Bab 14 - 0,0001% Jadi 100%
💌 : maaf ya jadwal update-nya jadi tidak tentu karena kesibukan saya sehari-hari.
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
"SERIUSAN?!"
Zhara mengerutkan dahinya tak suka, kemudian memukul mulut Jhesen yang saat itu terlihat lebih maju dari biasanya. "Telingaku sakit tau, Jhes!" dengusnya sebelum kembali melanjutkan kunyahannya terhadap sebuah bakso yang baru saja dibelinya di kantin sekolah.
Dengan mata yang masih membulat syok, Jhesen yang awalnya duduk di hadapan Zhara langsung berpindah tempat menjadi tepat di sebelahnya. "Lo seriusan bakal nikah sama sepupunya Agam tanpa ngasih tau si Doi?" tanyanya dengan tubuh mencondong. Namun, Zhara tidak langsung menjawab, ia tiba-tiba diam dan tak berkutik, kunyahannya terhadap bakso pun juga jadi ikut berhenti. "Kenapa lo?" tanya Jhesen merasakan keanehan dari tingkah sahabatnya.
"Tali bra-ku copot, Jhes," jawab Zhara dengan wajah cengingisan hingga membuat Jhesen merasa menyesal telah repot-repot bertanya. "Tolong tutupin pake badan kamu dong, aku mager mau ke toilet." Tak ada pilihan lain membuat Jhesen pun hanya bisa geleng-geleng kepala dan beranjak menutupi tubuh Zhara yang beruntungnya sedang duduk sangat dekat dengan dinding hingga membuatnya hanya perlu satu orang saja untuk menutupi.
"Lo berdua ngapain?"
Kedatangan Aufa dan Agam membuat keduanya tersentak kaget untuk beberapa saat, sebelum kembali biasa-biasa saja. "Tali bh-nya copot," Jhesen kembali geleng-geleng kepala, "heran ... malah nyuruh gue tutupin. Untung gue kagak tertarik sama cewek pe'a," dengusnya yang membuat Aufa tak mampu menahan tawa, sedangkan Agam bergegas mengalihkan pandangannya dari Zhara. "Udah belom? Lama banget sih, lo!" gerutunya sebal.
"Udah nih, udah..." Zhara mendorong Jhesen menjauh setelahnya, dan membuat pria itu jatuh tersungkur ke lantai hanya karena Zhara ingin mengajak Aufa untuk duduk di sebelahnya.
Keempatnya melanjutkan makan mereka dalam diam sampai Zhara menangkap kesulitan Agam dalam menyendokkan batagornya akibat tangannya yang masih diperban. Ia pun memutuskan untuk membantu Agam, menyendokkan makanan tersebut dan menyodorkannya ke depan mulut pria itu. "Aaaa..." suruhnya sembari ikut membuka mulut lebar.
Jhesen berdecih dan terkekeh meremehkan. "Ra, Agam tuh, mana mau nerima bantuan dari lo meskipun dia mati tenggelem juga, dia nggak bakalan ma—"
Kalimat Jhesen tak terselesaikan ketika Agam menerima suapan Zhara dengan tak acuh, perilaku yang benar-benar bukan seperti dirinya. Jhesen menendang-nendang kecil kaki Aufa yang duduk berhadapan dengannya, berusaha meminta penjelasan. Namun, Aufa malah balas menatapnya dengan ekspresi tak tahu.
"Gue mau minum," ujar Agam ngode. Namun tak disangka-sangka, bukannya Zhara yang membantu, melainkan Jhesen dengan ekspresi cengar-cengir super menyebalkannya yang membuat Agam sangat ingin memukulnya jika saja dirinya tak sadar diri dan situasi.
"Zhara!"
Sebuah suara perempuan yang menyebutkan namanya dari kejauhan membuat Zhara sontak menoleh dan mendapati sosok Sylvia, teman satu kelasnya, telah berhenti di dekat tempat duduk Jhesen dengan napas yang terengah-engah.
"Ada yang nyariin lo! Sumpah, ganteng banget orangnya, Ra! Namanya Zhorif," jelas Sylvia dengan antusias.
Brakk!
Zhara sontak bangkit dari posisinya. Ia kemudian menatap Aufa dan Jhesen secara bergantian, sebelum beranjak pergi begitu saja dengan tatapan kosong dan jantung yang seolah berhenti berdetak.
Sesampainya di parkiran sekolah, matanya berhasil menangkap sosok Zhorif yang dibalut dengan kemeja putih polos dan jins biru, membuat Zhara kembali terkagum-kagum akan ketampanannya untuk yang ke sekian kali.
"Mas Zhorif!"
Zhara tersenyum sumringah sembari melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan. Ia sama sekali tidak merasa sakit hati akan Zhorif yang terlihat tidak membalas sapaannya, sebab dirinya sudah terlanjur jatuh begitu dalam pada rasa bahagia akan kedatangan Zhorif ke sekolahnya.
Ketika Zhara hendak menghampiri Zhorif lebih dekat lagi, tubuhnya tertahan begitu saja karena tarikan Agam pada pergelangan tangannya. Zhara sontak berbalik badan dan menatap Agam dengan raut wajah kebingungan. Namun, pria itu malah diam saja, tak menjelaskan apa-apa. Oleh karena itu, Zhara berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Agam.
"Lo mau ngapain ke sana?"
Pergerakan Zhara terhenti sejenak, ia mengerjap-ngerjapkan mata kembarnya sebelum menghempaskan tangan Agam dan melarikan diri untuk menghampiri Zhorif tanpa berniat menjawab pertanyaan pria itu lebih dulu. Agam cukup dibuat terkejut akan balasan yang diterimanya, ia berusaha menyusul Zhara. Namun sayangnya, Aufa dan Jhesen sudah lebih dulu menghalangi jalannya dan membawanya pergi secara paksa dengan embel-embel ingin mengambil tas yang masih tertinggal di kelas.
"Mas Zhorif!"
Zhara merentangkan kedua tangannya lebar, bersiap-siap untuk memeluk tubuh pria yang hanya berjarak tujuh langkah darinya itu. Namun, ketika ia nyaris saja memeluk Zhorif, pria itu sudah lebih dulu menahannya dengan cara meletakkan telunjuknya di dahi Zhara.
"Mas Zhorif ngapain ke sini? Kangen sama aku, ya?!" Bukannya merasa tersinggung, Zhara malah menyengir lebar merasa kesenangan karena Zhorif mau menyentuhnya meskipun itu hanya berupa sentuhan kecil.
"Silakan masuk, ada yang mau saya bicarakan," perintah pria itu setelah membukakan pintu mobilnya untuk Zhara, tak lupa pula ia meletakkan tangannya di langit mobil agar kepala gadis itu tidak terbentur. Setelah berhasil membuat Zhara masuk, Zhorif pun menutup pintunya dan bergegas bergabung masuk ke mobil.
Di dalam sana, keduanya duduk dengan diam. Spesifiknya, Zhorif kebingungan bagaimana cara memulai pembicaraannya, sedangkan Zhara sibuk senyam-senyum sendiri menatap pria yang saat itu sedang duduk tepat bersebelahan dengannya.
"Kamu tau 'kan, kalau apa yang dipikirkan oleh kedua orang tua saya kemarin adalah sebuah kesalahpahaman?"
"Saya tidak pernah melecehkan kamu. Kamu sendiri tau itu, 'kan?"
Zhara menganggukkan kepalanya, membenarkan semua ucapan Zhorif.
Zhorif mengencangkan genggamannya terhadap stir, membulatkan tekadnya untuk sedikit saja merendahkan harga dirinya dengan meminta bantuan dari seorang gadis semuda dan sepolos Zhara. "Kalau begitu, apa kamu mau membantu saya untuk menjelaskan cerita yang sebenarnya kepada orang tua saya?"
Senyuman sumringah Zhara tiba-tiba sirna. Jemari-jemarinya ia mainkan seiring rasa gugup yang menerpanya. Ia kembali teringat akan kejadian semalam ketika sang calon mertua memintanya untuk melakukan sesuatu jika diperlukan.
Flashback on
"Tante, Om,"
Setibanya mereka bertiga di dalam mobil milik Fachri, Zhara memutuskan untuk membuka mulutnya, berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi karena ulahnya.
"sebenarnya nggak terjadi apa-apa antara Mas Zhorif dan aku. Mas Zhorif sama sekali nggak ngelakuin sesuatu yang buruk, malah sebaliknya, dia ngebantu aku ngobatin alergiku. Aku nggak sengaja makan mangga dan gatel-gatel, makanya Mas Zhorif berusaha maksa aku untuk minum obat, tap-tapi ... akunya yang nggak mau."
Zhara berusaha menjelaskan semuanya dengan kalimat yang sederhana dan tulus. Namun, yang ia dapati selanjutnya malah sebuah tepukan lembut pada kepalanya yang berasal dari Hulya. Wanita baya itu tersenyum lebar sebelum membuka mulut. "Kami tau, Nak. Kami mengenal Zhorif jauh lebih baik dari siapapun," ujarnya yang sontak membuat Zhara mengernyit bingung, "kami sengaja berpura-pura salah paham agar kalian berdua bisa segera menikah. Kamu mengerti 'kan, sekarang?"
Rahang bawah Zhara jatuh ke bawah tanpa sadar. Ia sangat tak menyangka bahwa calon mertuanya itu sejak awal hanya melakukan akting. "Ta-tapi Tante, kalau Mas Zhorif sampai tau kalau dia dibohongin, dia bakalan mar—"
"Tenang aja. Kamu cukup tutup mulut dan sisanya biar Om dan Tante yang urus. Ingat, Zhara ... jangan sampai Zhorif tau apa yang kita rencanakan saat ini, kalau kamu memang mau menikah dengan dia," ujar Fachri untuk pertama kalinya banyak bicara.
Flashback off
"Zhara?" Zhorif melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah gadis yang sudah terbengong sejak dua menit lalu.
"Y-ya, Mas?" tanya Zhara gugup.
Zhorif menghela napasnya lelah. Bisa-bisanya Zhara memintanya untuk mengulang kembali semua yang telah diucapkannya dengan susah payah. "Kamu mau 'kan, membantu saya menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi di antara kita?"
"Kesalahpahaman?" Dengan hati-hati, Zhara memasang wajah sok kebingungan dan bersiap untuk memulai aktingnya. "Aku rasa nggak ada salah paham yang terjadi di antara kita, Mas. Mas memang pegang-pegang aku 'kan, kemarin?"
Zhorif terngaga tak percaya akan balasan santai yang diberikan oleh gadis itu. "Zhara—"
"Mas kenapa mau lari dari tanggung jawab, sih?" Air mata Zhara mengucur begitu saja hingga membuat Zhorif terkejut untuk yang ke sekian kalinya. "Kalau aku hamil gimana?" tanyanya sembari menutup wajahnya dengan dua telapak tangan dan menangis seru.
"Memangnya apa yang pernah saya lakukan sampai bisa membuat kamu hamil?!" Zhorif berdecak kesal, kemudian mengacak rambutnya frustrasi. "Zhara, tatap mata saya!" tekan Zhorif berusaha menarik tangan Zhara menjauh dari wajahnya. Namun, Zhara malah menahan tangannya kuat, merasa takut akan kemungkinan dirinya ketahuan oleh Zhorif sedang berakting.
Zhorif menjauhkan tangannya dari Zhara setelah sadar bahwa dirinya seharusnya tidak boleh melakukan itu. Ia menyandarkan tubuhnya kasar ke punggung kursi sembari geleng-geleng kepala. "Kamu tau kalau kamu tidak segera menjelaskan ini semua ke orang tua saya, kita benar-benar akan dinikahkan," gumamnya lesu.
Zhara tiba-tiba menghentikan tangisannya, menjauhkan tangan yang awalnya menutupi wajah, dan menatap Zhorif dengan mata berbinar-binar. "Serius, Mas?! Alhamdulillah..."
"Ini bukan suatu hal yang patut kamu syukuri!" Zhorif menatap Zhara kesal sekaligus heran. "Kamu akan menikah dengan seseorang yang 11 tahun lebih tua dari kamu!" terangnya berusaha menyadarkan gadis itu.
"Terus kenapa? Bukan masalah selama orang itu adalah Mas," jawabnya dengan mata yang membulat lugu.
"Ck!" Baiklah. Kini, Zhorif tahu bahwa cara lembut tidak mempan untuk mengubah keputusan gadis keras kepala itu, satu-satunya cara yang harus ia lakukan sekarang adalah dengan sedikit menyakiti perasaannya, membuat Zhara kehilangan rasa kagum terhadap dirinya. "Zhara, kamu harus tau kalau saya sama sekali tidak ada rasa tertarik sama anak di bawah umur seperti kamu. Kalaupun ada, perasaan itu hanya 0,0001% dari perasaan kamu untuk saya saat ini."
Zhara tertawa keras, sepertinya menganggap ucapan Zhorif barusan sebagai lelucon sampai-sampai tangannya bergerak untuk memeluk perut sendiri. "Anak di bawah umur? Mas, please deh, aku itu udah 17 tahun dan punya KTP sendiri," ujarnya, "dan soal kemungkinan perasaan 0,0001% yang Mas bahas barusan, aku nggak peduli!"
"Zhara, kamu itu—"
"Di dunia ini nggak ada yang pasti. Aku yakin Mas tau itu. Jadi, ayo kita menikah! Setelah itu aku janji, aku akan naikkin kemungkinan perasaan 0,0001% Mas ke aku, jadi 100% tanpa minus sedikitpun."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top