Bab 16 - Tergoda

💌 : kalau kamu belum pernah digantungin sama doi, sini, biar saya aja yang gantungin kamu lewat bab ini😌

Selamat membaca!

& 💬

"Saya akan benar-benar berterima kasih kalau kamu bersedia untuk bungkam saat kita makan nanti..."

Zhara setuju untuk menyanggupi permintaan Zhorif beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, saat ini ia hanya diam saja duduk di sebelah Zhorif sembari menikmati menu makan siang lezat buatan calon ibu mertua.

"Zhara kok, makannya dikit sekali? Masakan Tante nggak enak, ya? Apa mau Tante buatin makanan yang lain aja?" Hulya tampak mengernyitkan dahinya, merasa khawatir dengan tingkah laku Zhara yang tidak seperti biasanya.

Zhara yang sejak tadi menundukan kepala pun memutuskan untuk menengadah, melirik Zhorif sejenak, sebelum menatap Hulya sembari menggeleng pelan. Ia sudah berjanji dengan Zhorif untuk tidak berbicara selama acara makan berlangsung, maka dari itu ia hanya bisa menjawab Hulya dengan gerakan tubuh.

Hulya berbinar kembali ketika tahu bahwa prasangkanya tidak benar, wanita paruh baya itu kemudian mengambilkan beberapa jenis sayuran dan meletakkannya di atas piring Zhara dengan semangat. "Kalau gitu makan sayur yang banyak ya, Sayang ... biar subur dan cepet kasih Mama cucu setelah kalian nikah nanti." Setelah puas membuat situasi menjadi super canggung, Hulya tidak lupa pula untuk mengerlingkan matanya menggoda pada Zhara.

Zhara menanggapinya dengan senyuman lebar. Namun, ketika kepalanya tertunduk untuk menatap sayuran apa yang diletakkan di atas piringnya, senyuman itu luntur seketika. Ia menolehkan kepalanya ke arah Zhorif untuk meminta bantuan. Pasalnya, selain ia tidak bisa makan mangga karena alergi, Zhara juga tidak memakan sayur brokoli. Tentu saja, alasannya bukan karena alergi juga, tetapi karena dahulu kala, Zhara pernah menemukan ulat hijau yang ikut tertumis di sayuran itu.

Untuk membuat Zhorif menggubrisnya tanpa harus mengeluarkan suara, Zhara pun menyenggol kecil kaki pria itu. Zhorif langsung menghentikan kunyahannya dan melirik Zhara dengan cara yang tak terlalu kentara agar tidak digoda habis-habisan oleh ibunya. Zhara menggerakkan bibirnya perlahan sembari menunjuk-nunjuk kecil sayuran di piringnya. Namun sayang, Zhorif tidak mengerti dan malah menautkan alis kembarnya.

Zhara menghela napasnya lelah, sekeras apapun ia berusaha menjelaskan pada Zhorif, pria itu tetap tidak mengerti juga. Sebenarnya, masalah ini tidak akan jadi rumit kalau Hulya bukanlah calon mertua impiannya. Pasalnya, ia tak mau dicap sebagai perempuan tak dewasa yang masih senang pilih-pilih makanan.

Putus asa membuat Zhara mengeluarkan ide yang begitu gila bagi Zhorif, gadis itu dengan lugunya mengulurkan tangannya dan menulis ejaan huruf kalimat yang ingin ia katakan tepat di atas paha Zhorif yang dilapisi oleh jins biru.

Zhorif melotot dan menahan tangan Zhara secara refleks. Oh, astaga! Gadis ini benar-benar polos dan tidak tahu batas antara pria dan perempuan dewasa. Untungnya, ia melakukan hal itu hanya pada Zhorif, coba saja kalau pria lain, apakah mereka akan sanggup menahan sensasi aneh yang kian mulai membuat tubuh Zhorif perlahan memanas?

"Muka lo kenapa, Rif?"

Tama menautkan alisnya heran ketika melihat kulit wajah Zhorif yang putih kian berubah merah seperti kepiting rebus. Zhorif melirik Zhara singkat dan mendengus gusar sebelum melakukan aksi yang tak terduga. "Huh! Pedes Ma! Aku kegigit cabai! Huhhh!" Zhorif mengibas-ngibaskan tangannya dengan lidah yang keluar.

Zhara menatap Zhorif khawatir, ia pun buru-buru bangkit dari posisi semulanya, mengulurkan tangan untuk meraih teko kaca, dan berencana menuangkan segelas air putih untuk pria itu. Namun sayangnya, gadis itu lupa bahwa tangannya masih berada di cekalan Zhorif. Alhasil, tangan mereka yang saling bersentuhan terekspos bebas ketika Zhara mengangkat tangannya dari bawah meja.

Sendok dan garpu yang dipegang oleh jemari Fachri jatuh begitu saja hingga menimbulkan bunyi dentingan yang cukup besar, sedangkan Tama dan Velove kompak menjatuhkan rahang mereka ke bawah. Ekspresi yang berbeda jauh malah dikeluarkan oleh Hulya, wanita itu berdiri dari duduknya dengan senyum sumringah hanya untuk menurunkan tangan Zhara dan Zhorif kembali ke bawah meja agar keduanya bisa terus bergandengan tanpa merasa malu.

Zhorif refleks melepas tangan Zhara dan mengangkat kedua tangannya ke atas dengan perasaan yang bercampur aduk. "Ma, ini nggak seperti yang ada di pikiran Mama." Pria itu menatap sang ibu was-was sekaligus panik.

Hulya menggelengkan kepalanya sembari cekikikan. "Emangnya kamu tau apa yang ada di pikiran Mama? Jangan sotoy deh, Rif!" ujarnya sembari melanjutkan suapannya yang sempat tertunda seraya menahan senyum geli.

"Pantes aja mukanya kayak kepedesan, padahal Mama nggak masak pakai cabe hari ini," gumam Hulya keras, sengaja diperdengarkan untuk Zhorif yang kian hanya bisa menenggelamkan wajah di tumpukan tangannya yang terlipat di atas meja.

*

*

*

Acara makan usai, langit yang awalnya masih cerah kian menggelap menampilkan cahaya bulan purnama bersama dengan bintang-bintang kecil yang berada di sekelilingnya. Saat ini, Zhorif dan Zhara berada di dalam mobil karena beberapa waktu lalu Hulya berhasil memaksa putra semata wayangnya itu untuk mengantar Zhara kembali ke rumah.

Di seperempat jalan menuju rumah Zhara, mobil Zhorif terhenti di pinggir jalan karena permintaan dari gadis itu sendiri setelah memeriksa pesan yang dikirimkan oleh kedua orang tuanya.

"Mas, kayaknya hari ini aku nggak tidur di rumah, deh. Papi sama Mami ada urusan di luar kota dan Mbok pulang kampung karena anaknya masuk rumah sakit," jelasnya jujur dengan wajah meringis, merasa bersalah karena telah merepotkan Zhorif yang harus mengantarnya bolak-balik.

"Kalau gitu, kamu akan menginap dimana? Rumah kakak sepupu kamu yang waktu itu?" tanya Zhorif sekadar basa-basi.

Namun, Zhara malah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bang Vino tinggal di apartemen sama temen-temen cowoknya."

"Jadi?" Zhorif menaikkan salah satu alisnya karena penasaran.

"Mas anterin aku ke rumah temenku aja, ya?" pinta Zhara dengan mata yang berbinar memohon.

Zhorif berdeham, membasahi kerongkongannya yang mengering akibat diam-diam merasa gemas dengan tatapan Zhara. "Kamu bantu saya nunjukin jalannya," suruhnya sok fokus pada jalan raya.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di tujuan yang dimaksudkan oleh Zhara. Mobil milik Zhorif terhenti di sebuah halaman rumah megah bernuansa abu muda yang entah mengapa terasa familiar baginya.

"Hm ... makasih, Mas, udah mau nganterin aku. Mas hati-hati nyupirnya, ya!"

Zhara sebenarnya merasa enggan untuk turun dari mobil karena masih ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama dengan sang pujaan hati. Namun, ia rasa, Zhorif mungkin butuh istirahat agar besok pagi bisa kembali bekerja dengan kondisi yang fit. Oleh karena itu, dengan gerakan yang berat, Zhara melepas safety belt yang dipakainya, kemudian membuka knop pintu mobil.

Bugh!

"Tunggu sebentar!"

Tubuh Zhara menegang ketika Zhorif menarik kembali pintu yang hampir setengah terbuka itu. Jarak di antara keduanya benar-benar akan terkikis jika salah satu di antaranya bergerak sedikit saja. Namun, itu tidak jauh lebih penting daripada ketika Zhorif mengatakan sesuatu yang membuat Zhara amat terkejut dan tak mampu berkutik selama satu menit.

"Apa kamu mau menginap di tempat saya malam ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top