Bab 34 - Penyesalan

💌 : nulis bab ini agak berat karena kurang inspirasi. Semoga aja tetap disukai sama kalian semua😄

Btw, spesial Agam, nih😆

Selamat membaca!

& 💬

Zhara mengembungkan pipinya sebal setelah beberapa waktu lalu Zhorif menyeretnya kembali ke kamar hotel, kemudian menyuruhnya untuk berdiri di pojokkan menghadap tembok. Ya, Zhorif memang menghukumnya. Namun, pria itu sama sekali belum menjelaskan alasan dirinya harus sampai dihukum seperti ini. Oleh karena itu, Zhara merasa sedikit tak terima.

"Mas, pegel..." Ia mengeluarkan rengekannya seperti biasa, meski tahu hal itu tidak akan bisa membantunya sama sekali.

Zhorif yang tengah bersandar santai di punggung kasur pun melirik istrinya dengan tatapan tajam. "Kamu boleh duduk kalau sudah tau kesalahanmu apa," balasnya, kejam.

Zhara memelintir tali bathrobe yang dikenakannya dengan kepala tertunduk. "Aku-nya nggak tau. Masa dipaksa tau sih, Mas? Kenapa nggak, Mas Zhorif aja yang kasih tau salahku apa?" cicitnya sedikit mendumel. Namun, tak ada tanggapan dari Zhorif. Oleh karena itu, dengan hati-hati, Zhara memutar kepalanya ke belakang untuk sekedar mengintip. Matanya membulat lucu ketika menemukan Zhorif yang rupanya telah berdiri tepat di belakangnya dengan tangan bersedekap, gadis itu kemudian buru-buru menghadapkan pandangannya kembali ke tembok.

"Kamu keluar kamar dengan pakaian seperti ini, memangnya nggak malu?" tanya Zhorif sembari menatap bathrobe yang dikenakan oleh Zhara. "Kamu mau ngapain?" Pria itu refleks memundurkan langkahnya ketika Zhara tiba-tiba melepaskan tali bathrobe-nya.

"Jadi, Mas Zhorif marah sama aku karena pakai ini keluar, ya?" tanyanya sembari mengangkat pakaian berbahan handuk putih yang baru dilepasnya tadi. "Yaudah, lain kali aku nggak akan pakai lagi, langsung keluar pakai baju tidur ini aja," ujar gadis itu kelewat polos sembari menunjuk lingerie bercorak zebranya.

Zhorif menghela napasnya lelah. Tampaknya, ia harus mencoba untuk menambah limit kesabarannya semenjak menikahi gadis ini. Zhorif kemudian meraih bathrobe yang Zhara kenakan, lalu membantu gadis itu untuk mengenakannya kembali. "Bukan karena itu, Zhara..." Pria itu meletakkan kedua tangannya di bahu Zhara, sebelum bertanya, "Kamu tau, barang apa yang tadi hampir kamu beli di minimarket?"

Zhara menganggukkan kepalanya. "Cokelat, 'kan?" tanyanya balik.

"Iya, cokelat, tapi bukan cokelat untuk dimakan," jelas Zhorif mulai merasa putus asa karena istrinya itu tidak kunjung mengerti juga. "Oke. Kita ganti saja pertanyaannya. Gimana bisa dari sekian banyaknya merek cokelat di sana, kamu mengambil merek yang itu?" Zhorif tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang untuk memermudah level pertanyaannya agar lebih ringan untuk dimengerti oleh gadis itu.

"Karena Jhesen sama Aufa bilang kalau cokelat itu merek impor, limited edition, dan paling enak dari yang lain," jawab Zhara jujur. Gadis itu memberanikan diri untuk menengadah dan menatap mata Zhorif yang berpandangan kosong, mungkin efek sedang mencerna ucapan istrinya. "Mas jangan marah lagi, ya? Aku minta maaf, deh." Zhara mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.

Namun, Zhorif tidak langsung membalasnya. "Jadi, maksud kamu ... kamu membeli barang itu karena disarankan oleh teman-temanmu?" tanyanya memastikan bahwa apa yang ditangkapnya tadi benar. Zhara mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tangan kanan yang masih menggantung di udara. "Astaghfirullahaladzim..." Pria itu tiba-tiba memgusap wajahnya dengan menghela napas, merasa bersalah karena telah terlanjur berpikiran negatif terhadap istrinya sendiri. "Saya yang harusnya meminta maaf sama kamu karena telah berburuk sangka lebih dulu. Maafkan saya, Zhara..." Ketika tangan Zhorif hendak menyambut tangan Zhara yang sebelumnya terulur ke depan, gadis itu buru-buru menariknya kembali seolah berubah pikiran.

Kini, giliran Zhara yang menumpangkan kedua tangannya di atas perut dengan dagu yang sedikit teratas. "Ohh ... jadi, dari tadi Mas lagi suuzan sama aku, ya?" Zhorif menganggukka kepalanya dengan salah satu alis yang terangkat heran karena tingkah laku Zhara yang berubah total. "Aku nggak mau terima maaf lewat salam-salaman!" ketusnya sok jual mahal. Gadis itu kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, sebelum berkata, "Maunya lewat pelukkan."

Baiklah, Zhorif akui, meski Zhara terlihat polos dan ceroboh, bahkan bodoh di beberapa keadaan, ia selalu pintar dalam melakukan modus. Contohnya, ya, seperti saat ini. Tak punya pilihan lain, Zhorif pun ikut merentangkan tangannya, membiarkan Zhara mendekat dan memeluk pinggangnya dengan senyum kegirangan.

"Senengnya dipeluk sama suami yang ganteng, pinter, dan wangi kayak gini!" Zhorif menahan rasa geli pada dadanya ketika Zhara sedikit mengenduskan napasnya di daerah itu. Keheningan menerpa keduanya selama satu menit, sebelum Zhara kembali mengeluarkan suara. "Makasih ya, Mas ... udah mau menikah sama aku," gumamnya dengan suara amat kecil, tapi mampu didengar jelas oleh Zhorif.

Secara tidak sadar, Zhorif tersenyum simpul dan mengangkat tangannya untuk mengelus rambut hitam lurus Zhara yang pendek. Hal tak terduga itu sontak membuat tubuh Zhara menegang untuk beberapa saat, sebelum dirinya kembali tersenyum, tapi lebih lebar dari sebelumnya.

***

"

BANG!"

Bugh!

Agam mendorong tubuh Jeje dengan kasar ke dinding hingga menimbulkan bunyi benturan yang cukup keras. Pria itu melirik Maudy yang kian membekap mulutnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Sialan! Nggak usah ikut campur urusan gue!" Jeje memberontak dalam kekangan Agam, tetapi usahanya sia-sia karena remaja pria itu telah lebih dulu mengunci pergerakkan tangan Jeje. "Lo nggak tau apa yang gue rasain saat ini, Gam. Lepasin gue!"

Agam menggeram frustrasi dan mengunci pergerakkan Jeje semakin kuat hingga kakak sepupunya itu meringis kesakitan. "Gue emang nggak tau, tapi yang gue tau ... besok lo bakalan nyesel kalau nggak ditahan kayak gini!" Agam mengeluarkan sebuah kartu dari kantung celana jinsnya dan memberikannya pada Maudy. "Istirahat di kamarku aja, Mbak, biar aku yang urus Bang Jeje," suruhnya merasa tak tega melihat Maudy yang tampak begitu tertekan.

Maudy mengangguk menurut dan bergegas pergi dari kamarnya dan Jeje. Sepergian wanita itu, baru—lah Agam melepaskan kunciannya dari tangan Jeje dan membiarkan pria mabuk itu jatuh terduduk di lantai yang terlapisi karpet.

"Gila lo, Bang!" maki Agam sebelum ikut menjatuhkan diri duduk di hadapan Jeje yang tampak kacau.

Jeje mengacak rambutnya frustrasi sebelum menatap Agam dengan matanya yang sedikit kemerahan. "Gue hampir ngebunuh anak gue sendiri," ujarnya, sebelum tersenyum miris. Ia kemudian memukuli kepalanya sendiri. "Gue hampir memerkosa Maudy untuk yang ketiga kalinya. Ah, sialan!" makinya mulai meracau.

"Percuma lo nyalah-nyalahin diri lo sendiri. Semuanya udah terlanjur terjadi, Bang," ujar Agam, "paling nggak besok, lo masih bisa minta maaf dan ngebuat semuanya kembali kayak awal kalau Mbak Maudy sudi maafin lo..." Kini giliran Agam yang tersenyum miris.

Jeje terkekeh dan menyentuh pundak Agam untuk memberinya sedikit kekuatan, sebelum berkata, "Sialnya, Bang Zhorif emang lawan yang kuat."

Agam menghempaskan tangan Jeje dari bahunya dengan perasaan kesal. "Kisah gue nggak bakal semiris ini kalau dulu lo nggak ngerebut Mbak Maudy dari Bang Zhorif." Pria itu menundukkan kepalanya sembari melengos. "Anggap aja ini takdir, Bang. Lo nikah sama Mbak Maudy, dan bawa kesialan bagi gue—ah, terserah!" Agam mengumpat kesal dengan ucapannya sendiri, sebelum bangkit dari posisinya dalam satu tarikkan napas. Ketika pria itu baru saja hendak meninggalkan kamar tersebut, langkah kakinya terhenti karena teringat akan sesuatu.

"Jangan sia-siain orang yang ada di samping lo saat ini, Bang ... karena lo nggak tau kapan datang saatnya, dia bakal muak dan pergi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top