Bab 38 - Suami Posesif

💌 : Maaf ya, Guys, kemarin tidak bisa update.

Btw, boleh dong, minta doanya supaya saya bisa diluluskan lewat jalur SNMPTN dengan univ dan prodi pilihan. Doa dari kalian semua mungkin bisa sangat berharga bagi saya 🤗

Selamat membaca!

& 💬

Setelah menghabiskan satu malam dengan menginap di hotel milik keluarga Wira Atmadja, Zhorif memutuskan untuk mengajak sang istri kembali ke apartemen pribadinya, apartemen yang dulu pernah diinapi oleh Zhara, sebelum mereka sah menikah.

Zhorif menolehkan kepalanya untuk memastikan bahwa Zhara tidak kemana-mana, dan masih duduk di atas koper yang tengah digeret olehnya. "Mas, aku turun aja, ya?" rengeknya mengembungkan pipi dan menendang-nendang udara.

"Turunnya nanti, pas udah masuk ke dalam apartemen," jawab pria itu tidak ingin ambil pusing, apabila sang istri tiba-tiba menghilang dari edarannya. Pasalnya, seperti yang kalian ketahui, Zhara itu persis seperti bocah SD, atau malah TK, yang selalu tertarik akan hal-hal tak penting dan pergi tanpa pemberitahuan.

Ketika mereka menaiki lift dan sampai tepat di depan pintu apartemen Zhorif, barulah Zhara diizinkan turun. Keduanya langsung masuk. Zhara tampak begitu antusias untuk masuk ke dalam kamar milik suaminya, karena sebelumnya, ia penasaran dan sama sekali belum pernah melihat isi kamar tersebut.

"Mas Zhorif biasanya tidur di sisi kanan atau kiri?" tanya gadis itu setelah melemparkan diri ke atas kasur dengan pandangan menuju langit kamar.

Zhorif menyandarkan lengannya di daun pintu. "Kita akan tidur di kamar yang terpisah," ujarnya secara tak terduga yang membuat Zhara sontak mendudukkan dirinya dan membulatkan mata syok.

"Tidur terpisah?! Tapi 'kan, aku dan Mas Zhorif udah sah menikah..." Gadis itu mencicit dengan bibir yang maju ke depan karena kecewa.

Zhorif menghela napasnya, kemudian mendekati Zhara, dan duduk di tepi kasur. "Terpisah ataupun tidak, semuanya tidak akan terasa berbeda. Seperti yang kamu ketahui, Zhara ... saya seorang dokter, dan setiap hari saya akan bekerja lembur atau mungkin sama sekali tidak pulang jika jadwal operasi padat."

"Tapi 'kan, Mas Zhorif tau kalau aku nggak bisa ditinggal sendirian. Aku takut hantu. Emangnya, Mas nggak takut istri Mas yang cantik ini dimakan sama hantu?" Zhara menatap Zhorif dengan lugu, membuat pria itu merasa tak tahan akan perasaan gemasnya untuk mencubit kedua pipi tembam yang lembut itu. "Duh, Mas kok, malah cubit-cubit aku, sih? Aku lagi serius tau."

"Kamu nggak akan dimakan hantu kalau rajin salat dan mengaji," jawab pria itu dengan senyuman geli, "apalagi kalau kamu rajin belajar dan nggak nakal di sekolah."

"Masa sih, Mas?" Zhara menautkan kedua alisnya. "Kalau gitu, aku ganti aja, deh! Gimana kalau pas Mas ninggalin aku sendirian, aku diculik sama orang jahat?"

Zhorif menjatuhkan telapak tangannya di pucuk kepala Zhara, kemudian mengacak rambut gadis itu gemas. "Kalau kamu diculik orang, nanti saya cari kamu sampai ketemu."

"Kalau nggak ketemu-ketemu juga?"

"Ya, saya terpaksa cari istri baru."

"Ih, Mas Zhorif kok, ngomongnya gitu?!" Zhara mengerutkan alisnya tak suka dan mendelik tajam ke arah suaminya yang terkekeh geli. Gadis itu kemudian mendekat ke arah Zhorif, memeluk pria itu erat sampai membuat sang pemilik tubuh syok dan menghentikan tawa. "Mas nggak boleh ngomong kayak gitu. Mas Zhorif cuma punya aku! Tante Dhea atau perempuan lain nggak boleh ambil Mas dari aku!"

"Saya cuma bercanda, Zhara..."

"Iya, aku tau," sahut gadis itu masih tak ingin mengurai pelukkannya. "Mas, kalau misalnya, Mas Zhorif sampai lembur atau nggak pulang, apa aku boleh ajak Agam nginep di sini untuk temenin aku?" Zhara mengangkat pandangannya untuk menatap Zhorif.

"Kenapa harus Agam?" Dahi pria itu mengerut.

"Ya, karena biasanya gitu ... pas Mami dan Papi berangkat, Mami suka titipin aku di rumah Agam, katanya biar ada yang jagain," terang gadis itu dengan seadanya. "Hm ... tapi kalau Mas Zhorif merasa keberatan, aku nggak akan suruh Agam nginep di sini, aku aja yang pergi nginep di rumahnya seperti biasa."

"Nggak usah. Ajak aja Agam nginep di sini, tapi dengan syarat, teman kamu yang namanya Aufa dan Jhesen itu juga harus ikut menginap," putus Zhorif setelah beberapa detik berpikir.

"Oke." Zhara menurut.

"Kamu laper, nggak?" tanya Zhorif usai merasa tak ada lagi sesuatu yang perlu dibahas. Zhara mengangguk untuk menjawab. "Yaudah, kalau gitu saya masak dulu." Pria itu melenggang menuju dapur untuk memeriksa bahan-bahan apa saja yang tersisa di dalam kulkas. Hatinya mencelos ketika tak menemukan bahan makanan apapun di dalamnya. Kulkas itu hanya diisi oleh dua botol air mineral berukuran besar.

"Kita beli bahan makanan di bawah aja, Mas," usul Zhara yang entah sejak kapan telah berdiri di sebelahnya. "Aku tadi sempat liat kalau ada supermarket di bawah. Apartemen Mas keren juga, ya," pujinya.

"Memang kamu mau makan apa siang ini?" tanya Zhorif sembari memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Zhara.

Zhara tersenyum lebar dan melangkah maju dengan kepala mendongak, membuat Zhorif yang berada di hadapannya sontak mundur beberapa langkah hingga paha belakangnya menyentuh kitchen set. "Makan Mas Zhorif bisa, nggak?"

Zhorif segera membuang muka, matanya berputar seiring rasa jengkel di dalam hatinya mulai muncul. Zhara memang selalu begitu, berbicara sesuka hati tanpa mengerti maksud dari ucapannya sendiri. Mungkin di awal-awal pernikahan Zhorif bisa menahannya, tapi kalau tingkahnya terus berkelanjutan? Mau bagaimana pun Zhorif hanyalah pria normal biasa. Bisa-bisa Zhara, ia makan beneran kalau sudah kewalahan.

"Kayaknya kamu harus berhenti deh, bergaul sama temen-temen kamu yang itu," ujar Zhorif setelah mendorong wajah istrinya menjauh dengan cara meletakkan telunjuknya di dahi gadis itu, kemudian mendorongnya menjauh.

"Nggak bisa. Mereka udah bagai jantung keduaku, Mas..." Zhara mendramatisir, untuk sekian kalinya membuat perasaan Zhorif jengkel. Jadi, apa posisi pria itu di kehidupan Zhara, jika posisi jantung keduanya telah diberikan ke Aufa, Agam, dan Jhesen?

"Jadi nggak, nih, mau ke supermarket?" tanya pria itu dengan nada jengkel.

Namun, sialnya Zhara sama sekali tidak peka. "Jadi, dong!"

*

*

*

"Sampai kapan mau begini? Nggak malu dilihat orang-orang?"

Zhorif meringis, merasa tak nyaman dengan tatapan serta senyum-senyum menggoda orang yang berlalu-lalang di supermarket tersebut. Bagaimana tidak malu? Sejak ia mengambil dan membawa trolley, Zhara ingin ikut mendorong bersama dengan cara masuk ke cela tangan pria itu. Alhasil, keduanya tampak seperti sepasang manusia bucin yang mendorong kereta belanja saja harus sambil berpelukan.

"Nggak malu," jawab gadis itu sembari cekikikan. "Mas mau masak apa?" tanyanya ketika melihat Zhorif mengulurkan tangan untuk mengambil sayur bayam.

"Makanan yang sekiranya bisa dimakan sama anak SD," sahut pria itu dengan maksud menyindir.

"Anak SD?" Zhara mengernyitkan dahinya bingung. Namun, pikirannya terpecah belah ketika melihat seorang anak yang umurnya terlihat seperti 6 tahun, membawa dua bungkus snack bermicin favoritnya. "Mas, boleh nggak, aku beli Chitato sama Lays?" izinnya lebih dulu.

Zhorif menimbang sejenak. Sebenarnya, ia ingin melarang karena merasa makanan tersebut tidak terlalu baik untuk dikonsumsi. Namun, jika ia membiarkan Zhara pergi untuk mengambil snack tersebut, posisi peluk tak peluk mereka ini mungkin akan segera terlepas.

"Boleh."

Seketika gadis itu mengeluarkan diri dari cela kedua tangan Zhorif dan melenggang pergi menuju rak snack yang tampaknya terletak cukup jauh dari tempat Zhorif berdiri sekarang ini. Melihat tingkah laku istrinya yang tampak seperti anak kecil membuat Zhorif hanya bisa tersenyum geli dengan kepala yang tergeleng-geleng.

Rahang bawah Zhara jatuh ke bawah ketika melihat rak snack merek kesukaannya telah kosong. Matanya kemudian beralih menuju trolley seorang pria asing yang dipenuhi oleh keripik tersebut. "Eh, kamu!"

"Gue?" Pria muda itu tampak kebingungan ketika Zhara menunjuknya.

"Iya, kamu!" Zhara mengangguk-anggukkan kepalanya, sebelum berkata, "Jadi, orang nggak boleh serakah, dong! Harus bagi-bagi dengan sesama!" Gadis itu mendekatinya. "Aku mau beli Chitato sama Lays juga, bagi satu-satu, dong."

"Nggak boleh!" Pria penggila micin itu menjauhkan kereta belanjanya demi melindungi keripik-keripik miliknya yang sebenarnya belum sah menjadi miliknya karena belum dibayar.

"Ih, kok, pelit banget, sih?!" Wajah Zhara mengerut tak suka. "Kamu tau nggak, kalau suka pelit nanti kuburan kamu gelap?!"

Gelap? Pria asing itu refleks tergelak. Sejak kapan kalimat yang harusnya terdengar seperti 'kalau pelit nanti kuburannya sempit', malah terdengar menjadi 'kalau pelit nanti kuburannya gelap'.

"Gue nggak peduli." Pria itu memutar tubuhnya untuk segera melenggang pergi. Namun, Zhara buru-buru menghadang kereta belanjanya dengan tatapan memohon, seolah jika ia tidak mendapatkan kedua snack itu, hidupnya tidak akan berarti lagi.

Pemuda itu menatap wajah Zhara secara saksama dengan diam-diam menahan senyum juga rasa ketertarikkannya terhadap tingkah laku aneh gadis yang baru ditemuinya itu. Setelah menimbang-nimbang, ia kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam kantung jins, kemudian menyodorkan benda pipih itu terhadap Zhara. "Kasih nomor lo, dan gue bakal kasih dua bungkus snack ini."

Zhara menatap ponsel pria itu dengan ragu. Apakah tidak masalah jika ia memberikan nomornya? Sepertinya tidak. Jika dilihat-lihat, pemuda itu terlihat seperti orang baik. Oleh karena itu, Zhara memutuskan untuk mengambil ponselnya. Namun, belum sampai dua detik menyentuh, benda pipih tersebut sudah diambil alih secara paksa oleh sosok yang datang dari belakangnya, dan itu adalah Zhorif, suaminya.

Zhorif tampak melakukan sesuatu terhadap ponsel tersebut, sebelum menyerahkannya kembali kepada sang pemilik. "Nomor telepon gue aja nggak masalah, 'kan?"

Zhara menatap suaminya dan hendak membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi sebelum hal itu sempat terjadi, pinggangnya telah lebih dulu dipeluk erat oleh Zhorif hingga tubuh keduanya saling melekat satu sama lain.

"Gue suaminya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top