Bab 12 - Alergi
💌 : lagi kurang inspirasi, tapi maksa update. Saya harap bab ini tidak mengecewakan.
Selamat membaca!
⭐️& 💬
●
●
●
"Sampai kapan kamu mau berbaring di sana?"
Zhorif melirik Zhara yang berbaring nyaman di atas brankar ruangannya sembari menatap langit dinding. Zhara yang merasa diajak berbincang pun sontak memutar lehernya untuk menatap Zhorif yang tengah sibuk membaca berkas-berkas yang menumpuk di atas meja. "Mas, aku..."
Salah satu alis Zhorif terangkat, merasa tertarik dengan ucapan Zhara, tetapi tetap tidak ingin memandangnya. Sejujurnya, sejak mereka keluar dari ruangan Jojo, ada banyak hal yang ingin Zhorif dapatkan penjelasannya dari Zhara. Namun, gadis itu malah bungkam dan sibuk tiduran di brankar setelah membuat Zhorif syok karena permintaannya untuk dinikahi besok.
"Aku dan Agam nggak ada hubungan apa-apa selain temenan." Pada akhirnya, pertanyaan Zhorif yang terpendam itu pun terjawab. "Jhesen bilang, Agam nggak boleh tau kalau aku bakalan nikah," lanjutnya lagi yang membuat Zhorif merasa tertarik hingga memutuskan untuk mengangkat pandangannya, meminta penjelasan lebih lanjut melalui tatapannya. Namun bukannya menceritakan, Zhara malah menggeleng kecil dengan bahu yang kompak terangkat. "Aku nggak ngerti alasannya, tapi Jhesen pernah bilang kalau aku itu pengkhianat, tukang Php-in Agam." Zhara berdehem panjang sembari memutar memori otaknya. "Duh, nggak inget lagi!" kesalnya pada diri sendiri. Zhorif yang memerhatikannya pun terpaksa menahan senyum karena tak kuat dengan tingkah Zhara yang menurutnya sangat menggemaskan.
Zhara turun dari brankar dan menghampiri Zhorif yang masih berpura-pura sibuk membaca. Gadis itu mengambil duduk tepat di seberang Zhorif, memerhatikan pria itu dengan tatapan penuh kekaguman. "Mas kenapa bisa ganteng banget, sih?" gumamnya yang masih dapat didengar jelas oleh Zhorif. "Kalau kamu sampai laki-laki harus ikut gantengnya Papa ya, Nak?" Zhara mengelus perut datarnya sembari tersenyum, sedangkan Zhorif malah tersedak ludah sendiri setelah mendengar ucapan aneh gadis itu.
"Kamu benar-benar berpikir bahwa kamu langsung bisa hamil hanya karena itu, ya?" Zhorif bertanya setelah meneguk sebotol air putih berukuran sedang yang ia simpan di pinggir meja kerjanya.
"Itu?" Zhara menautkan alis kembarnya bingung. Tak lama kemudian, ia pun ber'oh ria. "Oh! Itu yang dimaksud sama Mas adalah sentuhan Mas di dada aku tadi, 'kan?" tanyanya terang-terangan yang membuat bola mata Zhorif terlihat seolah ingin melompat keluar.
"Zhara, bahasa kamu itu harus dikoreksi. Saya tidak menyentuh dada kamu dengan maksud yang aneh-aneh," ujar Zhorif meringis.
"Memangnya aku pernah bilang kalau Mas pegang dada aku dengan maksud yang aneh-aneh?"
Sudahlah. Zhorif angkat tangan. Tampaknya Zhara tidak benar-benar mengerti maksud dari pertanyaannya. Makanya, gadis itu hanya terus mengulang pertanyaan yang dibuat oleh Zhorif sendiri.
"Tante Mia tau kalau kamu sering bolos sekolah?" Zhorif mengalihkan topik pembicaraan mereka agar tidak perlu repot ambil pusing.
Bahu Zhara tiba-tiba menegang. "Aku nggak bolos, Mas. Temanku sakit dan sebagai teman yang baik sudah seharusnya aku menemani dia dalam kondisi senang dan susah, sama nanti kayak Mas kalau udah nikah sama aku," ocehnya yang membuat Zhorif kembali menyesal karena telah memancing gadis itu bicara.
"Mas aku laper." Tak kuat diajak berdiam diri terlalu lama, Zhara pun mulai banyak tingkah dan mengganggu kefokusan Zhorif dalam bekerja.
Zhorif memeriksa arloji yang melingkar di pergelangan tangannya sebelum meletakkan lembaran berkas yang dibacanya ke atas meja. "Kamu nggak milih-milih makanan, 'kan?"
Zhara menggelengkan kepalanya dengan penuh semangat, seolah jawabannya itu dapat membuat derajatnya lebih naik di mata Zhorif.
"Yaudah."
Zhorif pun bangkit dari posisi duduknya, membiarkan Zhara membuntutinya dari belakang seperti seekor anak anjing jinak yang sedang berjalan bersama majikannya.
Sebenarnya Zhara merasa agak kecewa ketika tahu bahwa Zhorif hanya mengajaknya makan siang bersama di kantin rumah sakit. Namun, karena otaknya yang terlalu imajinatif dan berpikir bahwa Zhorif ingin memamerkan dirinya pada kolega-kolega kerja membuat perasaan kecewa itu langsung tergantikan oleh rasa bahagia.
"Kenapa kamu?" Zhorif menautkan alis kembarnya merasa keheranan dengan tingkah Zhara yang tertawa-tawa sendiri.
Zhara menggeleng pelan dan berhenti bertingkah aneh. Kemudian kembali mengekori Zhorif yang mengantre untuk mengambil makanan. Selama perjalanan, Zhara agak terkejut akan perhatian ringan Zhorif. Pasalnya, laki-laki itu memberikannya potongan buah mangga yang terlihat masih segar. Kalau dipikir-pikir, rumah sakit tempat Zhorif bekerja benar-benar berbeda dari rumah sakit pada umumnya. Di sana, disediakan sebuah kedai di lantai lobi dan makanan di kantinnya pun enak-enak pula.
Mengingat-ingat tentang buah mangga, Zhara jadi meringis kecil. Sejak berumur enam tahun, ia tidak pernah diperbolehkan lagi untuk mengonsumsi buah tersebut karena Zhara memiliki alergi. Efek dari alerginya memang tidak parah, hanya kemerahan dan gatal-gatal. Namun, saking gatalnya mampu membuat Zhara menangis frustrasi. Oleh karena itu, Burhan dan Mia tidak pernah mengizinkannya untuk memakan buah itu. Pada intinya, kedua orang tuanya hanya tidak mau mengambil risiko mendengar tangisan Zhara yang tak akan berhenti dalam waktu cepat.
"Kenapa?"
Tak terasa sudah menghabiskan nasi dan lauk-pauknya (kecuali buah mangga) dengan begitu cepat, Zhara pun terdiam. Matanya menatap ragu buah mangga yang masih bertengger manis di piringnya meminta untuk segera dimakan.
"Jangan bilang kamu nggak makan buah?" Tuduhan Zhorif setengah tepat sasaran. Lebih lengkapnya, hanya buah mangga. Namun, karena ada unsur nada merendahkan dari kalimat yang Zhorif ucapkan, Zhara pun buru-buru melahap buah berwarna jingga itu, tidak membiarkan Zhorif menganggapnya sebagai anak kecil yang memilih-milih makanan.
Zhorif heran karena merasa Zhara mengunyah buah mangga tersebut cukup lama. Ia ingin bertanya, tetapi ketika matanya menangkap Zhara yang tiba-tiba meneteskan air mata pun ia langsung berdiri panik.
"Kenapa?!" tanyanya khawatir sembari melirik ke kanan dan kiri, memastikan bahwa orang-orang sekitar sedang tidak memerhatikan mereka, kalau tidak, mungkin Zhorif akan disalahpahami.
"Mas, gatel..."
Zhorif refleks menyentuh ujung bibir Zhara karena melihat ruam di area sekitar itu. Tak lama kemudian, Zhorif meraih tangan gadis itu untuk memeriksanya juga dan kembali menemukan ruam-ruam lain yang baru muncul.
"Kamu alergi mangga?" Zhorif tahu itu adalah pertanyaan bodoh. Namun, ia hanya ingin memastikan bahwa dugaan sementaranya itu benar.
Sebuah anggukkan kecil yang diberikan gadis itu membuat Zhorif menghela napasnya gusar sekaligus diselimuti perasaan bersalah. Ia pun membawa Zhara masuk ke ruangannya kembali agar gadis itu bisa menangis dengan lebih leluasa sekaligus diperiksa olehnya.
"Bawa obat anti alerginya, nggak?" Zhorif kembali bertanya usai mereka sampai. Namun, Zhara menggelengkan kepalanya. Ia bukannya ceroboh, tapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Zhara memang sama sekali tidak pernah mengonsumsi buah mangga sejak umurnya enam tahun. "Tunggu di sini sebentar." Ketika Zhorif hendak pergi untuk meminta obat dari rekan kerjanya, dokter spesialis kulit dan alat kelamin, Zhara malah menahan lengannya, menolak untuk ditinggal sendirian.
Zhorif kembali menghela napasnya, tak tega melihat Zhara yang matanya sudah dipenuhi oleh air mata. Ia pun memutuskan meminta bantuan Arsen untuk mengantarkannya obat anti alergi karena sejujurnya ia tidak terlalu dekat dengan dokter spesialis kulit di rumah sakit itu. Untungnya, Arsen selalu senggang dan kekurangan pasien. Jadi, pria itu mau tak mau harus bersedia mengantarkan pesanan Zhorif.
Sembari menunggu Arsen, Zhorif mengobrak-abrik lacinya untuk mencari bedak dingin yang biasanya mampu digunakan untuk membantu menetralkan rasa gatal pada kulit. Ia dengan hati-hati menaburkan bedak tersebut ke ruam Zhara di bagian bibir, tangan, dan kaki. Langkah terakhirnya mampu membuat Zhorif berdiam diri sejenak, menimbang-nimbang apa sebaiknya dia melakukannya atau tidak. Namun, Zhorif lekas menyadarkan dirinya sendiri bahwa apa yang dilakukannya saat ini hanyalah sebuah rasa tanggung jawab semata dan profesinya sebagai seorang dokter memperbolehkannya untuk berbuat demikian.
"Mas kenapa?" Di sela tangisannya Zhara masih bisa mengkhawatirkan Zhorif yang melamun cukup lama.
Zhorif menggelengkan kepalanya sebelum mengucapkan kalimat perintah yang sangat mengejutkan.
"Buka baju kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top