Bab 33 - Malam Pertama

💌 : jangan banyak harap di bab ini. Soalnya, masih aman dibaca anak umur 15 tahun 🤧

Btw, kalau sampai vote-nya turun dari yang kemarin-kemarin, saya akan simpulkan bahwa otak kalian ngeres semua, mengharapkan 'sesuatu' untuk terjadi 😂

Selamat membaca!

& 💬

"

Mas..."

"Hm?" Zhorif yang awalnya tengah duduk santai di sofa single yang tersedia di dalam kamar pengantin, sontak menolehkan kepalanya ke arah Zhara yang berdiri di dekat pintu kamar mandi.

"Aku nggak bisa buka baju ini, dari tadi udah nyari-nyari resletingnya, tapi nggak ketemu juga. Gimana, dong?" Zhorif dapat melihat mata istrinya yang mulai berkaca-kaca, mungkin karena sudah terlalu frustrasi akan ketidakberhasilannya sejak tadi. "Kata Mbak Venus nggak boleh dibuka sembarangan, nanti robek," rengeknya lagi dengan bibir berkedut.

Zhorif berdiri dari duduknya dan mendekati Zhara yang tampak kaget ketika pria itu menyentuh bahunya secara tiba-tiba dan membuatnya berdiri membelakangi Zhorif. "Ini nggak ada resletingnya, Zhara..." Pria itu menjelaskan pada gadis itu dengan nada lembut. Sebenarnya dalam hati, merasa agak keheranan, bagaimana bisa baju tak beresleting atau berkancing itu dibuka. "Tadi kamu pakainya kayak gimana?" tanyanya kemudian.

"Dari bawah, tapi dibantuin sama Mama dan Mami," jawabnya yang kini telah mengubah panggilan Hulya dari Tante menjadi Mama karena disuruh. "Berarti bukanya harus gitu juga ya, Mas?" Gadis itu melongo.

Ah, sekarang Zhorif mengerti. Ini semua adalah akal-akalan ibu-ibu itu. Sejak awal, ia memang sudah merasa curiga karena dirinya dan Zhara tidak diperbolehkan untuk mengganti baju. Kedua ibu itu menyuruhnya untuk mengganti pakaian saat di kamar saja, sekalian mandi.

Zhorif menghela napasnya, sebelum memejamkan kedua mata dan mengulurkan kedua tangannya ke arah pinggang Zhara. "Biar saya yang bantu," ujarnya yang membuat pipi Zhara sontak merona malu. Untungnya, pria itu tidak dapat melihatnya. "Maaf..." Suara Zhorif terdengar sangat merdu di telinga Zhara, mungkin efek jarak mereka yang benar-benar dekat. Gadis itu menahan napasnya ketika Zhorif mulai menggerakkan tangannya untuk menaikkan gaun yang Zhara kenakan agar terlepas.

Zhorif berdecak dalam hati ketika pikiran laki-laki dewasanya mulai melayang kemana-mana ketika mencium aroma harum yang berasal dari rambut istrinya. Aroma gadis itu persis seperti bayi yang baru saja dimandikan oleh ibunya, dan entah mengapa, Zhorif amat menyukainya.

"Mas?" Panggilan dari Zhara membuat pria itu tersadar dan mulai menggerakkan tangannya, yang sempat berhenti, untuk melepaskan gaun tersebut dari tubuh Zhara seutuhnya. "Makasih, Suamiku Sayang!" Zhara menjinjit dan mengecup singkat pipi kanan Zhorif sebelum mengacir masuk ke dalam kamar mandi.

Sepergian Zhara, Zhorif langsung membuka matanya dengan tangan yang tergerak untuk menyentuh pipinya yang baru saja dikecup oleh Zhara. "Astaghfirullahaladzim..." Pria itu menggelengkan kepalanya kuat untuk membuang pikiran aneh yang mengontaminasi otak sucinya sebelum kembali duduk di sofa dengan perasaan yang masih gelisah.

Zhara keluar dari kamar mandi setelah memakan waktu selama kurang lebih dua puluh menit. Rambutnya digulung dengan handuk, sedangkan pakaian tidurnya membuat Zhorif hanya bisa menahan napasnya kaget. "Aneh ya, Mas?" Zhara menggigit bibir bawahnya sembari menatap pakaiannya sendiri. "Kata Jhesen sama Aufa, aku harus pakai pakaian yang kayak gini pas tidur sama Mas biar Mas seneng." Ia kemudian menyengir kuda, merasa bangga karena telah memakai pakaian sejenis lingerie yang bercorak seperti kulit zebra.

Zhorif memalingkan tatapannya sembari berdehem untuk membasahi kerongkongannya yang kering. "Memangnya kamu nggak kedinginan tidur pakai pakaian seperti itu?" Tentu saja, Zhorif berharap istrinya akan merasa keberatan dan segera mengganti pakaiannya menjadi lebih tertutup. Kalau tidak, bagaimana bisa Zhorif melewatkan malam ini dengan 'hanya' tidur bersebelahan? Oh, ayolah! Mau sealim apapun seorang pria, pikirannya tidak akan jauh-jauh dari itu ketika melihat istri mereka berpakaian menggoda seperti ini.

"Kalau aku kedinginan 'kan, bisa peluk Mas," jawab Zhara kelewat enteng sebelum merentangkan tangannya lebar dan berlari untuk memeluk Zhorif yang masih terduduk di sofa. Gadis itu bahkan dengan lugunya duduk di pangkuan Zhorif. "Akhirnya bisa peluk-peluk Mas Zhorif kayak Mami pas pelukkan sama Papi!"

"Zha—Zhara..." Zhorif berusaha mengurai pelukkan keduanya ketika merasa tubuhnya mulai bereaksi tak normal. "Saya harus mandi," ujarnya sebelum mengangkat pinggang Zhara agar gadis itu turun dari pangkuannya.

"Tapi aku baru aja isi bathub-nya pakai air hangat. Pasti belum keisi penuh, Mas," ujar Zhara yang menahan pergelangan tangan suaminya ketika Zhorif hendak melenggang masuk ke kamar mandi.

Zhorif melepaskan tangan Zhara secara perlahan agar tak menyinggung perasaan gadis itu. Ia kemudian meletakkan tangannya di atas kepala Zhara yang dililit handuk. "Nggak masalah. Untuk malam ini, saya perlu mandi air dingin," ujarnya sebelum masuk dan menutup pintu kamar mandi tersebut, meninggalkan sosok Zhara yang kebingungan di tempat. Kenapa Zhorif 'perlu' mandi air dingin ketika ada air hangat yang lebih nyaman untuk dipakai?

Line!

Pikiran Zhara buyar ketika notif Line pada ponselnya berbunyi. Ia membukanya dan mendapati bahwa orang yang baru saja mengiriminya pesan adalah Jhesen.

Jhesen Manusia Kadal:

Ra, jangan bilang kalau lo lupa hari ini adalah hari Valentine? Udah beli cokelat buat dr. Zhorif, belum? Kalau belum, gue tunggu di lobby sekarang juga, ya.

Zhara membekap mulutnya terkejut. Astaga! Bagaimana bisa ia menjadi seceroboh ini sampai-sampai melupakan hari kasih sayang yang sebenarnya sangat penting jika seseorang telah memiliki pasangan?

Zhara buru-buru menggapai bathrobe yang berada di dalam lemari pakaian hotel demi melapisi pakaian tidurnya yang terlalu terbuka dan tipis, kemudian bergegas keluar dari kamar untuk menemui Jhesen yang pasti telah menunggunya di lantai utama.

Ting!

Pintu lift terbuka dan menampakkan sosok Jhesen dan Aufa yang telah menyambut Zhara dengan senyuman lebar. "Gue udah tebak kalau lo pasti kelupaan!" Jhesen menepuk dadanya bangga, sedangkan Aufa malah menguap lebar karena sebelumnya sudah tertidur, tapi dipaksa bangun kembali oleh Jhesen yang terus menekan bel di dekat pintu kamarnya.

"Kita beli cokelatnya dimana?" Zhara menggigit bibir bawahnya khawatir. Ia harap, ia telah berhasil membeli cokelat dan kembali ke kamar sebelum Zhorif menyelesaikan ritual mandinya.

"Dua bangunan dari hotel ini ada minimarket. Beli di sana aja biar cepet," usul Aufa malas-malasan.

Pada akhirnya, ketiga sejoli itu pergi ke tempat yang sebelumnya disebutkan oleh Aufa dengan menggunakan pakaian yang benar-benar aneh. Zhara dengan bathrobe-nya, Jhesen dengan singlet dan celana super pendeknya, dan Aufa dengan tanktop hitam dan celana panjang yang berbulu tebal. Sesampainya, mereka di sana, Jhesen langsung meraih sebuah kotak bewarna cokelat yang seukuran dengan kotak rokok, kemudian mengulurkannya pada Zhara. "Lo beli yang ini aja, Ra. Gue denger-denger dari Abang gue, ini cokelat yang paling enak!"

Aufa melotot tak percaya akan apa yang diberikan Jhesen pada Zhara. Gadis itu hendak protes, tapi Jhesen sudah lebih dulu mengulurkan tangan untuk membekap mulutnya.

Zhara mengerutkan dahinya bingung sembari membaca tulisan yang dicetak paling besar di kemasan. "Kondom rasa cokelat? Ini merek apa, sih? Kok, aku baru liat..." Gadis itu mengusap tengkuknya kikuk.

"Ini barang impor, Ra. Emang agak limited edition di sini. Gue juga heran, kenapa bisa ada di Indomaret ini, padahal biasanya habis terus. Iya 'kan, Fa?" Jhesen merangkul bahu Aufa sembari memaksa gadis itu untuk menganggukkan kepala.

"Tapi masa cuma beli satu sih, Jhes? Kayaknya, porsinya dikit, deh," ujar Zhara yang dengan mudahnya masuk ke dalam perangkap manusia kadal. Gadis itu kemudian mengambil empat kotak tambahan dan memasukkannya ke dalam keranjang tanpa ragu. "Aku beli banyak buat jaga-jaga aja, takut kurang," ujarnya sebelum melenggang ke kassa untuk membayar.

"Adek punya KTP?"

Alis Zhara bertaut ketika sang kasir tiba-tiba menanyakan keberadaan KTP-nya. Padahal, sebelumnya ia bisa berbelanja apa saja tanpa perlu diperiksa identitasnya lebih dulu di minimarket tersebut.

"Kenapa, Ra?" tanya Aufa yang dapat membaca raut wajah kebingungan sahabatnya.

"Tante-nya minta KTP, tapi aku nggak bawa, dompetku kayaknya ketinggalan di kamar hotel, deh..." Zhara meringis.

"Kalau gitu, minta suami lo anterin aja, Ra," suruh Aufa yang langsung membuat Jhesen melotot kaget dibuatnya. "Apaan, sih? Kagak ngerti gue," ujarnya pada Jhesen yang terus-menerus menyikut pinggangnya.

Zhara sempat menghela napasnya kecewa karena gagal memberikan surprise pada Zhorif, sebelum dengan pasrah menghubungi nomor suaminya itu.

"Halo, Mas?"

"Assalamualaikum. Kamu dimana?"

"Waalaikumussalam. Di Indomaret sebelah hotel, Mas. Aku lagi belanja, tapi kelupaan bawa dompet. Mas bisa tolong anterin, nggak?"

"Kamu tunggu sebentar. Saya segera ke sana."

"Oke. Assalamualaikum, Mas Suami."

"Waalaikumussalam."

Panggilan itu terputus seiring dengan pipi Zhara yang mengembung karena merasa kesal Zhorif tak balas memanggil namanya dengan sebutan Zhara, Sayang, ataupun Istri.

"Aduh!"

Jhesen tiba-tiba berjongkok sembari memeluk perutnya dan meringis menahan sakit. Zhara dan Aufa yang melihat itu sontak menatapnya khawatir dan ikut berjongkok di dekatnya.

"Kamu kenapa, Jhes?" tanya gadis itu kembali termakan oleh kebohongan pria itu.

"Gue sakit perut nih, Ra, kayaknya sembelit. Gue balik ke hotel duluan, nggak papa, 'kan?" tanyanya berusaha melarikan diri dari tanggung jawab. Zhara tampak menimbang-nimbang sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya merasa tak tega dengan Jhesen yang sepertinya sudah tak tahan lagi. "Yaudah, kalau gitu, gue sama Aufa balik duluan, ya, gue harus dijagain karena takutnya pingsan di perjalanan ... lo tunggu di sini aja sampai dr. Zhorif dateng. Jangan kemana-mana dan jangan ngomong sama orang yang nggak dikenal. Oke?" Jhesen berpesan karena sebenarnya merasa khawatir akan keluguan Zhara.

Zhara menganggukkan kepalanya, dan di detik itu pula Jhesen langsung menggandeng tangan Aufa dan membawa gadis itu untuk melarikan diri secara bersamaan.

Lima menit kemudian, pintu kaca minimarket tersebut terbuka lebar, menampakkan sosok Zhorif dengan rambut setengah basah yang menggunakan piyama serba panjang berwarna cokelat muda dengan raut wajah khawatir yang tercetak jelas di wajahnya.

"Maaf karena membuat kamu lama menunggu," ujarnya yang kemudian langsung mengeluarkan dompetnya untuk membayar barang belanjaan Zhara. "Berapa, Mbak?" tanyanya pada sang kasir.

"Apa saya boleh melihat KTP kakaknya dulu?" Namun, sang kasir tak langsung menjawab pertanyaan Zhorif dan malah balik bertanya. "Hmm ... maaf, tapi adiknya Kakak membeli barang-barang ini. Saya cuma mau memastikan bahwa kalian sudah cukup umur untuk menggunakannya," ujarnya sembari tersenyum sopan dan menunjukkan keranjang Zhara yang telah diisi dengan lima kotak alat pengaman bermerek sama.

Zhorif melotot kaget setelah melihatnya, kemudian melempar tatapan penuh tanda tanya ke Zhara. "Kamu beli ini buat apa, Zhara?" tanyanya.

"Buat surprise-in Mas ... hari ini 'kan, hari Valentine, dan sebagai istri yang baik sudah seharusnya aku berinisiatif untuk ngasih Mas Zhorif cokelat yang paling enak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top