Bab 31 - Menstruasi Bukan Keguguran

💌 : update sore setelah sekian lama sering update pagi. Dari tadi ngecek notif My Childish Wife dikit banget yang vote bab sebelumnya. Padahal, saya ngetik itu dengan perjuangan lho, kan, lagi sakit😭

Untuk update selanjutnya, vote minimal 117 dan komentar 22 (dari orang yang berbeda), ya? Saya begini biar semangat menulisnya meningkat, karena bantuan dari kalian bisa membantu ranking cerita ini naik. Jadi, mohon kerja samanya 🙏, biar bisa buat cerita ini nebeng di ranking 1 romansa.

Btw, mau spoiler kalau bab selanjutnya Zhorif dan Zhara bakal nikah. Makanya, jangan males-malesan vote dan komen😏

Selamat membaca!

& 💬

Ini sudah lewat lima hari dari kejadian dimana Zhara mengeluarkan ekor melalui lubang hidungnya ketika makan siang bersama dengan Zhorif di sebuah restoran Italia, dan ini berarti, hari esok merupakan hari H-nya, hari dimana kedua mempelai akan dipersatukan secara agama oleh saksi-saksi, yaitu keluarga dan kerabat.

Normalnya, seorang perempuan yang hendak menikah merasakan perasaan gugup atau bahagia yang luar biasa. Namun terbalik dengan Zhara, gadis itu tampak begitu santai dan uring-uringan di kasur sembari menatap sedih foto calon suaminya.

"Kalau aku tau proses pemingitan bakal selama ini, aku nggak akan setuju sama Papi dan Tante Hulya dari awal!" Gadis itu kemudian mencak-mencak di kasur dan menggigit gemas gulingnya yang dilapisi oleh seprai kartun Pink Panther. "Aku kangen banget sama Mas Zhorif..." gumamnya kemudian dengan menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya kuat sembari mengangkat wajahnya agar mendatar. "Nggak! Aku nggak boleh nangis. Kata Mami, mataku bisa bengkak dan jelek kalau nangisss. Mas Zhorif nggak boleh nikahin perempuan yang matanya bengkak, bolehnya cuma yang punya ekor di hidung aja!" Ia mengepalkan tangannya bertekad.

Cklek!

"Kamu ngapain, Ra?"

Dahi Vino mengerut, merasa keheranan dengan tingkah laku adik sepupunya yang sudah lima hari ini menjadi lebih anomali dari biasanya.

Zhara mengibas-ngibaskan udara di dekat matanya. "Abang jangan ajak aku bicara. Aku lagi nahan nangis, nih!" protesnya dengan bibir berkedut.

"Nangis kenapa?" Vino buru-buru mendekati Zhara demi memastikan apa yang dikatakan oleh gadis itu bukan bercanda. "Jangan bilang kamu nyesel dan nggak mau nikah sama calon suamimu yang tua itu?!" tuding Vino secara tanpa sadar menjelekkan Mas Zhorif-nya Zhara. "Tuh 'kan, sejak awal Abang udah bilangin kalau cinta kamu itu cuma cinta monyet, ntar bakalan ilang sendiri seiring berjalannya wak—hmphhh..." Vino jatuh terbaring ke kasur Zhara dengan paksa, ketika tangan gadis itu membekap mulut sok tahunya terlalu kencang.

"Abang bisa nggak sih, jangan nambahin beban pikiran aku? Aku ini udah sensitif sejak hamil anak kembar, dan Abang malah—" Zhara tiba-tiba teringat perkataan Zhorif yang waktu itu bilang bahwa masalah kehamilannya harus disembunyikan demi kebaikan bersama. Ia kemudian membekap mulutnya dengan mata yang membulat, persis seperti apa yang tengah dilakukan oleh Vino juga.

"H—hamil?"

Vino mengerjap-ngerjapkan matanya demi mengusir rasa kejut yang menyerang jantungnya. Pria itu bangkit dari posisi baringnya menjadi duduk di tepi kasur dan meraih bahu Zhara agar mendekat ke arahnya. "Ara hamil?" tanyanya yang tentu saja tidak langsung dijawab oleh Zhara. Namun, Vino menampar pipinya sendiri dengan cukup kuat. "Sebentar, sebentar, sebentar..." Ia terlihat seolah berusaha menahan Zhara berbicara. Padahal, pada faktanya gadis itu masih setia membisu. "Ara kamu tau 'kan, arti hamil yang sebenernya?" Pertanyaannya diralat. Vino mengulurkan tangannya untuk menyentuh perut adik sepupunya yang datar. "Di sini ada bayinya?" tanyanya lagi karena Zhara belum juga mau menjawab.

Tangan Vino terkepal kuat seketika ia bangkit dari duduknya. Pria itu berkacak pinggang dan melengos tak percaya. "Tante Mia dan Om Burhan tau tentang ini?" tanyanya yang sontak membuat Zhara langsung menggeleng ketakutan. "Bayi itu ... anaknya calon suamimu, 'kan?" tanyanya ragu, takut jika adiknya itu akan mengatakan tidak. Namun untungnya, Zhara bergegas menganggukkan kepalanya dan membuat Vino paling tidak dapat menghela napasnya lega.

"Abang jangan kasih tau Mami sama Papi, ya? Ya? Ya? Pleaseee, Ara mohon sama Abang." Zhara menatap Vino dengan mata yang berkaca-kaca, sedangkan tangannya mencekal baju bagian lengan Vino sembari mengguncangnya pelan. "Mas Zhorif bilang nggak ada yang boleh tau soal ini karena Papanya Mas Zhorif punya penyakit jantung. Kalau tau tentang ini, mungkin Papanya bakal sakit lagi, dan kalau Papanya sakit, berarti pernikahan Ara sama Mas Zhorif harus ditunda. Ara nggak mau ditunda, Ara mau secepatnya nikah sama Mas Zhorif. Abang ngertiin perasaan Ara sekali ini aja. Bisa, 'kan?"

Tak tega melihat ekspresi adiknya yang terlihat tertekan membuat Vino luluh dan mau tak mau menganggukkan kepalanya. Zhara tersenyum girang dan langsung melompat ke pelukkan kakaknya, sebelum peristiwa yang mengejutkan terjadi. Zhara merintih kesakitan pada bagian perutnya dan refleks berjongkok di dekat kaki Vino.

"Aduh, sakit..."

Zhara memeluk perutnya dengan dahi yang kian mengeluarkan keringat. Rasa panik sekaligus khawatir kian menyerbu perasaan Vino. Pria itu ikut berjongkok dan memerhatikan wajah Zhara yang berubah menjadi pucat pasi. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" Vino langsung menggendong tubuh adiknya dalam sekali angkat. Pergerakkannya sempat terhenti ketika ia menyadari bahwa ada bercak darah di seprai kasur, bekas Zhara duduk tadi.

"Tante!"

"Om!"

Masa bodoh perihal ketahuannya kehamilan Zhara. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan nyawa sang adik perempuan dan juga bayi-bayi yang sedang dikandung olehnya.

*

*

*

"Dokter, coba tolong periksa sekali lagi!"

Vino menggigit bibir bawahnya panik ketika mendengar pernyataan bahwa sang adik perempuan rupanya tidak benar-benar hamil. Ini sudah yang kelima kalinya Vino meminta sang dokter beserta susternya untuk memerika keadaan Zhara—yang sebelumnya tak sadarkan diri—kembali.

Burhan dan Mia yang sejak tadi kebingungan karena permintaan Vino untuk membawa putri mereka ke dokter kandungan pun, beranjak untuk mendekati pria berusia 30 tahun itu. "Nak, adikmu itu baik-baik saja, dan dia tidak sedang hamil, hanya mengalami datang bulan biasa," jelas Mia dengan tangan yang tersampir di bahu anak dari saudara kandung laki-lakinya.

"Nggak mungkin, Tante!" Vino menyentak hingga membuat orang-orang di sana terkejut, kecuali Zhara yang masih berada di alam bawah sadarnya.

Cklek!

Pintu ruangan VVIP itu tiba-tiba terbuka secara lebar dan terbanting kuat ke dinding, menampakkan sosok Zhorif dengan jas putihnya, serta raut wajah cemas yang tercetak jelas di wajahnya. Zhorif bertukar pandang dengan Mia, Burhan, dan Vino sejenak, sebelum mendekati Zhara yang terbaring di atas brankar.

"Gimana kondisinya, Zel?"

Karena terlalu panik, Zhorif tidak menyapa calon keluarganya lebih dulu, dan langsung bertanya dengan dokter spesialis kandungan bernama Shanzel, yang rupanya merupakan teman satu kerjanya. Ya, Zhara memang dibawa ke rumah sakit Wira Atmadja untuk diperiksa. Alasannya bukan karena jaraknya yang terdekat, tapi karena rumah sakit itu adalah yang terbaik di ibukota, menurut Vino.

"Kram perut. Datang bulan," jawab Shanzel singkat yang entah bagaimana caranya langsung dapat dipahami oleh Zhorif dengan mudah tanpa bertanya lebih lanjut. Padahal, ia sendiri tidak bergelut di bidang itu. "Salah satu anggota keluarganya bersikukuh kalau pasien hamil dan mengalami pendarahan," lanjut Shanzel sebelum melenggang pergi bersama dengan suster yang tadi datang bersamanya.

Sepergian Shanzel dari ruang rawat itu, Zhorif menghela napasnya lega. Ia kemudian menatap Mia dan Burhan dengan sebuah senyuman simpul, sedangkan Vino malah mendecih tak suka.

Burhan tiba-tiba meraih bahu Vino agar pria itu menghadap ke arahnya. "Kamu tidak berniat menjelaskan tingkah lakumu yang aneh tadi? Kenapa bisa tiba-tiba berpikir kalau adikmu hamil, padahal, mereka saja dalam proses pemingitan dan belum sah menikah?" Suara bass pamannya terdengar begitu mengintimidasi di telinganya kali ini. Mungkin efek dari janjinya terhadap Zhara yang tak ingin ia ingkari.

Baru kali itu, rasanya jantung Zhorif berhenti bekerja. Ia bisa langsung mengerti apa yang dikatakan oleh Burhan dengan menyambungkannya dengan ucapan Shanzel yang tadi. Zhara tampaknya tak sengaja keceplosan perihal kehamilannya yang sebenarnya hanya kepalsuan belaka.

"Om bisa tanya sendiri sama dia!" tunjuk Vino pada Zhorif, sukses mengingkari janjinya terhadap Zhara dalam paksaan Burhan selama kurang lebih dua menit.

"Memang apa hubungannya sama Zhorif?" Kali ini, giliran Mia yang mengeluarkan suara.

Vino kemudian mengacak rambutnya frustrasi karena merasa dipojokkan sendiri. Ia kemudian menghampiri Zhorif dan meraih keras jas putih milik pria itu dengan kasar. "Zhara bilang ke gue kalau dia hamil, dan ternyata dia nggak beneran hamil setelah diperiksa langsung sama dokter. Gue aja bingung sama situasi ini. Gimana gue bisa jelasinnya ke Om sama Tante?!" Cengkraman Vino pada kerah Zhorif kian menguat ketika ia kembali membuka mulutnya untuk bertanya dengan nada berbisik, "Lo ... sebenernya udah nganu-in adek gue atau belum, sih?"

Bugh!

Vino hampir saja jatuh tersungkur ketika pinggangnya ditendang kuat ke samping oleh seseorang yang juga membuat cekalannya terhadap Zhorif terlepas begitu saja. Siapa lagi kalau bukan ulah Zhara, yang sekarang ini telah melemparkan tatapan bengis ke arahnya?

"Jangan sakitin Mas Zhorif! Emangnya, Abang bisa tanggung jawab kalau nanti hasil foto pernikahan kami nggak bagus gegara Abang bikin wajah calon suamiku lebam?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top