Bab 1 - Selangkah Lebih Dekat

💌 : Tsel(lalu)-PakaiMasker. Semoga kalian semua selalu sehat dan dijauhkan dari segala macam jenis penyakit.

Selamat membaca!

& 💬

Zhara melambai-lambaikan tangannya dengan sumringah ketika Bu Mitha berpamitan lebih dulu dan meninggalkannya berdua saja dengan Zhorif, pria yang kini telah positif ia nobatkan sebagai suami masa depannya.

"Kamu suka makan es puter?" Zhorif mengeluarkan pertanyaannya hanya untuk sekadar berbasa-basi, menghapus suasana canggung yang menerpa mereka berdua. Ah, mungkin lebih tepatnya Zhorif saja.

"Suka!" Zhara mengangkat pandangannya untuk menatap manik hitam milik Zhorif. Ternyata tebakannya benar, Zhara bukanlah seorang gadis SMA biasa yang pada umumnya selalu bersikap malu-malu ketika bertemu dengan orang baru. "Apalagi kalau belinya ditemenin sama Mas." Terdengar seperti lanjutan dari kata yang sebelumnya. Namun, kalimat yang satu ini mampu membuat Zhorif merasa agak terkejut.

"Mas?" Pria itu menautkan kedua alisnya yang rapi dan tebal, merasa bahwa pendengarannya mungkin sedang tidak berfungsi dengan baik.

"Iyalah, Mas. Masa Om?" sahut Zhara kelewat santai.

Zhorif berdeham, menetralisir rasa kering pada kerongkongannya sebelum berkata, "Panggil saya Kakak atau gunakan nama saja, tidak masalah."

Zhara pun ikut-ikut menautkan kedua alisnya. Ia mengeluarkan sebuah ekspresi yang membuat siapapun pasti akan mengira bahwa gadis itu sedang berpikir keras. "Kakak? Hm ... nggak mau, ah! Lagian Mas 'kan, bukan kakak aku, nggak punya ikatan darah juga," tolaknya atas usulan Zhorif yang pertama, "panggil nama doang juga nggak boleh, kalau di Indonesia dibilang nggak sopan," tolaknya lagi. "Karena nggak ada pilihan lain, aku panggil Mas aja, ya? Biar sama kayak Mami pas manggil Papi." Kali ini Zhorif benar-benar terkejut hingga tersedak oleh ludahnya sendiri.

Memang benar bahwa dirinya pernah berpikiran bahwa Zhara adalah gadis manis yang percaya diri, tetapi ia tidak pernah menyangka level kepercayaan dirinya akan setinggi ini.

"Mau pesen berapa esnya, Bang? Neng?" Perhatian Zhara dan Zhorif beralih menuju Mang Mamat, sang penjual es puter yang rupanya telah memerhatikan interaksi yang terjadi di antara keduanya sejak tadi, dengan maksud menanti mereka untuk segera memesan.

"Saya pesen es puternya dua," jawab Zhorif yang tak lama kemudian menoleh ke arah Zhara untuk bertanya, "kamu?"

"Satu aja," jawab gadis itu sembari mendudukkan bokongnya di atas sebuah kursi plastik kosong yang memang selalu disediakan oleh Mang Mamat untuk para pembeli es puternya.

Zhara menatap Zhorif yang masih setia berdiri di dekat gerobak Mang Mamat dan sepertinya sama sekali tidak berniat untuk bergabung duduk di sebelahnya. Sebenarnya, Zhorif sadar bahwa Zhara tengah memerhatikannya secara terang-terangan, tetapi ia masih merasa aneh saja untuk bertanya alasan Zhara menatapnya seintens itu.

Pada akhirnya, Zhara memutuskan untuk menarik pelan ujung kemeja berwarna putih yang Zhorif kenakan agar pria itu memberinya perhatian. "Duduk sini, Mas," ajaknya sembari menepuk-nepuk kursi kosong yang berada tepat di sebelahnya.

Merasa tak enak hati untuk menolak, Zhorif pun memutuskan untuk menurutinya, tetapi sebelum itu, ia menarik kursinya dengan maksud memberikan jarak yang cukup di antara mereka.

"Mas nanti nggak perlu anterin aku ke sekolah, soalnya aku udah ada janji sama kenalanku yang di luar." Zhara berusaha berbicara dengan nada yang tenang, tetapi batu kerikil di tanah yang dimainkan oleh kakinya membuat Zhorif langsung menyadari bahwa gadis itu sedang merasa gugup akan sesuatu.

"Soalnya, dia juga ingin membeli es puter, tapi kalau saya lepaskan begitu saja, dia tidak akan kembali ke sekolah."

Pesan yang disampaikan oleh Bu Mitha beberapa waktu lalu masih terngiang di kepalanya. Ia menoleh ke arah Zhara, kemudian mengangkat sedikit kemeja tangannya untuk memeriksa arloji cokelat gelap yang ia gunakan. "Bukannya ini masih jam sekolah?" Pertanyaan itu sontak membuat Zhara mati kutu, merasa kebingungan untuk menjawab. "Bolos?" tudingnya dengan nada bicara yang tetap lembut, membuat tuduhannya malah terdengar seperti pertanyaan biasa.

Zhara menggelengkan kepalanya panik dengan mata yang membulat. "Hm ... bukan bolos, lebih tepatnya—duh! Dingin!" Zhara memekik ketika seorang pria asing yang duduk di dekatnya, menjatuhkan es puter pesanannya sendiri tepat di rok gadis itu.

Pria asing yang memiliki wajah di bawah standar itu tersenyum miring secara diam-diam, tetapi sayangnya, mata tajam Zhorif telah menangkap basahnya. "Eh? Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja." Pria itu berpura-pura panik, kemudian mengulurkan tangannya untuk menyapu tumpahan es puter yang jatuh membasahi tempat yang sesuai dengan rencananya.

Beruntung Zhorif sudah lebih dulu berhasil untuk menggagalkan rencana jahat yang hampir sempurna itu dengan cara menahan dan menghempaskan tangan pria asing tersebut menjauh dari Zhara. "Jauhkan tangan kamu!" tegasnya dengan raut wajah tak senang. Suaranya yang bariton berhasil mengundang perhatian banyak orang di sekitar, tak terkecuali Zhara yang kembali berdecak kagum menyaksikan seberapa gentleman-nya calon suaminya itu.

Pria asing yang hendak melakukan pelecehan seksual terhadap anak SMA itu pun bergegas mengundurkan diri dengan perasaan yang bercampur aduk antara malu dan marah.

Zhorif menghela napasnya sembari mengusap dada dan menggerakkan bibirnya untuk mengucapkan beristigfar, berusaha menjauhkan emosinya dari perasaan marah. Setelah selesai dengan urusannya, Zhorif merasa tertarik untuk menoleh dan melihat Zhara yang rupanya tidak juga merasa puas memerhatikannya secara terus-menerus. Ia mengambil beberapa lembar tisu kering yang terletak di atas meja, kemudian mengulurkannya pada Zhara. "Kamu lap sendiri," suruhnya.

"Kenapa nggak Mas aja?" Zhara bertanya dengan mata bulat yang mengerjap polos.

"Bukan mahram," jawab Zhorif yang berhasil membuat Zhara manggut-manggut seakan mengerti.

Pesanan mereka selesai di menit ke sepuluh, Zhorif mengajak Zhara untuk masuk ke dalam mobil SUV putih miliknya, kemudian menjalankan mobil itu menuju ke SMA Tanjung Pelita yang sebenarnya hanya berjarak beberapa langkah kaki dari tempat mereka berada, tetapi malah harus memutar balik arah jika menggunakan kendaraan karena letaknya yang berada di pinggir arus yang sejalan.

Keheningan mendominasi ruang kedap suara itu. Zhara yang petakilan pun merasa terganggu dan mulai mencari-cari kegiatan agar tidak merasa bosan. Pada akhirnya, pilihannya jatuh kepada es puter yang baru dibelinya beberapa waktu lalu. Ia membuka plastiknya dengan tak sabaran, kemudian memakannya tanpa meminta izin pada Zhorif yang mungkin akan merasa keberatan dengan aroma durian.

Matanya mencuri-curi pandang ke arah Zhorif yang tampak fokus ke jalanan. "Mas, aku nggak mau balik ke sekolah," ujarnya tak lama kemudian.

"Kenapa?" tanya Zhorif seraya memberi lirikan singkat ke samping.

Zhara menggeleng pelan dengan wajah yang tertunduk. "Nggak mau aja," jawabnya yang tidak mungkin menjelaskan alasan yang sebenarnya.

Mobil Zhorif berhenti tepat di depan pintu gerbang SMA Tanjung Pelita. Ia menoleh dan menatap Zhara dengan manik hitamnya yang kilap. "Saya bertanggung jawab atas kehadiran kamu di sekolah. Kamu tau 'kan, kalau saya sudah diberi amanat sama guru kamu?" Tatapannya yang tajam berhasil membuat Zhara merasa seakan terhipnotis.

Gadis itu menghela napasnya pasrah, kemudian merogoh isi kantung roknya yang setengah kering untuk mengeluarkan ponsel. Ia menyodorkan benda pipih itu ke arah Zhorif dengan raut wajah tanpa beban.

Hal itu membuat Zhorif menautkan kedua alisnya kebingungan. "Apa ini?" tanyanya tidak mengerti maksud dari perilaku aneh gadis itu.

"Aku bakal keluar kalau Mas kasih aku nomor telepon Mas," jelasnya yang lebih mengarah ke sebuah ancaman karena nada yang digunakannya sangat tegas dan tak terbantahkan.

Zhorif diam, menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menuruti kemauan Zhara. Pasalnya, ia tidak bisa menyia-nyiakan waktunya yang berharga hanya untuk mengurusi gadis naif yang baru dikenalnya itu, ia harus segera kembali bekerja, ditambah lagi es puter titipan sang ibu kian mulai mencair. Zhorif pun mengambil ponsel tersebut dan memasukkan nomor ponselnya ke dalam kontak. "Puas?" sindirnya setelah mengembalikan ponsel tersebut pada sang pemilik.

Namun, Zhara malah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah yang lugu. Salah satu jarinya bergerak menekan nomor yang Zhorif berikan semata-mata untuk memastikan bahwa pria itu tidak menipunya.

Drrttt ... drrrtttt ... drrrrttttt....

Zhorif memamerkan layar ponselnya yang menyala untuk meyakinkan Zhara bahwa dirinya bukanlah seorang pembohong. Bisa-bisanya gadis itu mengira dirinya melakukan hal yang serendah itu.

Zhara tersenyum puas dan langsung keluar dari mobil dengan hati yang berbunga-bunga, tidak menyadari bahwa Zhorif sebenarnya sedikit merasa tersinggung akan perilakunya.

"Sampai ketemu lagi, Calon Suami! Hati-hati di jalan!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top