Bab 10 - Masa Lalu
💌 : idol Na Jaemin (Korea) akan mengambil peran sebagai Jhesen, sejoli Zhara yang paling bobrok. Bagi yang kepo, ini fotonya (👇)
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
"Pagiku, cerahku, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak. Selamat pagi semua, kunantikan dirimu di—"
Lirik lagu Guru Tersayang yang dinyanyikan oleh Zhara pada pagi ini terhenti begitu saja ketika matanya berhasil menangkap keberadaan Agam yang telah duduk rapi di kursinya sendiri dengan keadaan lampu kelas yang masih belum dinyalakan.
Zhara bergerak kikuk untuk menekan saklar lampu, kemudian berjalan menuju ke bangkunya yang berada tepat di depan Agam. "Tumben kamu datang sepagi ini." Zhara sengaja membuka pembicaraan lebih dulu agar tidak diterpa suasana canggung. Pasalnya, baru mereka berdua yang menghuni kelas.
"Pengen aja." Agam menjawabnya sembari mengangkat bahu tak acuh. "Kemaren lo ngapain?" Akhirnya, Agam berhasil meloloskan pertanyaan itu setelah memberi jeda cukup lama dari ucapan yang sebelumnya.
Zhara mengangkat salah satu alisnya keheranan, tumben-tumben Agam peduli dengan urusannya. "Makan," jawabnya setelah itu.
"Sama?" Seakan belum puas dengan jawaban Zhara, Agam kembali bertanya dengan lebih spesifik.
"Semua orang punya privasi. Kamu sendiri yang pernah bilang kayak gitu ke aku setiap kali aku nanya kamu lagi ngapain? Kamu kenapa? Kamu dimana?" Cicit Zhara dengan kepala yang tertunduk.
"Tapi lo suka sama gue." Agam berucap dengan salah satu alis yang terangkat, berusaha mengetes apakah yang dikatakan oleh Aufa tadi malam benar atau tidak. "Seharusnya lo nggak main rahasia-rahasiaan dari orang yang lo suka."
Zhara mengangkat tatapannya. Ia menggigit pipi bagian dalam, sebelum menggelengkan kepalanya pelan. "Itu dulu. Sekarang aku lagi berusaha untuk nggak suka lagi sama kamu," ujarnya, "aku ngelakuin ini biar kita berdua nggak canggung lagi. Aku tau kok, kamu sengaja jaga jarak dari aku karena tau kalau aku suka sama kamu."
"Siapa?" Agam diam-diam mengepalkan tangannya, menahan rasa nyeri aneh yang tiba-tiba menyerang salah organ tubuh bagian dalamnya. "Lo makan malam sama siapa semalem?" Lengkapnya, mengulang pertanyaan yang belum terjawab.
Zhara berdecak dan mencetak ekspresi kesal di wajahnya, bermaksud untuk membuat Agam berhenti bertanya. "Nggak boleh tau. Lagipula, sejak kapan kamu peduli sama urusan aku?"
Agam bungkam sesaat. Awalnya ia sudah pasrah, tidak ingin bertanya lebih lanjut lagi. Namun, ketika matanya berhasil menangkap sebuah cincin berlian yang tersemat di jari manis Zhara, niatnya yang tadi langsung terurungkan. "Lo dapet ini dari siapa?" Agam refleks berdiri dari posisi duduknya, menghampiri Zhara, dan mencekal tangan gadis itu untuk melihat cincinnya dengan lebih jelas.
"Kok, pegang-pegang, sih? Bukan mahram tau!" omel Zhara yang kian mulai mengikuti tingkah calon suaminya, Zhorif. Zhara berusaha menjauhkan tangannya dari Agam, tapi pria itu masih enggan melepasnya.
"Ra, gue nanya, lo dapet cincin ini dari siapa?!" tekan Agam. Namun, kali ini dengan suara yang lebih keras hingga membuat Zhara terkejut dibuatnya. Agam bukannya berlebihan, ia hanya merasa sangat khawatir. Pasalnya, Zhara itu terlalu polos dan terkadang kepolosannya itu bisa mencapai ke tingkat idiot. Pernah suatu ketika, di sebuah mal, seorang pria asing menghampirinya dan bertingkah seolah-olah dia mengenali Zhara. Zhara yang tak tahu apa-apa malah merasa bersalah dan mengira bahwa dirinya sosok pelupa. Zhara bahkan hampir saja pergi bersama dengan pria asing itu jika Agam tidak melihat dan segera menghadangnya.
"Dari pacarku."
***
"Lo berdua kenapa, sih? Biasanya kayak permen karet di bawah laci, nempel mulu." Tama yang sejak tadi memerhatikan tingkah aneh Zhorif dan Arsen memutuskan untuk bertanya, mewakili rasa penasaran yang turut dialami oleh Jojo dan Zhikan yang juga berada di sana.
Arsen mendelik tajam ke arah Zhorif, kemudian berdecih sembari memalingkan pandangannya. "Lo tanya aja sama dia sendiri," tanggapnya merasa malas mengingat kejadian kemarin malam.
"Lo sama Arsen kenapa, Bang?" tanya Jojo mendahului Zhikan yang hendak melempar pertanyaan yang sama. "Bibir lo juga kenapa? Kok, luka begini?" tanyanya lagi sembari menyentuh dagu Zhorif untuk memerhatikan luka di ujung bibir pria itu dengan lebih jelas lagi.
Zhorif menjauhkan tangan Jojo dari wajahnya, kemudian menatap Arsen yang masih bertingkah seolah tak sudi melihat wajahnya hanya karena Zhorif mencampakkan harga diri pria itu dengan cara tidak berkrompomi saat sedang menjalankan misi mereka di hotel semalam. "Cewek itu masih SMA, Sen. Gue nggak mungkin biarin dia diapa-apain sama lo. Walaupun gue sama sekali nggak punya perasaan sama dia, gue tetap punya hati nurani."
Tama ber'oh ria. Pada akhirnya, ia dapat mengerti alasan di balik pertengkaran yang terjadi di antara kedua sahabatnya itu, dan ia juga sangat tahu bahwa pertengkaran ini terjadi karena ulahnya.
"Kalau lo pinter, lo harusnya diem aja waktu itu dan biarin gue yang ngurus semuanya. Gue masih waras, Rif ... itu cewek udah tergila-gila sama elo. Dalam sejarah gue, gue nggak pernah sekalipun grepe-grepe cewek, kalau nggak merekanya yang mau." Arsen bersedekap setelahnya.
"Lo sendiri yang nyuruh gue untuk segera move on, 'kan?" Arsen refleks menoleh, merasa kaget dengan yang apa dikatakan oleh sahabatnya itu. "Meskipun tingkahnya persis kayak bocil, seenggaknya dia satu-satunya cewek yang mampu ngebuat gue bisa ngelupain Maudy walau cuma sesaat." Zhorif tersenyum kecut ketika melirik ekspresi teman-temannya yang berubah 180 derajat. "Kenapa? Kaget dengernya?"
Arsen, Tama, Jojo, dan Zhikan menjawabnya dengan sebuah anggukkan kecil.
Zhorif tertawa renyah menanggapi keempat pria itu. Ia kemudian bangkit dari duduknya dalam sekali helaan napas. "Situasinya bakal jadi canggung kalau gue menetap di sini," ujarnya, "gue cabut dulu."
Namun, ketika Zhorif baru saja menjauh selangkah, tangannya lebih dulu ditahan oleh Arsen hingga membuatnya terpaksa berhenti dan menoleh. "Gue salah."
Zhorif tersenyum menanggapinya. "Fine. Gue terima maaf lo." Setelah berkata demikian, Zhorif pun pergi dengan bebas, mengabaikan pandangan iba yang diberikan teman-temannya.
Di sepanjang jalan menuju ruangan kerjanya, para suster yang berlalu-lalang terus menyapanya. Namun, karena tidak hapal dengan nama-nama mereka, Zhorif hanya bisa memamerkan senyumnya sembari mengangguk kecil.
Cklek!
Zhorif membatu. Tubuhnya menegang ketika melihat sosok punggung perempuan familiar yang tengah duduk di kursi ruang kerjanya. Merasa diperhatikan membuat wanita itu menolehkan kepalanya dan menemukan Zhorif yang rupanya tengah berdiri di ambang pintu.
"Zhorif?"
"Hai."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top