Bab 29 - Fitting Gaun
💌 : mau bikin target deh, biar pembaca disiplin. Soalnya, nakal sekali, nggak mau dikasih tau baik-baik 😤
Oke, pengumuman! Bab selanjutnya akan dipublikasikan apabila vote telah mencapai 115 dan comment mencapai 15 (dari akun yang berbeda.)
Btw, mau nanya ... kalian tim siapa? Coba acungkan tangan!
1. Tim Zhorif
2. Tim Agam
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
"Tante..."
Hulya yang kala itu tengah sibuk mencicipi bubur ayam buatannya sendiri sontak menoleh dan menemukan Zhara yang telah bercucuran air mata. Wanita itu membulatkan matanya kaget dan menghampiri Zhara untuk memeriksa apa yang telah terjadi pada gadis itu. Apakah tangannya teriris ketika berusaha mengupas bawang bombay?
"Mataku perih, Tante..." rengeknya frustrasi karena tidak mampu menghapus air mata setelah menyentuh bawang bombay. Melihat itu, Hulya pun buru-buru meraih tisu kering dan menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu. "Tante, maafin aku. Aku nggak tau kenapa bawangnya jadi kayak gini. Padahal, aku udah ngupas kulitnya sesuai dengan instruksi Tante," cicitnya merasa bersalah.
Hulya pun refleks terkekeh geli ketika melihat karya calon menantunya. Bawang bombay yang awalnya penuh dan bulat, kini telah berubah wujud jadi tak karuan. "Ya ampun, Nak. Kamu ngapain ngupas sampai ke daging-dagingnya? Kulitnya itu yang tipis warna cokelat, Sayang..."
"Hah?" Mata Zhara yang berair langsung terbelalak, kemudian bibirnya kembali mengerut ke bawah dan bergetar, menunjukkan bahwa sang pemiliknya hendak menangis kembali. "Tante maaf ... aku bukannya ngebantu, malah ngacauin masakan Tante." Karena malu, Zhara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang masih belum dibilas dengan air bersih. Alhasil, kedua matanya kembali terasa panas. "Aduh!" Zhara refleks melompat-lompat kecil, tak kuasa menahan rasa perih pada anggota tubuhnya itu.
"Papa!"
"Zhorif!"
Hulya ikut merasa panik ketika melihat Zhara yang terlihat begitu kesakitan hingga menangis kuat. Ia bahkan tidak kepikiran untuk membantu gadis itu membilas wajahnya dengan air. Yang ia pikirkan hanyalah meminta bantuan kepada dua orang dokter yang tinggal di rumah tersebut.
Zhorif yang lebih dulu mendengar teriakan sang ibu, segera menuruni tangga dengan langkah terburu-buru hingha hampir saja terpeleset jika ia tidak dapat kembali menyeimbangkan tubuhnya dengan baik.
"Kenapa, Ma?!" seru pria itu menatap Hulya khawatir.
"Bantuin Zhara, matanya perih karena ngupas bawang bombay!" suruh Hulya sembari ikut melompat-lompat panik seperti yang Zhara lakukan.
Zhorif kian menyadari bahwa Zhara tengah menangis keras dengan kedua mata yang terpejam erat. Ia kemudian mendekati gadis itu, menyalakan keran wastafel untuk membuat air mengalir, sebelum membawa Zhara untuk sedikit membungkukan tubuhnya agar area mata gadis itu dapat dibilas.
"Masih perih?" tanya Zhorif usai membuat kulit wajah Zhara kebasahan. Zhara membalasnya dengan anggukkan kecil. Matanya juga masih terpejam erat seperti di awal. Zhorif melirik Hulya yang ternyata telah senyam-senyum sendiri. "Ma, tolong bawa Zhara duduk di sofa, aku mau siapin es batu untuk ngompres matanya," pintanya sopan yang membuat wanita paruh baya itu harus berhenti bermain dengan pikirannya sendiri dan segera membantu Zhara.
Sepergian Zhara dan Hulya dari dapur, Zhorif langsung menyiapkan sebuah plastik bersih, membuka pintu lemari es bagian atas, sebelum mengambil empat buah es batu untuk dimasukkannya ke dalam plastik. Ia kemudian mengisi plastik itu dengan sedikit air dan meminta Bi Nunung-asisten rumah tangga rumah tersebut-untuk membawakan baju kaos miliknya dari kamar atas.
Zhorif melapisi plastik berisikan kombinasi air dan es batu itu setelah mendapatkan kaosnya, kemudian melenggang pergi ke ruang tengah untuk menemui Zhara dan Hulya. Namun, sesampainya di sana, ia tak dapat menemukan Hulya, hanya Zhara seorang diri tengah duduk dengan tangan yang mengipas-ngipas wajahnya sendiri. Zhorif memanggil Bi Nunung untuk membantunya mengompres mata gadis itu, tetapi Bi Nunung berasalan ingin buang air besar. Alhasil, Zhorif mendudukkan dirinya tepat di sebelah Zhara.
"Mama kemana?" tanyanya seolah mengode pada Zhara yang masih memejamkan matanya untuk menyadari kehadiran pria itu.
"Tante bilang, dia dapet panggilan penting dari klien kerjanya," jawab Zhara jujur setelah merasa terkejut beberapa saat karena suara Zhorif yang terdengar begitu dekat.
"Hmm..." Pria itu berdehem gugup, sebelum berkata, "Saya mohon maaf sebelumnya." Tubuh Zhara menegang ketika suhu dingin menyentuh kulit area matanya secara tak terduga. "Suhu dingin bisa membantu meredakan rasa perih," jelas Zhorif yang membuat tubuh gadis itu rileks kembali.
Setelah mengompres kedua mata Zhara secata bergantian selama kurang-lebih lima menit. Zhorif pun bertanya, "Apa masih terasa perih?"
Zhara manggut-manggut dengan bibir yang mengerut ke bawah. Sejujurnya, ia hanya berakting saja. Soalnya, kalau tidak berbohong seperti ini, Zhorif mana mau duduk dan berbicara padanya dengan posisi sedekat ini.
"Apa sebaiknya kita batalkan saja rencana untuk mengukur gaun per-"
"Jangan!" Zhara refleks membuka matanya sembari menyerukan suara. Hal itu sontak membuat Zhorif terkejut sekaligus merasa dipermainkan. Ketika, pria itu baru saja hendak membuka mulutnya untuk mengomeli Zhara, niatnya langsung terhentikan karena gadis itu tiba-tiba mengecup pipi kanannya dan mengacir pergi setelah berkata, "Aku mandi dulu ya, Mas! Bye-bye!"
Zhorif menatap punggung Zhara yang menjauh dengan tubuh tegang membeku. Tangannya tergerak sendiri untuk menyentuh area bekas kecupan gadis itu, sebelum menggigit pipi bagian dalamnya gemas, berusaha mengontrol raut wajahnya agar tidak mengeluarkan sebuah senyuman.
Di sisi lain...
"Gimana, Pa? Udah Mama bilang 'kan, ada yang aneh dari anakmu itu! Setelah kemarin malam tiba-tiba membawa calon menantu kita untuk menginap di sini, sekarang dia malah senyam-senyum sendiri!" bisik Hulya pada Fachri yang rupanya telah diam-diam memerhatikan putra-putri mereka sejak tadi.
"Iya-iya..."
Fachri berucap pasrah sebelum mengeluarkan black card miliknya untuk dipinjamkan pada sang istri. Pasalnya, ia telah kalah dalam taruhan yang dibuat olehnya sendiri tadi malam, ketika keduanya melihat Zhorif membawa Zhara masuk ke dalam rumah.
*
*
*
"Selamat siang, Zhorif!" Sambutan ceria dari seorang perempuan cantik berusia 35 tahun itu membuat Zhara mendengus sebal seketika mereka memasuki butik hasil rekomendasi Hulya. "Udah lama banget nggak ket-" Ketika wanita itu hendak menyambut Zhorif dengan sebuah pelukkan, Zhara langsung membentenginya. Alhasil, wanita asing itu refleks memeluk tubuh mungil Zhara sebagai gantinya. "Nice to meet you." Karena sudah terlanjur, wanita itu mau tak mau menepuk punggung Zhara dengan sedikit segan.
Zhorif hanya bisa meringis merasa tak enakkan ketika melihat perempuan itu menatapnya dengan bertanya-tanya seolah meminta penjelasan dari perilaku Zhara terhadapnya.
"Jadi, kamu yang namanya Zhara?" Wanita itu berbasa-basi usai mengurai pelukan keduanya.
Zhara mengangguk dengan dagu terangkat penuh percaya diri. "Iya, aku calon istrinya Mas Zhorif," tekannya, sebelum menyelipkan salah satu tangannya di lengan Zhorif yang terbebas, secara tak terduga.
"Ohh..." Wanita itu mengulum senyum gelinya, kemudian mengulurkan tangan. "Aku Venus, kakak sepupu Zhorif dari pihak Ibu," balasnya, ikut menekan status, seperti yang Zhara lakukan sebelumnya.
"Kakak sepupu?!" Zhara terbelalak kaget, tangannya melemas hingga pelukkannya terhadap lengan Zhorif terlepas begitu saja.
Venus terkekeh geli dan menepuk bahu Zhara pelan. "Santai aja. Mantan Zhorif yang dulu juga pernah salah paham karena kedekatan kami. Lagipula, aku memang jarang kelihatan di acara keluarga besar karena terlalu lama menetap di Chicago."
Apa? Mantan?! Apakah telinga Zhara tak salah dengar? Pria seperti Zhorif pernah memiliki mantan?! Zhara sontak melirik Zhorif yang kian memalingkan pandangannya sembari mengusap-usap tengkuknya gugup.
Venus merangkul bahu Zhara dan membawa gadis itu untuk masuk menulusuri gedung butiknya lebih dalam, membiarkan Zhorif mengekori mereka dari belakang. "Mbak denger kamu masih SMA, ya? Kok, mau sih, nikah muda? Apalagi, nikahnya sama Om-Om kayak dia. Ih, kalau Mbak sih, ogah banget!" Wanita itu meringis jijik setelah melirik Zhorif yang sedang berpura-pura tak mendengar.
"Umur itu bukan suatu halangan, Mbak, yang terpenting aku cinta sama Mas Zhorif dan Mas Zhorif juga ci-" Zhara merapatkan bibirnya kembali. Bisa-bisanya, ia mengucapkan hal yang bahkan tak diketahui kebenarannya. "-intinya, selama kami bersama. Aku ngerasa jadi perempuan paling bahagia di dunia ini, deh!"
Venus terkekeh geli dan melirik Zhorif yang kian sok-sokan sibuk memilah gaun untuk Zhara. "Mbak heran, deh. Apa tipe pacar Zhorif emang suka berubah-ubah, ya? Sifatmu beda jauuhhh banget dari pacarnya yang dulu. Mbak sampai kaget tau!"
"P-pacar?" Zhara mengerjap-ngerjapkan matanya.
Venus mengangguk antusias. "Iya, pacar. Kalau nggak salah, namanya itu Ma-"
"Ini kayaknya bagus deh, Mbak!"
Seruan Zhorif dari belakang, membuat kedua perempuan itu refleks menoleh dan memerhatikan gaun yang kian dipegang dan sebenarnya dipilih asal oleh pria itu.
Venus menepuk-nepuk tangannya meriah. "Kamu bener, Rif! Ini tuh, emang desain gaun Mbak yang terbaru dan terpopuler. Transgender aja bisa keliatan cantik pakainya, apalagi calon istrimu."
Wanita itu mengerlingkan matanya menggoda pada Zhara, sebelum merampas gaun itu dari tangan Zhorif. Ia kemudian membawa gadis itu untuk masuk ke kamar pas, memakaikan gaun itu pada tubuh Zhara untuk melihat apakah kumpulan kain mewah itu benar-benar cocok dipakai olehnya atau tidak.
Sembari menunggu Zhara mengepas gaunnya, Zhorif memutuskan mendudukkan diri di sofa tunggu dan melihat-lihat lembaran majalah yang diisikan oleh beberapa gaya tuksedo untuk pengantin pria.
Tirai cokelat muda yang terlihat seperti milik tempat opera terbuka secara tak terduga, membuat Zhorif sedikit tersentak kaget, sebelum semakin merasa kaget ketika melihat apa yang telah dikenakan oleh Zhara saat ini.
"Mas, gimana?"
Zhara menyunggingkan senyumannya sebelum bergerak memutar untuk memamerkan gaun yang dipakai olehnya.
Rahang bawah Zhorif hampir saja jatuh ke bawah, jika Venus tidak segera menahannya. Wanita itu menghela napasnya lega, seolah tahu bahwa pria itu sangat terkagum-kagum akan kecantikkan calon istrinya di balik balutan gaun indah buatannya.
"Gimana, Rif? Kamu pasti bangga 'kan, udah milih dress yang tepat untuk Zhara?" tanya Venus dengan penuh percaya diri. Ia bahkan memposisikan kedua tangannya untuk bersedekap. Seolah belum puas memamerkan, Venus pun mendekati Zhara, jari telunjuknya ia sentuhkan pada belahan dada gadis itu yang sedikit terlihat efek celah pada gaunnya. "Bagian ini adalah poin utamanya. Kalau mau dibuat lebih mencolok lagi, Mbak bisa turunin sedikit kayak gini." Venus menarik gaun Zhara sedikit ke bawah hingga membuat belahan dada gadis itu semakin terlihat jelas.
"Mbak!" Zhorif berseru protes, sebelum memalingkan wajahnya karena merasa malu.
Venus mengangkat salah satu alisnya heran. "Lho, kenapa? Kok, masih malu-malu, sih? Bentar lagi 'kan, udah mau sah juga."
"Apa-apaan?! Nggak! Pokoknya, aku nggak akan milih gaun itu! Emangnya, Mbak pikir aku ikhlas bagi-bagi pemandangan sama tamu-tamu?!"
Dalam 29 tahun kehidupannya, ini adalah yang pertama kali bagi pria itu untuk bersikap pelit, tidak ingin membagikan miliknya dengan orang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top