohong?" Zhara mengangkat kembali kepalanya dari bahu pria itu. "Apa segitu nggak pengennya Mas untuk punya anak dari perut aku?" Manik gadis itu kian mulai berkaca-kaca.
"Hei, hei, bukannya begitu..." Zhorif kembali panik ketika tahu bahwa istrinya akan kembali meneteskan air mata. Pria itu kembali mencakup pipi Zhara seperti beberapa waktu lalu. "Saya cuma takut kamu belum siap untuk menjadi seorang ibu di usia semuda ini. Saya juga takut kamu nantinya akan merasa tertekan apabila saya paksakan. Kamu mengerti maksud saya, 'kan?" Zhorif dapat melihat adanya keraguan dari manik Zhara. Oleh karena itu, ia kembali memertegas ucapannya. "Saya sangat ingin memiliki anak dari kamu, Zhara..." Secara tak terduga Zhorif mendekatkan wajahnya, menyatukan hidung mereka, kemudian menggeseknya persis seperti yang sering Zhara lakukan padanya ketika dirinya sedang merasa kesal. "Jangan marah lagi, ya? Suami 'kan, udah minta maaf sama Istri."
Zhara mengulum senyumnya, merasa geli dengan sikap Zhorif yang terlihat bukan seperti dirinya. "Yaudah, istri maafin deh, suaminya."
Alhasil, keduanya berpelukkan erat. Zhorif menghela napasnya lega, sedangkan Zhara memejamkan matanya nyaman karena dapat menghirup aroma tubuh suaminya yang begitu ia rindukan. Di beberapa menit selanjutnya, alis Zhorif bertaut, tiba-tiba mengingat dan merasa penasaran akan sesuatu.
"Oh, ya. Ngomong-ngomong, kamu tau darimana tentang cara pembuatan anak yang sebenarnya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top