Bab 23 - Dilamar Beneran

💌 : ini bab spesial yang akan membuat kalian kembali oleng, dari Agam kembali ke Zhorif seperti sedia kala.

Selamat membaca!

& 💬

"Abang tau kamu dan Zhara sudah saling mengenal sejak lama, tapi karena sekarang kamu udah tau semuanya ... Abang harap kamu bisa menjaga perasaan Abang dengan baik. Tolong berlakulah sebatas wajarnya seorang teman, jangan berlebihan."

Agam menatap Zhara yang menggigit bibir bawahnya gugup. Ia tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini. Zhara pasti dilanda rasa bersalah karena telah merahasiakan hal sepenting ini darinya, dan perasaan tak enak itu akan semakin menjadi bila Agam memutuskan untuk melenggang pergi begitu saja. Namun, Agam lagi tak dapat berpikir jernih, ia menolak untuk mengasihani perasaan Zhara di saat keadaan dirinya pun sedang kacau. Maka dari itu, ia memutuskan untuk segera pergi tanpa berkata apa-apa.

"Agam!"

Ketika motor besar itu mulai berjalan menjauh dari perkarangan rumah, Zhara mulai berteriak memanggil nama Agam dan hendak mengejarnya, tetapi Zhorif menahannya dengan cara menggenggam tangannya erat.

"Mas ... Agam, di-dia pasti marah banget sama aku." Tangisan Zhara pecah seiring cara bicaranya yang terbata-bata.

Zhorif melepas genggamannya terhadap tangan Zhara, kemudian memindahkan tangannya pada bahu gadis itu sembari berkata, "Biar saya yang bicara sama dia," ujarnya menjeda, "sekarang ada urusan yang lebih penting."

Meski masih menangis, Zhara tetap mengerutkan dahinya tak mengerti dengan ucapan pria itu sampai pada akhirnya Zhorif mengode lewat tatapan mata agar Zhara segera menoleh ke belakang. Zhara menurut, memutar tubuhnya, dan langsung mendapati keberadaan Hulya, Mia, Burhan, dan Fachri yang diam-diam telah mengintip sekaligus menguping pembicaraan mereka sejak tadi.

Hulya melotot dan mengibarkan bendera perangnya terhadap Zhorif. Ia keluar dari tempat persembunyiannya, yaitu balik pintu, dengan salah satu tangan di pinggang dan satunya lagi menunjuk ke arah putranya. "Kamu barusan ngelamar Zhara kayak gitu tanpa paksaan dari Mama, lho! Sekarang kamu harus tanggung jawab sama ucapanmu sendiri dan jelasin ke Mia dan Burhan, kenapa Zhara bisa sampai menginap di apartemen kamu semalem?!"

Zhorif menghela napasnya, sebelum menganggukkan kepalanya, dan memasuki rumah penghakiman yang terasa seolah neraka baginya dengan berserah diri pada Allah SWT.

*

*

*

"Mama mau aku klarifikasi gimana lagi? Aku 'kan, udah jelasin semuanya ke Mama, Papa, Om, dan Tante, kalau aku dan Zhara nggak melakukan apa-apa selama di apartemen. Kalian bisa tanya sendiri sama Jojo, Jeje, dan Arsen, karena mereka juga ada di sana."

Hulya menggeleng-gelengkan kepalanya masih tak percaya. "Kalau kamu memang nggak ngapa-ngapain Zhara, kamu mana mungkin mau dinikahin secara cuma-cuma. Ngaku aja, deh! Kamu pasti udah ngelakuin sesuatu yang enggak-enggak 'kan, dan sekarang merasa bersalah, terus pengen tanggung jawab?!"

"Astagfirullah, Ma ... harus aku bilang berapa kali, sih? Aku nggak ngapa-ngapain Zhara. Mama bisa tanya sendiri ke Zha—" Bibir Zhorif merapat seiring dirinya hampir saja menyebutkan nama gadis itu. Pasalnya, ia masih trauma akan kejadian lalu, saat dimana Zhara malah mengiyakan tuduhan Hulya dan Fachri soal pakaiannya yang terbuka di rumah sakit yang sebenarnya disebabkan oleh alergi mangga.

Salah satu alis Fachri terangkat. Pria paruh baya yang biasanya banyak diam dan tak ikut campur perihal masalah perjodohan putranya itu pun kian merasakan adanya keanehan pada tingkah laku Zhorif. "Kenapa tiba-tiba diam? Kamu takut Zhara bakal ngungkap perlakuan kamu yang sebenarnya?"

Zhorif menatap sang ayah dengan raut wajah super terkejut. Pasalnya, ini yang pertama kali baginya, tak dipercayai oleh pria itu. Fachri terlihat seolah lebih memihak Hulya daripada dirinya, dan ia sangat tidak terbiasa akan hal itu.

Untuk yang ke sekian kalinya Zhorif kembali beristigfar dan menggelengkan kepala. "Aku udah bicara yang sejujur-jujurnya sama kalian. Mau percaya ataupun enggak, itu pilihan," ujarnya merasa frustrasi untuk kembali meyakinkan kedua orang tuanya sendiri.

"Hm..." Zhara yang sejak tadi hanya diam dan menyimak, pada akhirnya membuka suara karena tak tega dengan Zhorif yang terlihat masih sangat ingin menolak perjodohan yang terjadi di antara keduanya. "Om, Tante, Mi, Pi ... Mas Zhorif nggak bohong, kok. Aku bisa tidur di sana karena aku sendiri yang minta, aku takut tidur sendirian di rumah karena Mbok pulang kampung, dan aku juga nggak bisa nginep di rumah Bang Vino karena temen-temen cowoknya juga lagi nginep di sana," terang Zhara jujur yang membuat Zhorif sedikit terkejut mendengarnya.

"Tapi kamu 'kan, bisa menginap di rumah Agam, Nak. Bukankah biasanya selalu seperti itu?" tanya Mia, membuka suara.

Zhorif yang mendengar nama Agam kian dibawa-bawa pun sontak menggerakkan bola matanya untuk melirik Zhara, menanti jawaban apa yang selanjutnya akan gadis itu berikan.

"Mas Zhorif udah nganter aku ke sana, kok, tapi aku yang nolak dan bersikeras nggak mau pisah dari dia. Aku juga ngancem Mas Zhorif, biar dia nggak nolak permintaan aku, Mi..."

Yang dilakukan oleh gadis itu sukses membuat Zhorif diserang rasa kejut yang bertubi-tubi. Pasalnya, Zhorif ingat sekali bahwa ia tidak pernah merasa diancam, dan ia sendirilah yang menawarkan Zhara untuk menginap di tempatnya malam itu. Zhara berbohong pada kedua orang tuanya, dan memanipulasi cerita itu dengan alasan yang tak bisa ia mengerti.

Zhara tiba-tiba menundukkan kepalanya, dan berkata, "Aku tau kalian berpikir negatif kayak gini karena kejadian di rumah sakit waktu itu, tapi aku berani bersumpah, kalau apa yang aku ucapin waktu itu, semuanya bohong," ujarnya menjeda, "Mas Zhorif nggak pernah mencoba untuk melecehkan aku, Mi, Pi..."

Zhara kemudian melepaskan cincin tunangan yang tersemat di jari manisnya, lalu meletakkan benda mungil itu di atas meja. "Maaf Tante, Om ... aku nggak bisa ngikutin rencana yang kalian susun sampai selesai. Aku nggak mau ngebuat Mas Zhorif tersiksa ataupun terpaksa karena harus menikah sama aku."

Mata Hulya mulai berkaca-kaca seolah ikut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh gadis itu. Berusaha melepas, meski sebenarnya tidak ingin. "Tapi Nak—"

"Tante tenang aja. Aku itu udah biasa jatuh cinta secara sepihak. Aku juga orang yang mudah move on, kok. Buktinya, sebelum suka sama Mas Zhorif, aku juga pernah suka sama Agam, ponakan Tante. Jadi, Tante jangan khawatir sama aku, aku bakalan baik-baik aja. Hehehe..." Zhara berusaha mengeluarkan tawanya meski sebenarnya ia ingin sekali menangis.

"Tapi gimana nanti kalau sampai Tante kangen sama Zhara? Kamu 'kan, udah nggak jadi calon mantu Tante." Hulya terisak sembari menutupi wajahnya, malu karena kadar cengengnya yang lemah dilihat oleh Mia dan Burhan.

"Ih, Tante jangan nangisssss ... kalau Tante kangen 'kan, Tante bisa jengukin aku ke sini, atau nggak, aku nikahin Agam aja deh, biar masih bisa satu keluargaan sama Tante Hulya. Hehehe..."

Mendengar candaan yang keluar dari bibir Zhara membuat Zhorif merasa tak terima dan langsung bangkit dari posisinya hingga membuat orang-orang di sana refleks menatapnya keherenan.

"Kamu ngapain berdiri begitu, Rif?" tanya Fachri.

Zhorif mengepalkan kedua tangannya, menarik napasnya dalam-dalam dengan mata kembar yang terpejam sebelum berkata lantang, "Aku mau buat pengakuan Om, Tante, Pa, dan Mama..." ujarnya memberi jeda sesaat, "apapun yang terjadi, aku dan Zhara harus segera dinikahkan!"

"HAH?!"

"Soalnya, kami berdua udah beberapa kali melakukan zina tanpa sepengetahuan kalian."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top