Bab 2 - Zhorif Juga Manusia

💌 : aktor Kim Seon Ho (Korea) akan mengambil peran sebagai Mas Zhorif-nya Zhara. Bagi yang kepo, ini fotonya (👇)

Selamat membaca!

& 💬

"Lo boleh minta apa aja, harga diri gue juga boleh, bahkan nyawa gue sekalipun, tapi maafin gue ya, Ra?"

Zhara menatap heran ketiga sahabatnya yang telah berlutut tepat di depan kakinya. Apa yang ketiga manusia itu lakukan tentu saja membuatnya cukup merasa terkejut dan malu, apalagi saat ini sedang berada di depan pintu masuk kelas.

"Kalian kenapa?" Zhara memutar kepalanya untuk menengok ke belakang. "Ngomong sama siapa, sih?" Zhara yang merasa aneh karena berdiri sendiri pun memutuskan untuk menekuk kakinya, kemudian ikut berlutut bersama dengan teman-temannya.

Sikapnya yang lugu itu membuat Aufa dan Jhesen sontak saling melempar tatap sejenak sebelum menarik Zhara untuk masuk ke dekapan mereka. "Terkadang otak bolot lo, bisa berguna juga, ya." Gumam Jhesen yang langsung disetujui oleh Aufa lewat anggukkan.

Agam yang melihat ketiga sahabatnya saling berpelukkan merasa sedikit terganggu, bukan karena iri tidak diajak, tetapi karena malu dilihat oleh teman-teman sekelas lainnya. "Kemarin lo kepergok sama guru?" Agam bertanya sembari menjambak rambut Jhesen dari belakang agar pria itu lekas menjauhkan diri dari Zhara dan Aufa.

Memutar ulang kejadian dimana ia pertama kali  bertemu dengan sang pujaan hati membuat Zhara tiba-tiba tak kuasa untuk menahan senyumannya sendiri. Ia berjalan dengan langkah riang menuju ke kursi, mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan Agam padanya. Tingkah anehnya itu berhasil membuat Agam, Aufa, dan Jhesen kebingungan.

Aufa mengulurkan punggung tangannya ke dahi Zhara untuk memeriksa kadar kesehatan gadis itu. "Sakit lo? Senyam-senyum sendiri?" tanyanya yang lebih mengarah ke sebuah sindiran.

Zhara menggelengkan kepala, kemudian menatap ketiga sahabatnya secara bergantian dengan mata yang berbinar. "Kemarin aku ketemu sama jodohku di masjid!"

"Hah?"

Aufa dan Jhesen kompak menoleh ke satu sama lain karena mengucapkan kata 'hah?' secara bersamaan.

Zhara tiba-tiba menepuk tangannya kegirangan, membuat perhatian para sahabat kembali menuju ke arahnya. Ia mulai menceritakan ulang kisah pertemuannya dengan Zhorif melalui perantara Bu Mitha. Ia bahkan juga tidak lupa untuk memamerkan nomor ponsel Zhorif yang berhasil ia dapat melalui metode pemaksaannya.

Setelah Zhara menamatkan dongengnya, Aufa dan Jhesen kompak menepuk-nepuk tangan mereka sembari berdecak kagum. "Heran sama diri gue sendiri," ujar Jhesen, "elo yang berbuat, tapi malah gue yang ngerasa malu." Tak lama dari itu, Jhesen mulai mengusap tengkuknya kikuk.

***

"Hachim!"

"Alhamdulillah."

Suara bersin Zhorif ketika hendak menegak segelas air putih mengundang perasaan khawatir sang ibunda. "Kamu sakit, Rif?" Hulya, ibu Zhorif, menggeleng-gelengkan kepalanya lelah. "Mama tuh, heran ya, sama kamu dan Papa kamu," Zhorif dan Fachri, ayahnya, saling melirik satu sama lain. "Mama harus bilang berapa kali sih, sampai kalian mau dengerin?" Delikan tajam sang istri membuat Fachri yang berpura-pura sibuk membaca koran pun langsung menghentikan kegiatannya. "Kesehatan pasien itu memang hal yang utama, tapi kalian juga harus ngerawat diri sendiri dong. Kalau semua dokter pada sakit, siapa yang bakal ngerawat pasien?"

Fachri menyenggol pelan kaki putranya dari bawah meja makan, meminta sang anak untuk mencari cara agar Hulya bisa berhenti mengomel. "'Kan, ada Mama yang bakal selalu ngerawat kami kalau sakit." Zhorif menghampiri Hulya dan memeluk tubuh wanita baya itu dengan manja.

"Jadi, menurut kamu, tugas seorang istri itu mengurus suami dan anaknya, 'kan?" Pertanyaan yang jawabannya sudah sangat jelas itu awalnya membuat Zhorif sedikit keheranan. Namun pada akhirnya, tetap menganggukkan kepala.

Setelah mendengar jawaban yang diberikan oleh sang putra, Hulya langsung tersenyum puas dan berkata, "Kalau gitu, kamu harus cepet-cepet nikah dong, biar istri kamu nanti bisa bantu Mama buat ngurusin kamu."

Zhorif menghela napas sembari menguraikan pelukkannya dari tubuh sang ibu. "Mama sengaja ya, mancing aku buat ngomong kayak tadi?" tanyanya yang lebih mengarah ke sebuah tuduhan.

Hulya terkekeh geli. "Mama nggak akan menyangkal," balasnya sembari mengendikkan bahu. "Oh, iya, Rif. Malam ini kamu luangkan waktu untuk pergi ke rumah teman Papa, ya?"

Zhorif melirik Fachri yang tiba-tiba tidak mau menatapnya. Tingkah sang ayah yang sangat mencurigakan itu membuat Zhorif merasa harus lebih waspada agar tidak terjebak ke lubang yang sama. "Atas dasar apa kita berkunjung ke sana?"

Hulya diam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan suatu hal yang pasti akan membuat Zhorif sangat terkejut. "Memperkenalkan kamu sama putrinya Om Burhan," cicit sang ibu yang semakin mengundang rasa curiga Zhorif.

"Memperkenalkan?" Salah satu alisnya terangkat sebelah. "Memperkenalkan atau menjodohkan?" tanyanya lagi, meralat yang sebelumnya.

Pertahanan Hulya hancur seketika. Dirinya sudah tidak memiliki alasan lain untuk menutup-nutupi kebenaran. "Ayolah, Nak," bujuknya sembari memeluk lengan Zhorif, "umurmu itu sudah hampir 30 tahun, sangat matang untuk menikah. Mama dan Papamu juga ingin segera menimang cucu. Tolong turuti permintaan Mama yang satu ini, ya?" pintanya penuh keseriusan.

Zhorif menghela napasnya. "Memangnya kapan aku pernah nggak nurutin permintaan Mama?" tanyanya dengan nada lelah. "Untuk kali ini aja, Ma ... izinkan aku untuk mencari dan memutuskan sendiri wanita yang akan kuajak beribadah selamanya." Pria itu menggenggam tangan Hulya untuk balas membujuknya.

Namun, menghadapi Hulya yang masih bertingkah tidak dewasa di usianya yang sudah menginjak 50 tahun bukanlah hal yang mudah. Buktinya, saat ini Hulya mulai mengeluarkan rengekannya, meminta pembelaan dari sang suami. "Pa, lihat anak semata wayangmu ini. Apa susahnya sih, menuruti kemauan Mama? Padahal, Mama sudah susah payah membujuk keluarga perempuan itu untuk mau mengenal putra kita, Pa..."

Untuk sekian menit Fachri dilanda kebingungan, hati kecilnya ingin membela Zhorif, tetapi ketakutannya akan amukkan sang istri berhasil mengurungkan niat itu. "Sudahlah, Rif ... memang apa salahnya menemui perempuan itu? Toh, niat kita juga baik."

Sebenarnya Zhorif ingin memperdebatkan hal tersebut lebih lanjut, tetapi setelah dipikir-pikir, alangkah baiknya jika ia tetap bungkam. Mengapa? Itu karena ia tidak cukup kuat untuk melawan kedua orang tuanya yang sudah berkeras kepala. Ia memijat pelipisnya yang pening. "Yaudah, terserah sama Mama dan Papa. Silakan atur jadwal makan malamnya dan kabarin aku," ujarnya, "aku pamit ke rumah sakit dulu, Pa, Ma. Assalammualaikum."

"Waalaikumussalam."

Pada akhirnya, Zhorif keluar dari dalam rumah Wira Atmadja dan pergi ke garasi untuk menggunakan mobilnya. Baru saja hendak menyalakan mesin mobil, pergerakkannya terpaksa berhenti karena ponselnya yang tiba-tiba saja berdering, bertanda bahwa ada panggilan masuk.

"Makan malam kita bersama keluarga Pak Burhan dimulai jam 19.00. Kamu jangan sampai lupa ya, Nak."

"Assalamualaikum, Ma."

"Eh? Waalaikumussalam. Kok, kita jadi ngucap salam terus, sih?"

"Tetap harus, Ma."

"Yaudah, deh. Pokoknya, sekali lagi Mama ingetin ya, sama kamu jangan sampai lupa acaranya, dan kalau bisa pulang ke rumah dulu biar berangkatnya bareng-bareng aja. Ngerti 'kan, maksud Mama?"

"Iya, iya..."

"Yaudah, Mama matiin, ya. Nggak usah pakai salam lagi, masa mau tiga kali ngucapinnya."

"Hm."

Ketika panggilan itu terputus, Zhorif langsung mengusap dadanya untuk menenangkan diri dari perasaan frustrasi yang melanda. Sikap ibunya yang terkadang berlebihan membuat Zhorif merasa tidak nyaman. Namun, tak dipungkiri bahwa ia juga dapat memahami perasaan sang ibunda yang pastinya kesepian di usianya yang tak lagi muda, lantaran suaminya yang masih sibuk bekerja sebagai seorang dokter senior.

Line!

Zhorif tersadar dari lamunannya, kemudian menatap layar ponselnya yang menyala dan menampakkan notifikasi pesan dari aplikasi Line dengan tulisan berupa 'Zharania added you as a friend.'

"Mas, addback aku, ya 😘"

Zhorif segera mematikan ponselnya tanpa berniat untuk membalas pesan tersebut lebih dulu. Pasalnya, ia tidak ingin suasana hati paginya semakin memburuk lantaran adanya gangguan dari sang ibu dan juga gadis SMA yang baru dikenalnya kemarin.

Drrttt ... drrrtttt ... drrrrttttt...

Zhorif kembali meraih ponselnya dan mengangkat panggilan, tetapi kali ini tanpa mengecek siapa orang yang telah menghubunginya.

"Assalamualaikum. Kenapa lagi, Ma? Aku lagi nyetir sekarang."

"Asyik! Senangnya dapet panggilan sayang dari calon suami. Waalaikumussalam juga Papa!"

Zhorif melotot terkejut. Ia refleks menatap layar ponselnya yang memaparkan nama Zhara di sana.

"Maaf, saya nggak bermaksud-"

"Nggak papa kok, Mas. Ngomong-ngomong ... Mas ada waktu, nggak? Ketemuan, yuk! Eh? Tapi bukannya Mas lagi nyetir, ya?"

"Iya, saya sedang menyetir."

"Yaudah deh, kalau gitu. Nanti lanjut lagi, ya. Hati-hati, Papa Sayang!"

Tit!

Zhorif meletakkan dahinya di stir mobil, kemudian membenturkannya dengan pelan sebanyak dua kali. Rasa malu dalam dirinya saat ini sudah tidak bisa tertahankan lagi.

Pria itu lekas menyudahi segala pikiran yang menyangkut dengan rasa malunya seiring kaki panjangnya melangkah teratur memasuki Rumah Sakit Wira Atmadja, sebuah rumah sakit swasta ternama di Jakarta yang mempekerjakan dokter-dokter muda dan profesional, salah satunya dia.

Ya, rumah sakit itu memang kepunyaan keluarganya. Ralat. Lebih tepatnya kepunyaan almarhum sang kakek yang dulunya menjabat sebagai direktur rumah sakit serta dokter spesialis bedah onkologi. Kini, posisi itu sedang ditempati oleh Fathur, kakak dari ayahnya, dan dalam tiga tahun ke depan akan diturunkan ke salah satu putra atau keponakkannya yang mana dirasa sudah pantas untuk menerima tanggung jawab besar tersebut.

"Selamat pagi, dr. Zhorif!" sapa para suster muda yang antusias setiap kali menyambut kedatangan pria tampan itu.

Zhorif membalas sapaan itu dengan sebuah senyuman dan anggukkan singkat, kemudian berjalan masuk ke ruangan konsultasinya dan bergegas memakai jas putih untuk bersiaga jika sampai ada pasien yang datang.

Baru saja hendak mendudukkan diri di kursi putar, sebuah ketukkan pada pintu ruangannya membuat pria itu sedikit tersentak kaget.

"Masuk," izinnya sembari mendudukkan diri kembali.

Seorang wanita cantik tersenyum ke arahnya dengan bibir yang dipoles oleh lipstik berwarna ungu kemerahan, melihatnya membuat bahu Zhorif langsung merosot ke bawah. "Kenapa lagi?" tanyanya pada wanita yang kerab kali datang ke ruangannya sembari mengaku-ngaku bahwa dirinya memiliki penyakit akut, padahal kenyataannya tidak.

"Dok, kayaknya kesehatanku bermasalah lagi, deh. Masa akhir-akhir ini tidur aku terganggu tiap kali ngebayangin wajah Pak Dokter?"

Zhorif menghela napasnya gusar, tangannya bergerak untuk membuka laci, dan mengeluarkan sebuah kertas resep yang bertuliskan saran agar wanita itu banyak-banyak bertaubat dan berhenti menghalusinasikannya.

"Kok, ini lagi?" Wanita itu mengernyit bingung ketika membaca resep yang sama seperti yang pernah diberikan Zhorif sebelumnya. "Aku nggak suka taubat, Dok, soalnya pahit. Ada resep lain, nggak?" tanyanya.

Zhorif menganggukkan kepalanya sembari menahan tawa geli. "Ada. Tunggu sebentar, ya ... obatnya sedang dalam perjalanan." Setelah berkata demikian, Zhorif langsung mengeluarkan ponselnya, menekan kontak salah satu dari keempat sahabatnya untuk meminta bantuan.

Cklek!

Zhorif tersenyum puas ketika melihat Arsen, teman semasa SMA sekaligus sahabatnya, masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

"Tumben lo nelpon gue, Rif," sindir Arsen menatap sahabatnya dengan alis yang saling bertaut. Pasalnya, Zhorif merupakan tipe orang yang jarang sekali meminta bantuan dari siapapun, termasuk teman-teman sekerjanya.

"Gue butuh bantuan," jelas Zhorif singkat tanpa basa-basi.

"Apaan?" tanya Arsen yang juga merupakan tipe orang yang tidak suka berbasa-basi.

"Adopsi pasien gue." Zhorif mengangkat dagunya, bermaksud untuk menunjuk wanita yang berpura-pura sakit tadi.

Arsen melirik calon pasiennya dengan tangan yang bersedekap, alisnya masih terangkat ragu karena merasakan adanya keanehan dari perilaku Zhorif.

"Gue dokter spesialis bedah anak Sen, bukan psikiater."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top