Bab 39 - Jangan Dipancing

💌 : heran. Kemarin tidak update, tapi rating cerita malah naik. Apa harus saya update tiap dua hari sekali? Soalnya, saya lihat-lihat beberapa pembaca seperti tidak menghargai (tidak meninggalkan voments). Apa karena mereka merasa meski vote sedikit pun saya akan tetap update juga tiap hari, ya?

Kalau gitu gini deh, biar adil untuk saya dan kalian. Saya akan update setelah bab ini mencapai 130 vote dan 30 komentar (dari akun yang berbeda).

Selamat membaca!

& 💬

"Masih ngantuk, Mas..."

Zhara kembali menempelkan wajah bantalnya di dada bidang Zhorif. Ya, kemarin mereka memutuskan untuk di kamar yang sama karena Zhorif yang merasa tak tega menolak permohonan istrinya.

Zhorif menghela napasnya gerah. Ia sudah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk membangunkan Zhara, tetapi gadis itu tidak kunjung juga ingin membuka mata. "Zhara, kalau kamu tidak bangun sekarang, kita bisa sama-sama telat. Kamu telat masuk sekolah, sedangkan saya telat ke rumah sakit."

Bibir Zhara mengerucut ke depan seiring alisnya mengerut tak suka. "Lagian siapa suruh Mas pergi kerja? Kata Mama, kalau pengantin baru itu harus cuti dan banyak diem di kamar, jangan pergi ke sana-sini kecuali untuk liburan bulan madu." Gadis itu perlahan membuka matanya dan menatap Zhorif. "Ngomong-ngomong, kita pergi bulan madunya kapan, Mas?"

"Nanti, pas kamu libur semesteran." Mulutnya memang berucap demikian. Namun, hatinya bermonolog lain. Nanti, kalau kamu udah selesai menstruasi.

"Ih, masih lama, Mas." Zhara merengek seperti anak kecil dan menendang-nendang kecil selimut yang dipakainya. "Aku nggak mau sekolah, ah! Mas juga nggak boleh berangkat kerja!" Gadis itu merajuk dengan mengeratkan pelukkannya terhadap pinggang Zhorif.

Zhorif menghela napas untuk yang kedua kalinya. Ia menatap Zhara yang mengerucutkan bibir dengan alis berkerung seperti bocah SD yang merajuk karena tak dibelikan permen kapas oleh ibunya. "Sebagai gantinya, minggu depan kita pergi ke resort keluarga saya. Bagaimana?"

Zhara sontak membuka matanya karena merasa tertarik sekaligus penasaran. "Resort? Selain punya rumah sakit dan hotel, Mas juga punya resort? Berarti, tandanya ... aku nikah sama anak konglomerat, dong?!" Zhorif tak dapat menahan rasa gemas ketika melihat raut wajah istrinya yang tampak sedang berpikir keras. Oleh karena itu, ia mencubit salah satu pipi tembam Zhara, sebelum berkata, "Semua harta itu kepunyaan Papa dan saudara-saudara Papa. Saya cuma seorang dokter biasa yang tidak punya apa-apa."

"Jadi, aku nikah sama orang miskin, dong?"

"Hm."

"Asikkk!" Zhorif menautkan kedua alisnya ketika mendengar nada kegirangan Zhara. "Kalau Mas Zhorif miskin, berarti tandanya, Mas nggak punya harta apa-apa 'kan, selain aku?!" Zhara menyunggingkan senyumannya. "Lagipula aku nggak suka sama cowok yang terlalu kaya. Mereka 'kan, cenderung suka berpoligami."

Zhorif terkekeh geli dan mengelus rambut Zhara. Dalam lubuk hati, sebenarnya ia ingin kembali mencubit atau kalau bisa menggigit pipi bakpao yang kembar itu. Namun, karena tak tega, ia pun memutuskan untuk mengurungkan niatnya.

"Jadi, kita kapan pergi ke resort-nya Papa?" tanya Zhara tersadar bahwa percakapannya melenceng dari topik awal. "Perginya berdua aja atau sama Papa-Mama juga?" Belum selesai menjawab, Zhorif sudah diberikan perntanyaan tambahan.

"Sepertinya minggu depan," jawabnya, "dan bukan hanya dengan Papa dan Mama, tapi juga dengan keluarga besar saya."

Mata Zhara membulat antusias ketika Zhorif menyebutkan kalimat keluarga besar. "Berarti Agam ikut, dong? Om Arsen, Kak Jeje, dan Kak Jojo juga?!"

Zhorif menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukkannya lebih dalam lagi agar secara diam-diam, ia dapat memutar bola mata kembarnya jengah. "Hm, sama mereka juga."

"Mas Zhorif ikut juga, nggak?"

Pertanyaan itu membuat Zhorif mengernyitkan dahinya. Bagaimana bisa Zhara menanyakan hal yang sudah jelas ia ketahui jawabannya. Namun, karena sudah beradaptasi dengan segala keanehan istrinya, Zhorif pun menjawab,

"Ikut."

"Mas perginya ajak siapa?"

"Ajak kamu."

"Kamu itu siapa namanya?"

"Zhara."

"Zhara siapanya Mas?"

"Istri."

Zhara terkekeh geli, kemudian mengecup dagu Zhorif singkat, sebelum melepaskan pelukkan mereka dan melenggang pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Zhorif memandang pintu kamar mandi yang baru saja tertutup rapat itu. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan meninju-ninju bantal yang berada di sekitarnya dengan kepalan tangan, melampiaskan perasaan gemasnya yang tak tertahankan. Kenapa? Kenapa cuma di dagu? Kenapa tidak naik ke atas sedikit lagi saja?

*

*

*

"Pagi, Suami Ganteng!"

Zhara memeluk pinggang Zhorif dari belakang ketika dilihatnya, pria itu sedang sibuk memanggang roti di dekat mesin penanak nasi. Wangi maskulin yang berasal dari tubuh Zhorif selalu membuat gadis itu merasa sangat nyaman hingga tak ingin melepaskannya.

Zhorif memutar tubuhnya untuk menatap Zhara yang telah memamerkan senyum padanya. Jika Zhara merasa nyaman akan harum maskulinnya, maka itu sesuatu yang masih berada di tingkat wajar. Yang tak wajar adalah ketika tiap kali Zhorif mencium aroma bayi yang berasal dari tubuh gadis itu, ia merasa gairahnya sedikit meningkat. Bukankah terdengar seperti seorang pria tua pengidap pedofilia yang ingin menyetubuhi seorang bayi perempuan berumur kurang dari satu tahun?

"Mas Zhorif kok, mandi di kamar tamu, sih?" Pertanyaan tak logis itu keluar dari bibir Zhara.

"Takut telat nungguin kamu." Padahal, dalam hati berkata lain. Ya, masa mandi sama kamu?

"Aku mau pakai selai cokelat, Mas," pintanya ketika Zhorif baru saja mengambil selai rasa cokelat, kacang, dan stroberi dari dalam lemari dapur. "Jangan sampai lupa untuk tambahin bumbu-bumbu cinta dan kasih sayang, ya." Zhara mengerlingkan matanya jahil.

"Bumbu cinta dan kasih sayangnya kosong, Mbak," sahut Zhorif seolah sedang berpura-pura menerima pesanan dari seorang pembeli.

"Ah, masa? Nih, buktinya ada." Zhara menyentuh lesung pipi Zhorif dan hendak memberi sebuah kecupan di titik itu. Namun, belum sempat bibirnya menempel, Zhorif telah lebih dulu bergerak menoleh. Alhasil, bibir keduanya yang malah saling bersentuhan.

"Zhara, kamu bisa nggak, berhenti untuk membuat masalah?!"

Sentakkan Zhorif membuat gadis itu terkejut setengah mati. Dilihatnya kulit wajah Zhorif yang telah memerah, menandakan bahwa sang pemilik sudah habis kesabaran.

"Mas, maaf..." cicit gadis itu dengan kepala yang tertunduk ketakutan. Langkahnya bergerak kecil untuk mundur agar suaminya tak dapat melihat dengan jelas matanya yang telah berkaca-kaca menahan tangis.

"Sini," perintah Zhorif dengan nada rendah, membuat ketakutan Zhara semakin menjadi-jadi. Namun, karena tak punya pilihan lain, gadis itu pun memutuskan untuk memajukan langkahnya dan mendekat ke arah Zhorif, masih dengan kepala yang tertunduk.

Zhara tersentak kaget dan refleks mengangkat wajahnya ketika Zhorif secara tak terduga menyelipkan tangannya di ketiak gadis itu dan mengangkat tubuh mungilnya untuk duduk di atas kitchen set yang terbuat dari keramik hitam yang mengilap. Pria itu kemudian menggerakkan jempolnya untuk menghapus air mata Zhara yang entah sejak kapan telah jatuh dan membasahi pipi gadis itu.

"Ada kalanya saya bisa bersabar, Zhara ... dan ada kalanya juga saya hilang kesabaran."

Zhara menggigit bibir bawahnya merasa gugup karena masih merasa ketakutan. Ditambah lagi, tatapan tajam Zhorif terlalu mendominasi karena wajahnya yang terlalu dekat hingga membuat napas mereka saling menumbur.

Jempol Zhorif berpindah turun untuk mengusap bibir bawah istrinya yang semakin memerah akibat digigit kecil oleh sang pemilik. "Jangan digigit."

Ah, sial! Zhorif rasa ia tidak akan sanggup bekerja kalau belum merasakan bibir itu kembali. Namun, kalau ia terlalu memaksakan diri, bisa-bisa ia kehilangan kontrol diri. "Kamu bisa pergi ke sekolah sendiri?" tanyanya dengan mata yang sengaja dipejamkan untuk menetralisir perasaan aneh di dadanya.

"Aku nggak mau pergi kalau Mas belum terima permintaan maafku," cicit Zhara takut-takut.

Zhorif menggeram frustrasi dan membuka kedua matanya kembali. "Saya peringatkan ... saya bukan kamu. Saya tidak akan menerima permintaan maaf lewat salaman ataupun pelukkan." Dalam hati ia memohon-mohon agar Zhara tidak bertanya apapun dan segera pergi dari hadapannya, karena kalau tidak, gadis itu pasti akan benar-benar dimangsa kembali olehnya.

"Jadi lewat apa, Mas?"

Dan, sial!

"Lewat ini."

Zhorif menarik tengkuk Zhara agar bibir keduanya bisa kembali menyatu. Terlalu kaget, membuat gadis itu refleks menggerakkan kedua tangan untuk mendorong dada suaminya. Namun, kekuatannya terlalu lemah jika ingin dibandingkan, apalagi Zhorif kian mulai menggerakkan tangan kirinya untuk melilit dan memeluk pinggang Zhara agar ciuman mereka semakin mendalam.

"M—Mas!"

Di sela ciumannya, Zhara berusaha meminta Zhorif untuk menjauh sejenak, membiarkan dirinya untuk sekedar mengambil napas. Namun, Zhorif seperti hilang kewarasan, hanya memberikan Zhara kurang lebih dua detik untuk melakukannya, sebelum kembali melumat bibir itu secara tak sabaran.

Brakk!

Ciuman mereka terjeda ketika Zhorif secara tak sengaja menjatuhkan alat pemanggang roti yang terletak di dekat tangannya. Hal itu Zhara manfaatkan untuk mengambil napas sebanyak-banyaknya, sebelum Zhorif secara tak acuh—terhadap barang yang dirusaknya—kembali melumat habis bibir istrinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top