Bab 3 - Jodoh Tak Kemana
💌 : buat yang udah pernah baca Wildest Marriage pasti kenal sama Nando, apalagi Zhikan dan Vino😚
Oh, ya! Idol Joy (Korea) akan mengambil peran sebagai Zhara. Bagi yang kepo, ini fotonya (👇)
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
Sore ini, tepatnya pada pukul 16.00, Zhorif dan keempat teman segengnya memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit. Suasana kantin yang digunakan oleh beberapa pasien, perawat, dan dokter itu seketika ramai. Pasalnya, sangat jarang bagi mereka untuk menikmati pemandangan personel DOGANS yang lengkap karena biasanya, salah satu atau dua dari mereka terlalu sibuk hingga selalu melewatkan jam istirahat.
DOGANS (Dokter Ganteng[s]) adalah julukkan untuk lima orang dokter yang tidak hanya super tampan, tapi juga memiliki otak yang cemerlang hingga membuat kelimanya kompak memiliki gelar spesialisasi yang berbeda-beda di usia muda.
Mereka terdiri dari Pratama Melva Wira Atmadja, dokter spesialis bedah digestif (menangani kasus masalah saluran cerna, hati, dan pankreas). Tama merupakan cucu tertua kedua dari keluarga Wira Atmadja. Ciri khasnya adalah dewasa, bijaksana, tetapi sering tidak nyambung jika diajak bicara.
Kedua, Zhorif Seinza Wira Atmadja, dokter spesialis bedah anak (menangani kasus masalah anak dan bayi lahir cukup bulan ataupun prematur). Ia merupakan cucu tertua ketiga dari keluarga Wira Atmadja. Ciri khasnya adalah kalem, paling alim, dan sering dibuli.
Selanjutnya, Jordan Valerio Wira Atmadja, dokter spesialis ortopedi (menangani kasus patah tulang, trauma jaringan otot dan tulang, tumor muskuloskeletal, dll.). Jojo merupakan cucu tertua keempat dari keluarga Wira Atmadja. Ciri khasnya adalah terkadang waras, terkadang juga tidak, tergantung dengan suasana hatinya di hari itu.
Keempat, Jefvier Valerino Wira Atmadja, dokter spesialis urologi (menangani kasus masalah saluran kemih, batu ginjal, kanker prostat, dll.). Jeje merupakan adik kembar tak identik Jojo, yang sekaligus menjabat sebagai cucu termuda yang masuk ke dalam geng DOGANS. Ciri khasnya adalah berisik, kekanak-kanakkan, dan suka semena-mena.
Terakhir, Arsen Zylgveen, dokter spesialis ilmu kesehatan jiwa dan perilaku (Psikiater). Arsen merupakan teman dekat Zhorif sewaktu SMA dan kuliah, tetapi tidak memiliki hubungan darah sama sekali dengan keluarga Wira Atmadja. Ciri khasnya adalah punya banyak wanita, jahil, dan tidak berakhlak mulia.
"Kagak bisa berhenti ngakak gue!"
Untuk yang ke sekian kalinya Zhorif memutar bola matanya jengah. Ia lelah karena terus mendapatkan tanggapan yang sama tiap kali para sepupu dan sahabatnya itu bertanya mengenai apa yang telah terjadi dengannya hari ini hingga terus memasang wajah masam.
Arsen yang paling terakhir tahu—perihal rencana perjodohan Zhorif—hanya bisa tertawa keras tanpa berniat untuk membantu mencari jalan keluar dan mencapai kebaikan bersama.
"Kalau lo nggak berhenti ketawa, gue bakal cabut sekarang juga." Kecaman Zhorif sontak membuat Arsen bergegas menghentikan tawanya, tak jauh berbeda dengan Jojo dan Jeje yang baru saja berniat untuk ikut tertawa.
Tama menepuk bahu Zhorif ketika melihat adik sepupunya itu mengusap wajah frustrasi. Ia jelas tahu bagaimana perasaan pria itu saat ini sebab dulu dirinya pun pernah merasakan hal yang sama, dijodohkan dengan seorang wanita yang bahkan tidak dikenalinya sama sekali. "Nggak usah dibawa pusing. Lo coba aja dulu, siapa tau cocok," usulnya. Bukan bermaksud untuk menggurui, tapi sekarang, dia juga menyadari bahwa suatu perjodohan bukanlah hal yang buruk. Buktinya ia dan istrinya, Velove, baik-baik saja walaupun usia pernikahan mereka kini sudah memasuki empat tahun.
"Orang tua pasti siapin pilihan yang terbaik buat lo." Kalimat itu bukan diucapkan oleh Tama maupun ketiga sahabat Zhorif lainnya, melainkan dari seorang pria berusia 33 tahun yang tak lain adalah Zhikan, cucu tertua keluarga Wira Atmadja yang terkenal dengan sifat pemberontaknya.
"Gayanya," delik Jeje, "lo aja nikah sama Kia bukan karena per—"
"Emang bukan karena perjodohan, tapi bukan juga karena bunting di luar nikah," potong Zhikan tegas yang membuat Jeje langsung kalah telak.
Jeje menggeram emosi dan akan melemparkan garpu besinya menuju Zhikan jika saja Zhorif tidak lekas menahan tangannya. "Ngomong sama orang tua yang sopan. Jangan pake lo-gue," tegurnya yang membuat Jeje hanya bisa mendengus dan menahan amarah ketika melihat Zhikan yang sedang memeletkan lidah ke arahnya.
Zhikan memang yang tertua di antara mereka, tetapi tingkahnya tidak jauh berbeda dengan si maknae, Jeje. Maka dari itu, keduanya tidak pernah bisa digabungkan dalam satu ruangan. Ini jugalah yang menjadi alasan Zhikan selalu menjauh dan enggan bergabung ke geng DOGANS meskipun dirinya masih memiliki darah keluarga Wira Atmadja.
"Apaan lo liat-liat?!" Jeje dan Zhikan mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan pula. Tidak puas hanya dengan saling melirik tajam, keduanya pun sontak hampir menyuarakan umpatan yang sama. "Dasar Anj—"
Brakk!
Suara meja yang digebrak keras oleh Zhorif membuat nyali Jeje dan Zhikan menciut. Keduanya buru-buru mengganti umpatan mereka menjadi sesuatu yang lebih baik.
"—Anjasmara!"
***
"Kita mau ngapain ke sini?"
Pegangan pada tali tas selempangnya mengerat seiring langkah kakinya semakin mendekati sebuah bangunan besar bernuansa gelap yang tampak ramai dikunjungi oleh beberapa orang. Zhara menatap Aufa dan Jhesen dengan raut wajah memelas. "Aku nggak jadi ikutan, deh..." Nyali besarnya menciut begitu saja. Kalau tahu dia akan diajak ke tempat yang tidak benar seperti ini, dia akan memilih untuk menemani Agam latihan bisbol saja walaupun pasti merasa bosan menunggu.
"Ya ampun, Ra. Lo 'kan, tau kalau BoNyok lo lagi pergi ke luar kota. Masa sih, lo setakut itu ketauan? Tenang aja kali! Mereka juga mana mungkin nyewa mata-mata buat ngintilin lo kemana-mana!" oceh Aufa seraya merangkul bahu Zhara, berusaha menenangkan perasaannya. "Kita 'kan, datengnya juga siangan. Nggak bakal-lah ada yang nyangka, anak SMA pergi ke tempat beginian di jam tambahan sekolah." Zhara menatap Jhesen, tetapi bukannya membantu, pria itu malah ikut manggut-manggut mengiyakan ucapan Aufa.
Zhara menghela napasnya gugup, ia memeriksa jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangannya untuk memastikan bahwa dirinya tidak melewati jam malam, yaitu pukul 19.00, aturan yang dibuat oleh sang ayah untuknya. Benar saja, jam masih menunjukkan pukul 17.00, yang itu berarti dirinya masih ada waktu untuk menemani sahabat-sahabatnya bersenang-senang.
"Lo nggak bisa pulang dengan sia-sia setelah makeup-an susah payah kayak gini, 'kan?" Jhesen menilai penampilan Zhara dengan sebuah decakan kagum. Ya, saat ini dirinya sudah dipermak habis-habisan oleh Aufa. Gadis itu memakaikannya sebuah baju bernuansa hitam rock, lipstik berwarna ungu tua, serta sebuah bandana kain berwarna merah yang diikat mengelilingi dahinya.
Melihat masih adanya rasa ragu dari mata Zhara membuat Jhesen pun berkata, "Ck! Gini aja, deh ... kalau lo mau nemenin kami berdua masuk ke dalem, gue sama Aufa janji, bakalan nemenin lo tidur malem ini." Iman Zhara pun tergoda. Tawaran Jhesen sangat menggiurkan baginya di situasi saat ini. Pasalnya, Zhara selalu begadang ketakutan setiap kedua orang tuanya berangkat dan hanya meninggalkannya sendirian di rumah.
"Yaudah, deh," putusnya pasrah.
Tangannya pun langsung ditarik dengan penuh semangat oleh Aufa dan Jhesen. Ketiganya berdiri dengan posisi tangan saling bergandengan karena merasa gugup akan tatapan garang yang diberikan oleh satpam penjaga pintu masuk. "KTP," pinta satpam itu secara singkat, seakan tahu bahwa ketiga pengunjung itu mungkin masih ada yang di bawah umur.
Zhara menghela napasnya lega karena sudah memiliki KTP, tidak seperti Aufa dan Jhesen yang masih berusia 16 tahun. "KTP-nya diwakilkan bisa nggak, Pak? Soalnya, kami berdua lupa bawa," ujar Jhesen ngeles. Namun, satpam itu menggelengkan kepalanya dan mendorong tubuh Jhesen ke samping agar tidak menghalangi pengunjung lain yang hendak masuk. Seakan tidak kehabisan ide, Jhesen pun mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dompetnya untuk menyogok sang satpam.
"Gaji saya di sini sudah cukup besar!" tegas satpam itu dengan tegas ketika Jhesen baru saja hendak meletakkan uang itu ke tangannya.
"Duh, Pak! Kalau ada rejeki tambahan mana boleh ditolak!" sahut Aufa yang langsung diangguki oleh Zhara dan Jhesen secara kompak. "Kalau kurang bilang aja. Bapak mau saya tambahin berapa?" tanyanya santai sembari ikut mengeluarkan dompet, menyokong duit sogokkan Jhesen yang mungkin belum cukup menggerakkan iman satpam itu.
Baru saja ketiganya hendak diusir secara paksa, sebuah rangkulan pada bahu Zhara—yang berasal dari pria asing—membuat nyali satpam itu menciut. Zhara dan kedua sahabatnya kompak menoleh ke arah pria asing itu dengan alis yang terangkat sebelah. "Gue wali mereka," ujarnya singkat. Rupanya, kalimat itu sangat membantu ketiganya karena kini mereka diperbolehkan untuk memasuki gedung.
Ruangan gelap yang didominasi oleh suara musik yang berdegum, lampu kerlap-kerlip, dan orang ramai membuat Zhara semakin merasa terganggu, apalagi pria asing yang membantunya tadi tampaknya masih berniat untuk merangkulnya.
"Ke dance floor, kuy!" ajak Jhesen antusias. Aufa mengangguk menanggapinya, begitu pun juga dengan Zhara. Namun, ketika Zhara mengambil ancang-ancang untuk melenggang pergi, pria tadi malah mencekal pergelangan tangannya.
"Cuma segitu aja rasa terima kasih lo?" Pria itu menautkan alisnya.
Zhara terdiam. Ia kemudian menggelengkan kepalanya perlahan. Matanya melirik ke arah kedua sahabatnya yang rupanya malah asyik berjoget ria di lantai dansa, tidak menyadari bahwa dirinya sedang ditahan sendirian.
"Makasih, tapi kamu nggak bisa cuma nahan aku aja, dong. Temen-temenku juga berhutang budi sama kamu," ujar Zhara sembari berusaha melepaskan tangannya dari pria itu. Namun, tidak mudah. Pria itu malah membawanya untuk duduk di kursi bar dan memesankannya segelas minuman beralkohol.
"Mau pacaran sama gue?"
Zhara membulatkan matanya kaget. Ia sontak menggelengkan kepalanya tanpa berkata apa-apa.
Pria itu terkekeh hambar. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompetnya, kemudian menyodorkan benda tipis itu ke Zhara. "Gue tajir," sombongnya.
"Om gue jauh lebih tajir, Ndo!" Sebuah suara yang berasal dari belakang punggung Zhara membuat gadis itu kembali merasa terkejut. Ia menoleh dan mendapati seorang pria tampan, tetapi familiar yang mampu membuat kedua kakinya kompak melemas seperti jeli.
"Om?" Pria yang dipanggil dengan nama 'Ndo' itu menatap Zhara dan pria yang baru datang tadi dengan dua alis bertaut.
"Ini Ara, adek sepupu gue." Pria itu memeluk bahu Zhara dengan sebuah senyuman penuh arti, membuat Zhara yang melihatnya hanya bisa meneguk ludah dengan susah payah. "Gimana, ya ... kalau Om Burhan sampai tau kalau anaknya—"
"Ara sayang Bang Vino!" Zhara bangkit dari duduknya dan memposisikan diri untuk menghadap sang kakak sepupu yang bernama Vino.
Vino terkekeh geli dan mengacak rambut Zhara gemas. "Abang juga sayang Ara, makanya Abang mau laporin perbuatan nggak bener Ara ke Om sama Tante," ujarnya sembari mengeluarkan ponsel dari kantung celana jinsnya.
"Tunggu sebentar, Vin," Pria dengan panggilan singkat 'Ndo' itu menahan tangan Vino yang hendak menghubungi nomor pamannya. "dia adek sepupu lo yang sering lo ceritain itu?" tanyanya dengan ekspresi tidak percaya.
Vino mengangguk santai. "Kenapa? Lebih jelek dari ekspetasi lo, ya?" Zhara mengembungkan pipinya sebal, tetapi tidak ingin berbuat ulah karena saat ini Vino tengah memegang rahasia hidup dan matinya. Vino yang merasa gemas dengan pipi kembung Zhara pun menusuknya dengan jari telunjuk sebelum berkata, "Ini sahabat Abang, namanya Nando, panggil aja Babi kalau mau lebih akrab," ujar Vino yang membuat Nando sontak melotot tak terima.
"Bang Vino?!"
Perhatian Vino teralih menuju Aufa dan Jhesen yang kian melambai-lambaikan tangan mereka dari kejauhan sembari menyengir kuda. Vino kemudian kembali menatap Zhara yang hanya bisa menundukkan kepalanya gugup. "Ara dateng ke sini karena diajakkin sama dua manusia gembel itu?" Melihat adik sepupunya yang bungkam membuat Vino menghela napasnya jengkel. Ia berjalan menghampiri Aufa dan Jhesen, lalu menjewer telinga keduanya dan menyeretnya untuk mendekat ke bar.
"Pulang sekarang!"
*
*
*
"Ara seriusan bunuh diri nih, kalau Abang sampai laporin ke Mami sama Papi!" ancam Zhara yang kian mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, kemudian menekan tombol naik otomatis hingga membuat lehernya tercekik sendiri.
Namun, Vino tidak lagi mudah untuk terpancing oleh ancaman adiknya yang licik itu. "Bunuh diri aja, Ra ... nanti kalau kepalamu copot terus jatuh ke jalanan, Abang pungut lagi, kok," sahutnya santai sembari mengendikkan bahu.
Zhara menyerah. Ia menekan tombol turun otomatis jendela mobil milik sang kakak sepupu dan kembali duduk rapi ke posisi awal. "Dasar jahat!" umpatnya sembari memberikan Vino sebuah delikan tajam.
"Katanya Om Burhan sama Tante Mia lagi ke luar kota, ya?" Vino mengalihkan perhatian Zhara agar gadis itu melupakan rasa kesalnya. Namun tidak semudah itu, Zhara sudah cukup besar untuk dikelabui, gadis itu merajuk dan mengabaikan pertanyaan Vino dengan wajah memberengut. "Emangnya Ara nggak takut tidur sendirian? Konon katanya, kalau cewek malem-malem—"
"Abang!"
Vino terkekeh geli ketika mendengar teriakkan Zhara yang mengekspresikan diri bahwa sebenarnya gadis itu sangat pengecut dengan hal-hal yang berbau mistis. Vino mengulurkan tangannya untuk mengusap pucuk kepala Zhara dan berkata, "Yaudah, malem ini Abang temenin kamu, deh!"
"Abang nginep di rumah Ara?" tanya gadis itu dengan mata yang tiba-tiba berbinar antusias, berbeda jauh dengan yang sebelumnya.
"Ho'oh, tapi Ara harus janji dulu ... nggak boleh dateng ke tempat-tempat yang nggak bener kayak tadi lagi." Vino mengeluarkan jari kelingkingnya untuk melakukan pinky promise dengan adik sepupunya yang masih berkelakuan seperti anak SD itu.
Zhara langsung menautkan jari kelingking mereka. "Janji," balasnya tanpa keraguan sedikitpun, "tapi kok, Abang bisa ada di sana? Katanya itu tempat yang nggak bener?"
Vino tersedak salivanya sendiri. Jika pertanyaan yang diberikan seperti ini, ia mana tahu harus menjawab apa, tidak mungkin 'kan, dirinya menjawab dengan jujur bahwa ia adalah pemilik dari klub yang sempat didatangi oleh Zhara dan teman-temannya itu?
"Turun, yuk! Udah sampe."
Untungnya, Vino selalu pintar memanfaatkan situasi. Kini, dirinya dan Zhara memasuki rumah megah di suatu perkomplekkan dengan langkah yang santai, tidak menyadari bahwa ada mobil lain yang sudah terparkir cukup lama di garasi.
"I'M HOMEEEEEEEE!!!"
Zhara berteriak dengan tangan yang terlentang bebas sembari memutar-mutar badan, memasuki ruang tamu tanpa memerhatikan bahwa lampu ruangan itu tidak seharusnya terang ketika tiada siapapun orang yang berada di rumah.
"Ra!"
Pukulan pada ubun-ubunnya membuat Zhara berhenti dan menatap Vino dengan alis yang saling bertaut. Namun, Vino tidak menjelaskan apa-apa, malah memutar paksa tubuhnya agar menghadap langsung dengan ruang tamu.
Mata Zhara membulat kaget ketika mendapati keberadaan kedua orang tuanya yang tengah duduk di sofa dengan tiga orang asing lainnya. Tiga? Ralat! Bukan tiga, tapi dua karena Zhara sangat mengenali salah seorang pria itu. Dia adalah ... Zhorif. Mas Zhorif-nya.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top