Bab 37 - Permainan Kasur

💌 : Selamat Hari Valentine bagi yang merayakan💝🍫🍬

Btw, kasih vote dan komen yang banyak-banyak, dong! Siapa tau dengan adanya dorongan dari kalian inspirasi saya tidak mandek lagi. Sekalian deh, mau absen kehadiran dulu.

1. Pembaca lama, komen sini!

2. Pembaca baru, komen sini!

3. Silent readers, komen sini!

Selamat membaca!

& 💬

"Duh, pelan-pelan dong, Mas..."

Dahi Zhara mengerut ketika benda bersuhu dingin itu menyentuh bibirnya. Matanya menatap Zhorif yang dengan telaten tengah mengompres pelan bibirnya yang membengkak setelah aksi ciuman panas mereka beberapa waktu lalu.

Zhorif mengalihkan pandangannya yang berawal dari bibir Zhara menuju ke manik hitam pekat gadis itu. Ia kemudian mengusap pipinya secara perlahan dan berkata, "Maaf, saya terlalu terbawa suasana tadi."

Dalam hati, Zhara merasa riang. Pasalnya, sikap Zhorif seakan menunjukkan bahwa pria itu sudah tidak lagi marah terhadapnya. Tak lupa pula, ia pun memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena telah mengaruniakan Aufa dan Jhesen untuk dijadikan sahabatnya. Zhara juga berjanji akan menraktir kedua temannya itu karena telah memberikan ide-ide berakurasi tinggi yang dirangkup menjadi seperti dua buku berjudul 'Gairah dan Hasrat Malam Suami' serta 'Cara Menghadapi Suami yang Merajuk Terhadap Istri.'

"Nggak papa, kok, Mas," sahutnya dengan cengiran kuda, "berarti bujukkan level ketiga karya Aufa mempan ya, di Mas Zhorif." Gadis itu berpikir dengan mengetukkan telunjuknya di dagu sebelum menatap mata suaminya kembali. "Mas, kalau ciuman di bibir, persentase untuk hamilnya berapa persen?" Pertanyaan yang dilontarkan secara santai oleh Zhara membuat Zhorif refleks tersedak oleh ludahnya sendiri.

"Zhara..." Zhorif memanggil nama gadis itu dengan susah payah, apalagi ketika melihat Zhara yang tengah memukul lembut punggungnya dengan raut wajah tanpa dosa. "Kenapa kamu ingin sekali cepat-cepat hamil, sih?" tanyanya setelah berhasil menghentikan batuk.

"Karena itu tujuan Mama menjodohkan kita berdua, Mas." Zhara tiba-tiba menundukkan pandangannya, kemudian memainkan jemarinya gugup. "Aufa juga pernah bilang, kalau aku harus segera hamil anaknya Mas Zhorif, biar Tante Dhea ataupun perempuan lain nggak bisa ngerebut Mas dari aku."

Apa-apaan pemikiran gadis yang satu ini? Zhorif dibuat sangat tak habis pikir olehnya. "Memangnya, saya terlihat seperti laki-laki yang mudah digoda oleh sembarang perempuan?" tanyanya sedikit merasa tersinggung.

Zhara menggelengkan kepalanya kuat. "Awalnya, aku juga berpikir gitu, tapi setelah Mas bilang kalau Mas khilaf nyium aku tadi, aku jadi berpikir kalau mungkin, suatu saat nanti, Mas juga bisa khilaf menyukai perempuan lain."

Zhorif mengacak rambutnya yang masih basah dengan frustrasi. Mengapa istrinya bisa berpikiran selugu ini dan mengapa juga ekspresi wajahnya terlihat begitu menggemaskan? Zhorif meletakkan kedua tangannya di bahu gadis itu dan berkata, "Yang tadi itu bukan suatu kekhilafan. Saya melakukannya secara sadar dan sengaja. Masalahnya adalah saya terlalu malu untuk mengakuinya. Kamu mengerti 'kan, sekarang?"

Zhara mengerjap-ngerjapkan matanya sembari berusaha mencerna perkataan suaminya secara perlahan. "Jadi, maksud Mas, Mas cium aku karena kemauan dari diri Mas sendiri? Bukan karena khilaf ataupun terbawa suasana?" tanyanya dengan salah satu alis terangkat, memastikan.

"Hm."

"Terus, yang waktu Mas gigit bibir bawah aku, itu khilaf, nggak sengaja, atau—"

"Pembahasan ditutup." Zhorif memotong pembicaraan mereka secara sepihak sebelum membaringkan diri di atas kasur dengan posisi memunggungi Zhara.

Zhara tersenyum geli. Sepertinya, ia tahu jawaban atas pertanyaannya barusan, dan ia juga tahu bahwa suaminya saat ini sedang merasa malu. Oleh karena itu, Zhara tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda Zhorif, dengan cara menempeli bibirnya tepat di telinga merah pria itu dan berbisik, "Mas, kata Mami, sehabis keramas, rambutnya harus dikeringin dulu, baru tidur, kalau nggak, nanti bisa masuk angin."

Zhorif tak menyahuti ucapannya, sepertinya karena pria itu masih merasa malu. Oleh karena itu, Zhara berinisiatif untuk mengambil handuk kering yang berukuran kecil, kemudian menghampiri Zhorif kembali, menarik paksa tangan pria itu agar terduduk, sebelum membantunya untuk mengeringkan rambut. "Duh, gantengnya suami Ara..." Entah darimana datangnya rasa gemas itu, tetapi Zhara kembali menyatukan hidung mereka dan menggeseknya seperti biasa.

"Ara?" Salah satu alis Zhorif terangkat. "Itu nama panggilan kamu?" tanyanya lagi.

Zhara menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Panggilan itu dulunya dibuat sama Mami, tapi sejak aku masuk SMA, Mami dan Papi nggak manggil aku kayak gitu lagi. Katanya, panggilan itu ngebuat aku jadi tambah manja sama orang yang manggilnya." Bibirnya bergerak maju untuk menunjukkan bahwa perasaannya sedang kesal. "Alhasil, cuma Bang Vino aja yang bertahan manggil aku kayak gitu sampai sekarang."

"Memangnya, kamu lebih senang dipanggil Zhara atau Ara?"

Zhara berpikir cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Zhorif dengan penuh semangat, "Aku senengnya dipanggil Ara, tapi kalau Mas Zhorif yang manggil, aku lebih suka dipanggil Sayang!"

Zhorif mendengus ketika jawaban yang diberikan gadis itu tak sesuai dengan pertanyaan yang ia berikan sebelumnya. "Cita-citamu yang satu itu nggak akan terkabul," sahutnya sebelum memindahkan handuk setengah basah yang ada di atas kepalanya menuju kepala Zhara hingga menutupi wajah gadis itu secara menyeluruh.

"Pasti terkabul, kok. Buktinya, dulu Mas pernah bilang nggak mau nikah sama aku, tapi ujung-ujungnya kita malah—"

"Itu dua hal yang berbeda," potong Zhorif dengan nada malas sebelum kembali membaringkan dirinya dengan posisi membelakangi Zhara.

"Kalau sampai bisa, Mas mau bayar ke aku berapa?" tantangnya tiba-tiba dengan tangan bersedekap dan dagu terangkat.

"Terserah kamu mau membual minta berapa, lagipula nggak akan pernah kejadian." Zhorif geleng-geleng kepala sembari tersenyum geli secara diam-diam.

"Minta satu anak laki-laki yang gantengnya kayak Mas Zhorif boleh, nggak?"

"Hm, boleh."

Zhorif refleks membalikkan badannya ketika jari-jari mungil Zhara bergerak untuk menggelitiki pinggangnya tanpa henti. "Zhara, berhenti, nggak?!" Namun, istrinya itu tak mau menurut dan malah asyik menertawainya. Meski merasa tak nyaman, Zhorif juga tak kuasa menahan tawanya. Alhasil, kedua insan itu saling cekikikan di atas kasur.

Di kala Zhorif merasa pergerakkan jari-jari Zhara mulai melemah akibat kelelahan, pria itu buru-buru mengambil kesempatan dengan cara menangkap kedua tangan gadis itu, mendorong tubuhnya hingga terhuyung ke belakang, kemudian menindihnya pula agar berhenti memberontak. Di bawah kekangan Zhorif, Zhara terlihat sama sekali tak merasa gugup, yang ada malah menahan tawa gelinya dengan kulit wajah memerah. "Aku nggak bakal berhenti sampai denger Mas manggil aku dengan sebutan Sayang."

Zhorif meneguk ludahnya kesulitan. Sungguh, ia merasa terheran-heran dengan tingkah laku Zhara yang terlihat terlalu nyaman ketika bersama dengannya. Gadis itu bahkan sama sekali tak terlihat malu atau gugup akan posisi mereka saat ini. Posisi yang biasa disebut orang-orang dengan posisi paling 'bahaya', apabila dilakukan oleh dua lawan jenis.

"Mas kok, keringatan lagi? Padahal, baru aja mandi." Zhara mengulurkan tangan kanannya hendak menghapus keringat yang membasahi pelipis suaminya. Namun, sebelum hal itu sempat terjadi, Zhorif sudah lebih dulu menahan tangannya. "Mas kenapa?" Akhirnya, Zhara mulai merasakan adanya keanehan dari perilaku pria itu.

Tak disangka-sangka, Zhorif menjatuhkan wajahnya tepat di lekukan leher Zhara dan mendengus putus asa, sebelum menggumamkan suatu pertanyaan,

"Sampai kapan kamu mau menyiksa saya untuk mandi air dingin secara terus-menerus, Zhara?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top