Bab 22 - Efek Cemburu Buta

💌 : bab ini nggak ada ingredient bobroknya si Zhara, karena saya buat spesial untuk Zhorif dan Agam. Btw, saya baru sadar kalau cerita ini udah mencapai bab 20-an, tapi Zhorif dan Zhara belum nikah-nikah juga, pantesan aja jadi banyak yang nagih kapan mereka nikahnya 😅

Selamat membaca!

& 💬

"Sampai kapan kamu mau pura-pura tidur?"

Zhara perlahan membuka matanya dan melihat Zhorif yang sudah memandangnya, menunggu gadis itu untuk mengakhiri aktingnya. Pasalnya, mobil yang mereka naiki bersama kini sudah berhenti tepat di depan rumah Zhara. Zhorif sengaja segera memulangkan Zhara sepulang kerja ke rumah, setelah gadis itu secara tak sengaja keceplosan berkata bahwa sang pembantu rumah tangganya hari ini telah kembali dari dusun.

"Mas, emangnya aku nggak boleh nginep di apartemen satu hari lagi, ya? Aku nggak mau pisah dari Mas Zhorif..." Zhara memandang Zhorif dengan puppy eyes, berharap hal itu akan membuat Zhorif luluh.

Namun, Zhorif tidak menjawab dan malah menekan tombol membuka pintu, lalu membantu Zhara untuk melepas safety belt yang dikenakannya. "Saya sudah menuruti semua kemauan kamu hari ini, jadi sekarang giliran kamu," ujarnya.

"Emang Mas maunya aku ngapain?" tanya Zhara yang tidak kunjung juga mengerti.

"Turun dari mobil saya, masuk ke rumah, mandi, dan tidur," jelas Zhorif rinci.

Zhara mengerucutkan bibirnya sebelum mendesah kecewa. "Yaudah, deh ... kalau gitu Mas hati-hati ya, nyetirnya, jangan sampai oleng gara-gara kangen sama aku."

Karena tak ingin ambil pusing, Zhorif pun memutuskan untuk asal menganggukkan kepala.

Zhara pun turun dengan langkah yang berat, melambai-lambaikan tangannya ke arah Zhorif dengan memasang wajah sedih, berharap hal itu mungkin bisa membuat Zhorif merasa tak tega dengannya.

Sayangnya karena sudah banyak termakan oleh kelicikan gadis itu, Zhorif kian memiliki perangai yang semakin kuat, bahkan niatnya untuk segera menginjak gas dan meninggalkan perkarangan rumah Zhara sudah terkumpul sempurna. Namun, sebelum hal itu sempat terjadi, matanya menangkap suatu benda familiar terparkir di luar garasi rumah Zhara. Itu adalah sebuah motor macan biasa, tetapi warna dan plat motor tersebut terlihat persis seperti motor yang pernah Zhorif belikan untuk Agam, adik sepupunya, ketika berulang tahun setahun yang lalu.

"Zhara!"

Teriakan itu membuat perhatian Zhorif teralihkan. Kini, ia melihat Agam yang baru saja keluar dari rumah gadis itu dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

"Lho, Agam? Kamu ngapain di sini?"

Zhara tampak kaget akan kehadiran Agam yang terlalu tiba-tiba, sedangkan tak jauh dari sana, Zhorif menurunkan jendela kaca mobilnya agar dapat mendengar—aka menguping—pembicaraan keduanya.

"Lo darimana aja?!" Agam mendekati Zhara, meletakkan kedua tangannya tepat di bahu gadis itu sebelum mengguncangnya cukup kuat. "Lo tau nggak, BoNyok lo dan gue udah keliling kemana-mana nyariin elo dari semalem?!" Bentakan Agam membuat Zhara tersentak kaget dan hanya bisa membisu, berusaha mencerna ucapan pria itu secara perlahan.

"Mami, Papi ... bukannya mereka berangkat ke luar kota?" cicit Zhara sembari menatap Agam takut-takut karena pria itu terlihat sangat marah padanya.

Agam menghela napasnya dalam-dalam, berusaha menetralisir emosinya yang sudah tak terkendalikan. "Mereka langsung pesen tiket pulang pas tau lo nggak sama gue," jelasnya dengan sedikit terengah-engah, "lo ... lo tidur dimana semalem? Gue udah telpon Bang Vino, Jhesen, dan Aufa, tapi nggak satupun dari mereka tau lo ada dimana!"

"A—aku..."

Zhara memainkan jemarinya dengan kepala yang tertunduk karena merasa tersudutkan. Saat ini ia tidak bisa menjawab pertanyaan Agam dengan jujur karena sudah terlanjur berjanji pada Aufa dan Jhesen untuk tidak memberitahukan pria itu perihal hubungannya dengan Zhorif.

"Kapan sih, lo bisa hilangin kebiasaan buruk lo untuk nggak ngebuat orang-orang di sekitar lo ngerasa khawatir?" Agam mendesah dan mengacak rambutnya frustrasi. "Ra?!" Pria itu kembali membentak Zhara yang hanya membisu dengan mata yang kian berkaca-kaca menahan tangis.

"A—aku nggak mau jadi beban bagi kamu! Bukannya, selama ini kamu selalu bilang kalau aku manusia yang paling ngerepotin? Sekarang aku lagi berusaha untuk hidup mandiri, nggak nyusahin kamu atau Aufa dan Jhesen lagi, tapi kenapa malah kamu—"

Zhara terbelalak kaget ketika Agam tiba-tiba menariknya untuk masuk ke dalam dekapan pria itu. Tinggi Zhara yang hanya mencapai dada bidang Agam, membuatnya dapat mendengar jelas betapa kencangnya debaran jantung pria itu. "Lo bisa denger suaranya, 'kan?" tanyanya yang mengarah pada kuat detakkan jantung itu. Zhara pun menjawabnya dengan sebuah anggukkan kecil. "Gue buruk dalam mengeskpresikan perasaan dan memilih kata-kata, Ra, tapi gue harap lo ngerti kalau saat ini gue bener-bener khawatir sama lo..."

Zhara kembali menganggukkan kepalanya, kemudian bergerak gelisah dalam dekapan Agam, dengan maksud, agar pria itu segera melepaskannya. Namun, yang terjadi tidak sesuai dengan perkiraannya, Agam malah semakin mempererat pelukkannya.

Tin!

Bunyi klakson mobil yang keras membuat Agam terkejut dan refleks melonggarkan pelukkannya terhadap Zhara, dan tepat di detik itu juga, Zhara mengambil kesempatan untuk segera membebaskan dirinya.

Merasa penasaran dengan orang yang membantunya menglakson mobil dengan begitu keras di tengah malam, membuat Zhara pun tertarik untuk menolehkan kepalanya. Tubuhnya menegang begitu saja ketika matanya berhasil menangkap sosok Zhorif yang turun dari mobil dan berjalan mendekat ke arah mereka.

"Bang Zhorif?" Agam tampak kaget beberapa saat, sebelum melirik Zhara yang diam di tempat dengan ekspresi wajah yang tak dapat dijelaskan. "Jangan bilang..." Agam memang anak SMA, tetapi ia tidak memiliki kepribadian yang selugu Zhara. Otaknya bekerja dengan baik hingga membuatnya mendapat pemikiran yang seratus persen akurat bahwa hilangnya Zhara semalam, pasti memiliki sangkut paut dengan kehadiran Zhorif saat ini.

"Zhara nginep di tempat Abang semalem." Penjelasan jujur yang dilontarkan melalui bibir Zhorif membuat Zhara terbelalak kaget untuk yang ke sekian kalinya. "Abang tau kamu punya banyak pertanyaan di otakmu sekarang, tapi ceritanya terlalu panjang kalau mau dijelasin sekarang," Zhorif menjeda ucapannya sesaat, "singkatnya, Abang dan Zhara sudah bertunangan dan akan segera menikah dalam waktu dekat ini."

Agam terkekeh renyah setelah terdiam mencerna perkataan Zhorif cukup lama. "Lo bercanda, Bang? Lo tau 'kan, Zhara seumuran sama gue?" Agam kehilangan santunnya terhadap Zhorif begitu saja. Ini adalah yang pertama kalinya, ia menggunakan lo-gue terhadap sang kakak sepupu yang sejak dulu telah menjadi idolanya.

Zhorif menelan ludahnya susah payah, entah mengapa ia merasa ada yang aneh pada dirinya saat itu. Ada sesuatu yang menekan dan membebani hatinya ketika melihat Zhara dipeluk oleh pria lain hingga membuat pria itu terpaksa menegaskan hubungan yang ada di antara keduanya di depan Agam karena jika ingin jujur, Zhorif sebenarnya merasa terancam akan kehadiran adik sepupunya yang berperan sebagai salah satu teman dekat Zhara.

"Gimana bisa gue percaya sama omong kosong ini?" Agam melirih dengan perasaan yang tertohok, menatap Zhara yang malah terlihat fokus menatap Zhorif dengan pandangan itu. Pandangan yang sangat Agam kenali karena dulu, Zhara juga pernah memandangnya persis seperti itu. Tentu saja dulu, ketika gadis itu masih sangat menyukainya.

Zhorif mendekati Zhara, meraih tangan gadis itu sebelum merekatkan jemari mereka dengan lembut. "Abang harap ini udah cukup untuk ngebuat kamu percaya," ujarnya sembari mengangkat tangan Zhara yang digenggamnya, memperlihatkan cincin pemberiannya yang masih tersemat tepat di jari manis gadis itu.

"Abang tau kamu dan Zhara sudah saling mengenal sejak lama, tapi karena sekarang kamu udah tau semuanya ... Abang harap kamu bisa menjaga perasaan Abang dengan baik. Tolong berlakulah sebatas wajarnya seorang teman, jangan berlebihan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top