Bab 40 - Petaka Ahli Waris
"Agam!"
"AGAM!"
"A-A-A-AGAM!!!"
Zhara dan Aufa kompak melakukan gerakan ke kanan dan kiri dengan dua pasang pom pom cheerleader mereka yang berwarna pelangi, sedangkan tepat di sebelah kedua gadis itu, Jhesen terlihat menghela napasnya jengah sembari menutup kedua telinganya yang berdenging akibat jeritan sahabat-sahabatnya itu.
Saat ini, jam tengah menunjuk pukul 15.00 dan ketiga sejoli itu tengah duduk di kursi penonton lapangan bisbol sembari memperhatikan Agam yang tengah bertanding sengit dengan tim lawan. Ya, untuk yang ke sekian kalinya, Teletubbies kembali bolos sekolah.
"Woi, berisik! Bisa kecilin nggak, suara lo berdua?!" omel Jhesen frustrasi. Namun, kedua gadis itu tak acuh dan malah secara sengaja membesarkan suara seruan mereka. Jhesen tak tahan lagi. Oleh karena itu, ia menggerakkan kedua tangannya untuk membekap mulut Zhara dan Aufa secara bersamaan.
Aufa buru-buru menepis tangan pria itu dari mulutnya. "Kampret! Gue kebagian tangan bekas tai lagi!" dengusnya sembari mendelik tajam.
Zhara meringis merasakan perih di bagian bibirnya. Hal itu membuat Jhesen sontak segera menjauhkan tangannya dan menatap gadis itu khawatir. "Sorry. Gue bekapnya kekuatan ya, Ra?"
Zhara menggelengkan kepalanya. "Bukan karena itu, kok. Bibirku udah dari tadi pagi perih gara-gara Mas Zhorif," jelasnya berniat baik untuk meredakan perasaan bersalah Jhesen terhadapnya. "Jhes, aku mau nanya," ucapannya terjeda karena gadis itu hendak memutar posisinya agar menghadap pas ke arah Jhesen, "Kenapa sih, kalau aku dan Mas Zhorif ciuman, Mas Zhorif suka gigit-gigit. Heran, deh."
Jhesen dan Aufa langsung bertukar pandang, mata keduanya membulat secara antusias, sebelum kompak bertanya, "Kalian udah pernah cipokkan?" Zhara mengangguk untuk menanggapi. "Sejak kapan?" tanya kedua insan itu kembali bersamaan.
"Sejak nginep di hotel. Waktu itu aku ikutin saran dari kamu, Fa, kalau Mas Zhorif sampai marah, aku harus ngebujuk dia dengan cara gesek hidung, dan kalau nggak mempan, aku harus naik level dua, cium-cium lehernya Mas Zhorif," terang Zhara kelewat jujur.
Jhesen terngaga syok, sedangkan Aufa berdeham gugup, tiba-tiba merasa bersalah karena waktu itu sempat-sempatnya membodohi Zhara, padahal ia tahu, bahwa tanpa perlu dibodohi, sahabatnya itu sudah alami idiot.
"Jadi, lo udah sampai ke level tiga secara sendirinya, Ra?" Jhesen bertanya.
Zhara kembali menganggukkan kepalanya. Ya, level ketiganya memang berciuman di bibir, sedangkan level empat? Entahlah, Aufa dan Jhesen masih merahasiakannya. Kata mereka, level empat hanya bisa digunakan dalam keadaan darurat saja.
"Udah perang lidah, belom?" tanya Aufa kelewatan.
Zhara mengernyitkan dahinya kebingungan. "Perang lidah? Aku baru tau kalau lidah bisa berperang, Fa. Gimana caranya? Aku mau liat dong, lidah kamu perang sama lidahnya Jhesen."
"Oh, tidak bisa, Ra!" sahut keduanya dengan kepala yang tergeleng-geleng panik.
"Kok, nggak bisa?" Zhara mengernyitkan dahinya bingung.
"Iya, soalnya itu cuma bisa dilakuin ke pacar, tunangan, istri, dan selingkuhan," jelas Jhesen yang langsung diangguki setuju oleh Aufa. "Perang lidah tuh, semacam gini, Ra..." Jhesen menguncupkan kedua tangannya, kemudian menyatukan ujung-ujungnya ke satu sama lain, melakukan gerakan saling mendorong, terkadang ada yang maju dan ada juga yang mundur.
Aufa menoyor kepala Jhesen geram. "Lo pikir dia bakalan ngerti?!" Setelah melempar delikan tajam ke Jhesen, tatapannya langsung melembut dan mengarah ke Zhara. "Perang lidah tuh, maksudnya gini, Ra ... kamu dan dr. Zhorif 'kan, ciuman, terus suamimu gigit bibir kamu, dan akhirnya mulut kamu kebuka kecil, terus dr. Zhorif masukkin lidahnya ke mulut kamu, dan nabrakkin lidah kalian."
Meski agak sulit dicerna karena bahasa yang digunakan Aufa cukup rumit, Zhara tetap bisa mengerti di ujung. Ya, karena gadis itu selalu bertekad kuat jika menyangkut urusan suaminya. "Mas Zhorif nggak pernah gitu. Dia cuma gigit-gigit aja," cicitnya dengan wajah merona akibat mengingat kejadian tadi pagi.
"Ah, itu tandanya cinta dr. Zhorif ke elo belum membara, Ra!" remeh Jhesen sok menyimpulkan. "Mungkin juga karena dr. Zhorif nggak merasa terpuaskan sama bibir lo."
Mata Zhara membulat syok ketika mendengar ucapan Jhesen, sedangkan Aufa buru-buru kembali menoyor kepala pria itu karena telah berbicara secara sembarangan.
"Nggak terpuaskan?!" Zhara tiba-tiba menggenggam tangan Jhesen yang terletak di atas paha pria itu sendiri. "Kalau cowok merasa nggak terpuaskan sama istrinya, apa dia berkemungkinan akan nyari kepuasan di luar sama perempuan lain?" Salah satu alis gadis itu terangkat, menanti jawaban Jhesen.
"Ya, gitu." Jhesen mencicit takut-takut akibat tatapan tajam yang diberikan Aufa padanya.
"Mas Zhorif nggak boleh cari kepuasan di luar." Mata Zhara berkaca-kaca merasa panik ketika membayangkan Zhorif mencium bibir Dhea dan melakukan perang lidah bersama wanita itu.
***
"Sen, coba lo ajak abang gue konsultasi, deh! Ngeri gue liatnya."
Tama dan Jeje menganggukkan kepala mereka setuju terhadap usulan Jojo. Keempat pria itu menatap Zhorif keheranan karena sejak tadi pagi, pria itu tampak tidak bosan-bosannya untuk senyam-senyum, bahkan terkadang tertawa sendiri.
Arsen mengusap dagunya sembari menganalisa tingkah laku sahabatnya hari ini. "Kayaknya, dia abis ngewe-in bininya di rumah, deh. Biasanya 'kan, cowok-cowok alim tingkahnya kayak gini kalau pertama kali ngebelah duren."
"Lo yakin, Bang?" Jojo mengangkat salah satu alisnya curiga.
"Ya, coba lo suruh dia tes keperjakaan kalau kagak percaya," sahut Arsen masih sok tahu.
"Ya, skuylah!" Jojo bangkit dari kursinya bersamaan dengan Tama, hendak menarik tangan Zhorif. Namun, pria itu segera menghempaskan tangan-tangan tersebut dari tubuhnya.
"Beli boneka dimana?"
Arsen, Jeje, Jojo, dan Tama saling menukar pandang dengan tatapan keheranan. "Buat apa?"
"Mau beliin Zhara hadiah," jawabnya jujur dengan bibir yang kembali melengkung ke atas. Ia kemudian geleng-geleng kepala, berusaha menyadarkan diri akan bayangan ciumannya bersama sang istri tadi pagi. "Nggak jadi. Gue bisa cari sendiri."
Cklek!
Pintu ruangan khusus rapat itu tiba-tiba terbuka, menampakkan tiga sosok pria baya berkacamata yang mengenakan jas putih khas seorang dokter. Mereka adalah Fathur, Fachri, dan Fauzan. Sosok-sosok di balik kesuksesan rumah sakit swasta terkenal bernama Wira Atmadja.
"Kamu ngapain di sini?" tunjuk Fauzan ke arah Zhorif dengan mata yang membulat kejut. Ia menoleh ke arah Fachri untuk meminta penjelasan dari sang kakak. "Katanya, putramu berangkat bulan madu?"
"Dibatalkan. Sepertinya, dia masih ragu untuk bereproduksi," sahut Fachri menatap Zhorif dengan terkekeh geli sembari geleng-geleng kepala. Zhorif menutup wajahnya malu ketika kedua pamannya itu menertawainya, ditambah lagi Arsen dan sepupu-sepupu laknatnya juga ikut-ikut tertawa. "Lagipula, ada untungnya dia tidak jadi pergi bulan madu. Kita bisa membahas masalah warisan lebih cepat." Fathur dan Fauzan mengangguk setuju dan ikut duduk di sofa panjang sebelah Fachri.
"Bagaimana, Rif? Apa kamu sudah bersedia untuk menjabat sebagai wakil direktur rumah sakit milik keluarga kita ini?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Fathur, tetua kedua dari ketiganya, sekaligus ayah dari Tama dan Agam.
Zhorif menghela napasnya dengan bahu yang tertunduk lesu. "Maaf, Om ... sebelumnya, kalau aku boleh tau, kenapa dari sekian banyaknya keturunan di keluarga kita, aku yang harus dipilih untuk menjabat di posisi itu? Aku belum cukup baik, masih ada Bang Tama, Jojo, Jeje, dan bahkan Arsen yang sangat bersedia menduduki posisi itu."
Keempat pria yang namanya disebutkan oleh Zhorif segera menggelengkan kepala kuat. "Nggak, Om, Pa! Bang Zhorif adalah dokter spesialis terbaik di rumah sakit kita! Aku dan yang lain mah, cuma butiran debu belaka." Jeje menolak mentah-mentah.
Zhorif menatap keempat temannya jengah. Selalu begini. Tiap kali para tetua membahas ahli waris rumah sakit, keempat pria itu selalu mendorong namanya duluan. Alasannya, karena mereka tak ingin mengabdikan diri di rumah sakit hingga tua seperti Fathur, Fachri, dan Fauzan. Panutan mereka selama ini hanyalah Faisal, paman tertua, yang telah berhasil membangun hotel beserta resort Wira Atmadja di hampir seluruh negara Asia.
"Pa, aku masih terlalu muda." Zhorif berusaha menghindar.
"Dan, Om beserta Papamu sudah terlalu tua untuk terus bekerja di rumah sakit. Ini waktunya bagi kami untuk pensiun, Nak..."
"Ada Bang Tama yang jauh lebih matang umurnya ketimbang aku." Tama melotot tak terima ketika Zhorif melempar kesengsaraannya terhadap sang kakak sepupu. Ah, bicara masalah umur, ia tiba-tiba teringat akan Zhikan. "Bang Zhikan juga—"
Cklek!
"Nggak, pokoknya sampai mati pun gue kagak mau. Awas ye, lu!" Zhikan yang rupanya selama ini telah menguping dari balik pintu, bergegas menghentikan anjuran Zhorif.
Fachri memijat pelipisnya yang pening. Dari sekian banyaknya orang-orang di luaran sana yang mengemis akan harta, mengapa ia harus mendapatkan keturunan-keturanan yang banyak tingkah seperti mereka? Sudah enak diberi warisan tanpa harus susah payah kerja, tapi malah menolak.
"Gini aja, Pa, Om..." Tama menengahi pembicaraan yang tiada ujung itu, "....kalau sampai Zhara hamil, Zhorif mau nggak mau harus bersedia jadi wakil direktur di rumah sakit kita. Gimana?!"
"SETUJU!" Sorak Arsen, Jeje, Jojo, dan Zhikan secara bersamaan.
"Lah, mana bisa gitu. Lo, Bang Zhikan, sama Jeje 'kan, juga udah punya anak?!" Zhorif terlalu terbawa emosi hingga menghilangkan cara bicara 'aku-kamunya'. "Pa, ini nggak adil." Zhorif segera menghentikan Fachri ketika pria baya itu baru saja hendak membuka mulut.
"Sudah-sudah," lerai Fachri kepeningan, "begini saja ... dari yang Papa ingat, kamu pernah bilang ingin menunda punya anak karena istrimu masih sekolah, 'kan?" Zhorif menganggukkan kepalanya jujur. Ya, itu juga yang menjadi alasan mengapa beberapa waktu lalu Zhorif menelepon sang ayah dan meminta acara bulan madu mereka dibatalkan. "Papa akan mendukung keputusan kamu dengan cara menyetujui saran dari Tama."
"Hah?" Salah satu alis Zhorif terangkat tak percaya.
"Lah, iya. Kamu bilang 'kan, mau nunda dulu punya anaknya. Jadi, Papa bantu perkuat tekadmu biar nggak oleng dengan cara mengancam seperti ini." Fachri bersedekap santai.
Zhorif menghela napasnya lelah dan menatap sang ayah putus asa, sebelum bergumam,
"Pa, kenapaharus sekejam ini sama anak sendiri?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top