Bab 26 - Meyakinkan Diri
💌 : saya harap bab ini bisa membantu kalian mengenali Islam lebih mendalam, dan saya mohon-semohon-mohonnya kalau sampai ada kata yang salah, tolong diperbaiki, ya 🙏
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
"Mas..."
"Kenapa lagi?"
Nada bicara Zhorif terdengar jengkel. Tak terhitung sudah berapa kali Zhara merengek pegal pada area tangan kanannya. Bagaimana tidak merengek? Sejak kejadian dimana Zhara tertangkap basah sedang bolos sekolah, Zhorif langsung menjatuhinya sebuah hukuman yang tak terduga, yaitu dengan menyuruhnya menulis kalimat 'Saya berjanji tidak akan bolos sekolah lagi' di tiga lembar kertas ukuran A4, bolak-balik pula.
Sebenarnya, pada awalnya, Zhorif tidak berniat untuk memerlakukan Zhara sekejam itu. Namun, karena beberapa waktu lalu, gadis itu sempat keras kepala, menantangnya, dan bahkan berniat kekeuh ingin tetap melarikan diri, meski ia telah mengancamnya, Zhorif mau tak mau harus menambah hukumannya.
Ah, ya. Saat ini keduanya sedang berada di dalam mobil Zhorif yang terparkir di basement mall. Aufa dan Jhesen memilih untuk mengkhianati Zhara dan meninggalkan gadis itu sendirian ketika Zhorif berhasil manangkap dan mencekal tangannya setelah aksi kejar-kejaran di lantai 1, sedangkan Maudy memutuskan untuk pulang sendiri karena tidak ingin mengganggu keduanya.
"Mas, tapi aku 'kan, nggak sepenuhnya salaahhh ... Mas Zhorif nggak adil tau! Aufa sama Jhesen 'kan, juga ikut bolos, tapi kenapa cuma aku yang dapet hukuman?!" protes gadis itu.
"Karena saya nikahnya cuma sama kamu ... bukan dengan Aufa, Jhesen, ataupun Agam," jawab Zhorif sembari pura-pura menyibukkan dirinya dengan ponsel.
"Ih, kok, bawa-bawa nama Agam? Dia 'kan, nggak ikutan bolos! Agam bahkan nggak pergi sekolah hari ini," sahut Zhara merasa tak terima temannya yang satu itu ikut disalahkan.
"Ohh..."
Zhara memberengut karena balasan tak acuh yang diberikan Zhorif padanya. Ia kemudian menyerahkan tiga lembar kertas yang telah dipenuhi oleh tulisannya itu kepada Zhorif dengan tangan yang letoy. "Udah nih, Mas."
Zhorif mematikan ponselnya, kemudian menerima lembaran kertas itu, memerhatikannya dengan saksama, takut-takut jika Zhara menipunya. "Bagus," pujinya setelah yakin bahwa tidak ada yang dengan tulisan gadis itu.
"Mas mau bawa aku kemana?!" tanya Zhara panik ketika Zhorif menyalakan mesin mobilnya. Pikirannya langsung tertuju pada Mia dan Burhan. Akankah Zhorif memulangkannya ke rumah dan mengadukannya kepada kedua orangtuanya? Kalau itu sampai terjadi, Zhara mungkin akan mengalami kesengsaraan selama satu minggu karena uang jajannya akan dipotong dua puluh persen.
Zhorif menaikkan salah satu alisnya, merasa keheranan dengan Zhara yang tiba-tiba terduduk tegang di kursinya. "Ke tempat yang seharusnya," jawabnya yang membuat gadis itu sontak menelan ludahnya gugup.
*
*
*
"Lho, kok, berhenti di sini?"
Zhara langsung melempar tatapan kebingungan pada Zhorif. Pasalnya, saat ini, mobil Zhorif terhenti tepat di tempat parkir sekolahnya, bukan rumah keluarganya.
Zhorif melepaskan safetybelt yang ia kenakan lebih dulu, sebelum membantu yang Zhara juga. "Memangnya kemana lagi saya mau membawa kamu?" balasnya malah balik bertanya. "Ayo, turun," ajaknya, sebelum membuka pintu mobilnya sendiri dan turun. Zhorif menghela napasnya ketika melihat Zhara yang masih diam terduduk di kursi. Oleh karena itu, ia mengitari mobilnya dan membukakan pintu untuk gadis itu.
"Mas Zhorif ngapain ikut turun? Aku bisa balik ke kelas sendiri, kok. Lagipula, bukannya Mas banyak kerjaan di rumah sakit?"
Zhara meringis kecil dan refleks memejamkan kedua matanya ketika Zhorif menyentil dahinya gemas. Pria itu bersedekap, sebelum berkata, "Kamu pikir saya semudah itu untuk dibohongi?" Zhorif tiba-tiba memeriksa arlojinya. "Saya punya sesuatu yang harus saya urus di sini."
Zhara menghela napasnya pasrah ketika Zhorif membawanya pergi ke ruang kepala sekolah. Ia juga sudah menyiapkan mentalnya sebelum mendapatkan hukuman yang kedua dari Pak Suwarto, si kepala sekolah. Biasanya sih, berupa membersihkan toilet perempuan. Untungnya, Zhara selalu membawa dompetnya kemana-mana. Jadi, ia tinggal mengupah Pak Ali—tukang bersih-bersih sekolah—seperti biasa.
Bugh!
"Aduh, Mas!"
Zhara meringis kesakitan ketika dahinya menabrak punggung lebar Zhorif, akibat pria itu berhenti secara tiba-tiba. Ralat. Sebenarnya, Zhorif tidak berhenti tiba-tiba, ia berhenti karena mereka sudah sampai tepat di depan pintu ruangan kepala sekolah, Zhara-nya saja yang sejak tadi tidak memerhatikan sekitar.
Tok, tok, tok!
"Masuk!"
Suara Pak Suwarto yang berat dan lantang membuat ketakutan serta keraguan Zhara semakin menjadi. Namun, ia pikir, karena Zhorif tengah bersamanya, seharusnya Pak Suwarto tidak akan memarahinya dengan begitu keras.
Cklek!
"Siang, Pak," sapa Zhorif dengan senyuman simpul, tidak mengucap salam karena Pak Suwarto sendiri bukan—lah seorang muslim.
"Sia—Lho, Nak Zhorif?! Bukannya, kamu janji dengan saya datang sore ini?" Zhara tampak sama terkejutnya dengan Pak Suwarto. Namun, bukan karena alasan yang sama. Ia terkejut karena rupanya, Zhorif dan kepala sekolahnya saling mengenal.
"Maaf, Pak. Saya datang ke sini karena sekalian mau mengantar Zhara," jelas Zhorif dengan nada lembut nan sopan.
Pak Suwarto melirik Zhara yang berdiri tepat di sebelah Zhorif dengan kepala yang tertunduk, ketakutan untuk menatap pria paruh baya itu. "Oh, begitu ... silakan duduk Nak Zhorif," ujarnya seraya menarik dua kursi tamu untuk diduduki oleh Zhorif dan Zhara. "Kalau boleh saya tahu, apa Nak Zhorif dan Zhara adalah kakak-beradik?" tanyanya segera setelah mereka duduk.
Zhara menatap Zhorif dengan jemaei-jemari yang bermain gugup di atas pahanya sendiri. Entah mengapa, ia merasa sangat ingin untuk Zhorif mengakuinya sebagai calon istri, meski itu akan terdengar gila.
"Kami akan menikah, Pak."
Zhara refleks terbelalak kaget karena permohonannya langsung dikabulkan begitu saja.
"Me—menikah?" Pak Suwarto tergagap saking kagetnya. Namun, Zhorif dengan penuh keyakinan, menganggukkan kepalanya mantap. "S—saya pikir, Nak Zhorif datang kemari untuk melakukan donasi beasiswa murid dan renovasi bangunan sekolah seperti biasanya,"
Zhorif kembali tersenyum simpul, sebelum menggelengkan kepala. "Masalah itu bisa dibicarakan nanti, Pak ... tidak perlu dikhawatirkan."
"Lalu, apa yang Nak Zhorif harapkan dari saya setelah menceritakan hal ini?" Pak Suwarto tampak kebingungan. "Apakah sebuah ucapan selamat?"
"Saya butuh izin dari pihak sekolah, karena setelah menikah, saya tetap ingin Zhara melanjutkan sekolahnya di sini hingga tamat dan mendapatkan universitas. Saya yakin Bapak bisa membantu saya untuk masalah ini. Iya, 'kan?" Zhorif menaikkan salah satu alisnya. Ia tahu, ia mungkin terlihat sedang memanfaatkan posisinya sebagai donatur terbesar sekolah itu. Namun, ia mau bagaimana lagi?
Pak Suwarto mengusap dagunya, tampak berpikir keras. "Hmm ... begini, Nak, untuk menikah, saya pikir itu bukan suatu pelanggaran, karena sebelumnya, sekolah juga tidak pernah membuat aturan muridnya tidak boleh menikah, tapi ... ada baiknya, masalah kehamilan—"
"—saya mengerti, Pak," potong Zhorif cepat dengan kulit wajah yang merona malu.
Pak Suwarto meringis merasa tak enak hati. "Maaf, Nak. Saya bukannya ingin melarang atau ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian, tapi kalau sampai murid lain tau bahwa salah satu temannya ada yang hamil, gosip-gosip yang tidak mendasar mungkin akan segera menyebar. Kamu tau 'kan, bagaimana pedasnya mulut anak-anak SMA zaman sekarang?"
Zhorif mengangguk-anggukkan kepalanya. "Saya tidak merasa keberatan, Pak." Pria itu kemudian menyodorkan sebuah amplop yang isinya berupa tulisan tangan Zhara yang tadi. "Ini, Pak..."
Pak Suwarto terbelalak kaget, langsung berprasangka bahwa amplop itu telah diisi oleh lembaran uang sebagai ucapan terima kasih. "Saya tidak bisa menerimanya, Nak ... lebih baik uang ini kamu tabung sendiri saja," tolaknya tanpa ragu.
"Saya sudah memberi Zhara hukuman yang pantas demi membayar kesalahannya hari ini, Pak. Jadi, saya pikir, Bapak tidak perlu repot-repot menghukumnya lagi," jelas Zhorif yang membuat Pak Suwarto sontak membuka amplopnya, membaca tiga lembar kertas yang berisikan kalimat konstan.
Setelah menyelesaikan percakapan cukup panjang mereka, Zhorif memutuskan untuk undur diri dengan alasan masih memiliki urusan lain di sekitar sini. Sebelum pergi, ia sempat mengantar Zhara ke depan kelasnya lebih dulu hingga membuat para murid sontak heboh melihat ketampanannya, tak jauh berbeda dengan Agam langsung terbangun dari tidurnya hanya untuk melihat kedua orang yang sangat dikenalinya sedang bersama.
"Mas, apa aku boleh telpon Mas sebelum tidur malam ini?" tanya Zhara ketika Zhorif baru saja hendak beranjak pergi.
Zhorif mengerutkan dahinya, berpura-pura tampak berpikir keras, sebelum berkata, "Boleh, kalau saya dapat laporan baik tentang kamu dari Bu Mitha."
Pria itu buru-buru memutar tubuhnya, membelakangi gadis itu karena tak dapat menahan senyumannya ketika Zhara mengangguk patuh dengan begitu mudah.
Sepergian Zhorif dari gerbang sekolah SMA Tanjung Pelita, pria itu dengan hati-hati menyebrangi jalan raya menuju ke sebuah bangunan masjid bernama Baiturrahman, tempat dimana dirinya dan Zhara pertama kali bertemu.
Ketika masuk ke dalam, ia langsung disambut oleh seorang pria tua yang tengah duduk di sajadah sembari berzikir menggunakan tasbih.
"Assalamu'alaikum, Ustaz Adjie..." Zhorif tersenyum lebar, mengambil duduk tepat di sebelah pria itu dan mencium punggung tangannya ketika disodorkan.
"Wa'alaikumsalam, Nak Zhorif. Sudah lama tidak kemari, pasti sedang sibuk-sibuknya bekerja di rumah sakit, ya?" tebak pria tua yang dulunya sempat pernah menjadi salah satu pasien di rumah sakit Wira Atmadja, meski bukan Zhorif sendiri—lah yang menanganinya.
"Iya, Ustaz, tapi alhamdulillah, saya selalu menyempatkan waktu untuk menunaikan salat."
Ustaz Adjie tersenyum lega mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Zhorif, sosok pria muda taat agama yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. "Katakan—lah, Nak ... sesungguhnya, saya sudah terlalu mengenalimu, bahkan mungkin lebih baik daripada siapapun " Pria baya itu tersenyum, "Ada sesuatu yang membuat hatimu gundah, bukan?" tebaknya tepat sasaran.
Zhorif menganggukkan kepalanya jujur. "Saya akan segera menikah, jika Allah SWT. mengizinkan, Ustaz, tapi ... pernikahan ini awalnya didasari oleh suatu perjodohan, bukan kemauan dari diri saya sendiri," terangnya secara terperinci dan singkat.
"Sesungguhnya, pernikahan hukumnya wajib bagi seseorang yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial. Pernikahan juga bisa menghindarkanmu dari perbuatan zina, dan saya yakin bahwa Nak Zhorif sudah tahu akan hal itu...."
"...perjodohan hanya—lah suatu jalur yang Allah SWT. berikan padamu, Nak, jika kamu merasa dia adalah orang yang tepat, mengapa kamu harus menunda untuk menyempurnakan separuh agamamu?"
"Tapi bagaimana saya tau bahwa perempuan ini adalah perempuan yang tepat untuk saya?" tanya Zhorif masih merasa tidak puas akan penjelasan yang telah diberikan oleh Ustaz Adjie.
Ustaz Adjie tak kuasa menahan tawa gelinya, seolah dapat merasakan kekhawatiran tak jelas yang tengah dirasakan oleh Zhorif saat ini. Oleh karena itu, ia menepuk bahu Zhorif dan berkata, "Rasulullah SAW. pernah ditanyai pertanyaan yang persis seperti yang kamu tanyakan kepada saya saat ini, Nak ... dan ia menjawab, perempuan terbaik adalah yang ketika kamu melihatnya, kamu merasa bahagia."
Di detik itu, Zhorif langsung menganggukkan paham, membulatkan tekadnya dan menyingkirkan segala keraguan dan kegundahan yang selama ini membebani hatinya. Pokoknya, apapun yang terjadi, ia akan menikahi Zhara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top