Bab 41 - Membara

"Mas, ini buat aku, ya?!"

Mata Zhara membulat antusias ketika ia baru saja membukakan pintu apartemen dan mendapati sosok Zhorif telah berdiri di hadapannya dengan tangan yang memeluk sebuah boneka beruang berukuran amat besar. Saking besarnya, tubuh Zhorif hampir saja tertutupi. Untungnya, Zhara dapat mengenali suaminya itu hanya dengan mencium aroma parfum yang dipakainya.

"Iya. Kamu bisa geser, nggak? Saya keberatan," ujar Zhorif dengan napas terengah-engah sebelum masuk ke dalam apartemennya dan meletakkan boneka raksasa itu di sofa ruang tengah.

Zhara tersenyum sumringah, merentangkan tangannya dari kejauhan, membuat Zhorif berpikir bahwa gadis itu hendak memeluknya. Beruntung Zhorif tidak ikut merentangkan tangan karena yang terjadi selanjutnya tidak sesuai perkiraan, istrinya itu malah lebih memilih untuk merengkuh hadiah barunya, si boneka beruang.

"Aku seneng banget, Mas!" ujarnya kegirangan dengan posisi duduk di pangkuan boneka tersebut.

"Bagus deh, kalau seneng," sahut pria itu mengangguk lelah. Dia bukannya berlebihan, tapi boneka itu memang menguras tenaganya karena berat bukan main.

Zhara kemudian berpindah posisi dari duduk di pangkuan boneka menuju ke pangkuan Zhorif. Gadis itu mengalungkan tangannya di leher Zhorif masih dengan senyuman lebar yang sama. "Makasih, Mas! Sayang Mas banyak-banyak!" ujarnya sebelum mengecup singkat pipi kiri suaminya. "Oh, iya! Aku belum ambilin Mas minum. Tunggu sebentar, ya." Ketika Zhara hendak bangkit dari pangkuan pria itu, Zhorif segera menghadangnya dengan cara memeluk pinggang istrinya dan meletakkan wajahnya di lekukan leher gadis itu, menghirup aroma khas bayi yang akhir-akhir ini selalu membuatnya mabuk kepayang.

"Mas?" Zhara menaikkan salah satu alisnya keheranan dengan tingkah laku tak biasa Zhorif. Namun, tangannya yang terbebas bergerak sendiri untuk mengelus rambut hitam pekat suaminya.

"Capek," adunya dengan nada orang dewasa. Zhorif kemudian mengangkat wajahnya dan menatap wajah Zhara dengan saksama sebelum mengulurkan tangannya untuk menyentuh bibir gadis itu. "Masih perih, nggak?" tanyanya. Zhara menjawab jujur dengan sebuah anggukkan. "Maaf, ya. Kamu boleh anggap boneka ini sebagai permintaan maaf saya karena kejadian tadi pagi."

Zhara tersenyum simpul dan menganggukkan kepalanya. "Mas udah makan malam?" Zhorif menjawabnya dengan gelengan kepala. "Yaudah, tunggu sebentar, ya. Aku tadi beli makanan di restoran untuk dibawa pulang dan dipanasin biar bisa makan malam sama-sama."

Zhorif menghela napasnya dengan dahi berkerut sembari menggumamkan kata astaghfirullahaldzim. "Tadi pagi saya kelupaan. Ini..." Pria itu mengeluarkan sebuah kartu bewarna hitam dari dompetnya dan menyerahkannya pada Zhara. "Kamu nggak boleh pakai uang dari Papi dan Mami lagi. Mulai sekarang, kalau butuh apa-apa kamu harus bilang sama saya, ya?"

"Kenapa?" Zhara tampak keberatan untuk menerima kartu yang diberikan suaminya.

"Karena kamu sudah menikah dengan saya, Zhara. Itu berarti, saya yang akan bertanggung jawab akan semua kebutuhan kamu, bukan Papi ataupun Mami lagi," jelasnya.

"Aku bukan cewek matre, Mas." Zhara mendorong jauh tangan suaminya yang memegang kartu.

Zhorif tak tahan untuk tak tertawa ketika mendengar ucapan gadis itu. "Kamu istri saya, Zhara ... tidak ada istilah matre dalam pernikahan," kekehnya geli. Tanpa sadar tangannya sudah bergerak sendiri untuk mencubit pipi Zhara dengan gemas. "Lagipula di otak saya sudah terpatri bahwa sepatutnya perempuan memang minta ini-itu kepada suaminya, dan sudah kodratnya pula, laki-laki memenuhi semua kebutuhan istrinya. Itu arti dari kata menafkahi yang sesungguhnya. Kamu mengerti 'kan, maksud ucapan saya?" Suara yang dipakai Zhorif benar-benar lembut, membuat perempuan manapun yang mendengarnya pasti akan langsung jatuh cinta.

"Tapi Mas, kalau aku jadi cewek matre—"

Zhorif bergegas menggelengkan kepalanya. "Jangan remehkan saya. Kata matre hanya digunakan oleh laki-laki yang tidak berpendidikan, dan saya tidak mau masuk ke golongan orang-orang seperti itu."

Zhara menghela napasnya berat hati sebelum mengambil kartu yang masih setia Zhorif sodorkan padanya. "Mas, tapi sebenarnya, di kantinku nggak bisa gesek kartu, harus pakai uang tunai."

Zhorif berdecak karena melupakan hal itu. Ia kemudian kembali mengeluarkan dompetnya dan memberikan Zhara semua lembaran uang merah yang memenuhi benda berkulit hitam itu. "Apa cukup? Kalau kurang, saya—"

"Cukup banget, Mas." Zhara buru-buru memotong. Ini pertama kalinya ia mendapatkan uang jajan sebanyak ini. Pasalnya, ibu dan ayahnya selalu membatasi jajannya, bahkan memotongnya apabila Zhara ketahuan berbuat nakal di sekolah.

"Kartunya kamu yang simpan aja," ujar Zhorif ketika Zhara baru saja hendak memberikan kartunya kembali. "Siapa tau kamu mau jalan-jalan sama temen-temenmu ke mall."

"Yaudah, deh." Pada akhirnya, Zhara meletakkan semua pemberian Zhorif dengan tak acuh di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk memanaskan makanan beliannya tadi sore, usai pertandingan Agam berakhir. "Mas, nggak mandi?" tanyanya ketika merasa bahwa Zhorif tengah menatapnya dari belakang.

"Hm ... iya, ini mau mandi."

*

*

*

Zhorif keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil yang berada di atas kepalanya. Dahinya mengernyit ketika menemukan tiga buah bungkusan merek pakaian dalam di atas kasur. Merasa penasaran, Zhorif pun membukanya untuk sekadar mengecek. Matanya membulat ketika menemukan berbagai macam motif lingerie, bra, dan celana dalam yang ia yakini adalah kepunyaan istrinya.

"Mas udah mandinya?"

Zhorif mengangkat pandangannya ketika Zhara berdiri di dekat daun pintu kamar yang terbuka. Gadis itu tersenyum simpul dan meraih bungkusan yang dipegang oleh suaminya, kemudian mengeluarkan satu lingerie putih perak yang terlihat sangat tembus pandang apabila dipakai.

"Mas suka nggak, kalau aku pakai yang ini?" tanyanya dengan kedua alis yang bergerak turun-naik.

Kulit wajah Zhorif refleks merona ketika—dengan tidak tahu sopan santunnya—pikirannya bergerak sendiri untuk mengkhayalkan Zhara yang mengenakan kain berbahan tipis tersebut.

"Mas kenapa?" Ketika Zhara berjinjit dan hendak menyentuh pipi Zhorif yang memerah, pria itu buru-buru mencegahnya.

"Kamu udah selesai panasin makanannya?" Zhorif mengganti topik pembicaraan.

Zhara menganggukkan kepalanya, kemudian memeluk lengan suaminya, mengajak pria itu untuk segera pergi ke meja makan. "Tadaaa!" pamernya bangga akan keberhasilannya memanaskan makanan tanpa membuatnya mutung. "Sebelum menikah sama Mas Zhorif, aku les privat masak sama Mama. Meskipun belum bisa masak apa-apa selain mie instan, paling enggak sekarang aku udah bisa manasin makanan tanpa mutung. Gimana? Suami bangga nggak, sama Istri?"

"Iya, bangga," sahutnya sembari mengusap pucuk rambut Zhara sebelum mengambil posisi duduk untuk bersiap makan.

Zhara tersenyum sumringah ketika melihat Zhorif memakan makanan beliannya dengan lahap setelah membaca doa sebelum makan. Ia bahkan sampai melupakan dirinya sendiri kalau Zhorif tidak secara tiba-tiba menyodorkan sendok bekasnya ke depan mulut gadis itu.

"Ini enak. Kamu udah coba yang ini?" tanya Zhorif tanpa menyadari bahwa tingkahnya itu membuat jantung Zhara terpompa kencang hingga terasa seperti ingin meledak.

"Belum," jawabnya usai menerima suapan Zhorif.

Zhara tampak menikmati makanan yang disuapi oleh suaminya, begitu pula Zhorif. Alhasil, kedua insan itu menghabiskan nasi yang diletakkan di dalam satu piring dengan sendok dan garpu yang sama.

Usai menghabiskan semua makanan yang dihidangkan. Zhara bangkit dari kursinya, meminta Zhorif untuk diam, dan menunggunya kembali dalam beberapa saat. Seperti biasa, Zhorif menurut saja dan menanti kapan kembalinya sang istri setelah melihat Zhara masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Cklek!

Pintu terbuka, menampakkan sosok Zhara dengan balutan lingerie yang diperlihatkan pada Zhorif beberapa waktu lalu. Gadis itu berjalan anggun menganggap dirinya sebagai seorang model yang sedang melakukan fashion show. Salah satu tangannya berada di pinggang, sedangkan yang satunya lagi bergerak melambai ke sekitar seolah ada orang lain yang melihatnya selain Zhorif.

"Zhara Hadid dikasih nilai berapa sama Mas Zhorif?"

"Tiga puluh," sahut pria itu setelah menetralisir rasa syok akan tingkah laku Zhara yang selalu aneh-aneh.

Zhara memberengut tak puas dengan nilai yang diberikan. Ia kemudian kembali masuk ke dalam kamar dan kali ini keluar dengan lingerie baru bermotif tutul jerapah.

"Zhara Jenner dikasih berapa, nih?"

"Dua puluh."

Gadis itu kembali memberengut dan masuk ke kamar, lalu keluar lagi dengan pakaian yang berbeda, yaitu lingerie merah terang yang memamerkan lekukan tubuh Zhara secara tak tanggung-tanggung.

"Kalau Zhara Khalifa dapet berapa?"

Seolah tahu suaminya akan memberikan nilai yang tak memuaskan kembali, Zhara mendekati Zhorif, mengalungkan tangannya di leher pria itu dengan maksud menawar.

"Kasih seratus nggak, nih?" tanya gadis itu sembari menggigit bibir bawahnya dengan tatapan mata menggoda. "Kasih, ya?" Zhara menyentuh rahang Zhorif dan membelainya dengan intens sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Aufa dan Jhesen tadi siang.

Zhorif menarik napasnya dalam sembari memejamkan kedua matanya nyaman sekaligus merasakan getaran aneh di tubuhnya ketika Zhara menyentuh kulit wajahnya.

"Zhara, kamu—"

"Shhhtttt..."

Zhara buru-buru meletakkan telunjuknya di depan bibir Zhorif ketika dirasanya pria itu hendak protes. Ia belum boleh berhenti. Setidaknya ia harus berhasil membuat Zhorif merasa kepanasan seperti yang dikatakan oleh Jhesen. Ya, ia harus membuat suaminya membara agar merasa terpuaskan dan nantinya tidak tergoda oleh Tante Dhea ataupun perempuan lain.

"Mas ... aku dikasih nilai seratus, nggak?" Zhara mendudukkan dirinya di pangkuan Zhorif, membuat kain tipis yang tadi hanya menutupi setengah pahanya semakin naik ke atas.

"Ahli waris! Ahli waris! Lo nggak mau 'kan, jadi wakil direktur rumah sakit, Rif?! Inget! Tahan!" Zhorif bermonolog untuk menyadarkan dirinya. Intinya, ia tidak boleh tergoda jika tidak ingin rumah sakit Wira Atmadja jatuh ke tangannya. Lagipula, seingatnya Zhara masih belum menyelesaikan datang bulannya.

"Mas!"

Zhara memekik ketakutan ketika tubuhnya diangkat secara tiba-tiba. Zhorif membawa istrinya masuk ke dalam kamar secara tak sabaran, kemudian menurunkan tubuh mungil itu ketika sampai tepat di depan lemari. Zhorif membuka pintu kayu tersebut, lalu mengambil kaos oblong miliknya dan memakaikannya pula secara paksa pada Zhara.

"Mas, aku nggak mau pakai ini!"

Zhara memberengut dengan kaki yang menghentak ke lantai. Kali ini ia benar-benar merasa kesal karena tidak berhasil menyelesaikan misinya. Oleh karena itu, setelah menyentak, ia hendak pergi meninggalkan kamar mereka. Namun, Zhorif buru-buru memeluk pinggangnya dari belakang dan meletakkan dagu di atas bahu gadis itu.

"Tolong jangan seperti ini, kamu sangat menyiksa saya, Zhara..."

Nada bicara Zhorif turun beberapa oktaf hinggamembuat bulu kuduk Zhara meremang. Zhara hendak menjauhkan diri dari pria ituketika merasakan sesuatu yang aneh dan keras menyentuh bokongnya. Namun, Zhorif malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Itunya Mas kenapa?"

Zhorif berdesis tak kuasa menahan gairah di dalam tubuhnya sendiri sekaligus geram dengan pertanyaan polos yang istrinya lontarkan.

"Selamat. Setelah berhasil manasin makanan, kamu juga berhasil manasin saya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top