My Brother's (31)

Zweitson berencana akan mengunjungi Fajri di rumah sakit seusai pulang sekolah. Sebuah pengumuman mengatakan bahwa jam pelajaran terakhir semua guru akan mengadakan rapat dan para murid diperbolehkan pulang.

"Wah... gue nggak perlu menunggu sampai siang nih. Langsung ke rumah sakit saja deh," ucap Zweitson semangat sambil memasukkan semua peralatan sekolah.

Tak sengaja Rani mendengar ucapan Zweitson. Ia pun memiliki ide cukup gila untuk mengikuti kemana siswa berkacamata itu pergi.

"Gue itu orang ya kepo. Jadi, ucapan lo tadi pagi gue yakin bohong. Fenly punya adik dan saat ini sedang di rawat di RS."

Rani tersenyum lebar. Ia mulai membututi Zweitson sampai menuju parkiran motor. Untuk sekarang sosok Rani tak ketahuan.

Zweitson memakai helm bergambar Nobita. Ia menyalakan motor, lalu melaju dengan kecepatan sedang.

"Lalala... aku senang sekali... Doraemon."

Sepanjang perjalanan Zweitson menyanyikan lagu kartun kesukaannya. Apalagi salah satu tokoh utamanya mirip dengan ya yaitu Nobita dan sama-sama menggunakan kacamata bulat.

Sebuah motor berwarna merah muda masih mengikuti di belakang. Dan dia adalah Rani, teman sekelasnya.

"Si Soni bawa motor pelan amat sih kaya siput," oceh Rani kesal.

Tanpa mereka sadari sebuah mobil berwarna hitam juga mengikuti. Sang sopir memakai kupluk hitam dan masker.

Siapakah dia??

Zweitson berhenti sebentar di pom bensin. Bahan bakar motor Zweitson tinggal satu batang. Ia akan mengisi dengan bahan bakar Premiun.

Siang ini pom bensin cukup ramai. Zweitson harus mengantri enam motor di depannya.

Terik matahari membuat Zweitson beberapa kali mengelap keringat di muka. Zweitson tak suka panas-panasan seperti ini. Perawatan yang ia pakai membuat sia-sia saja.

Rani menunggu di depan supermarket. Ia membeli sebotol minuman orange dingin. Dahaga di tenggorokan langsung terasa segar.

Sedangkan mobil yang mengikuti mereka juga tengah mengisi bensin. Sang supir tak menunjukkan batang hidung sama sekali.

Akhirnya giliran Zweitson tiba. Ia tersenyum kecut.

"Mau isi berapa Mas?" tanya Ike, sang petugas..

"Isi tigapuluh ribu, Mbak," jawab Zweitson setelah membuka penutup.

"Di mulai dari nol ya," ujar Ike.

"Gak mulai dari saling kenal saja, Mbak Ike," goda Zweitson.

"Hehe... bisa saja Mas Nobita," balas Ike tertawa kecil.

Zweitson merogoh uang selembar limapuluh ribu di saku seragam. Ia berikan kepada si Ike, lalu motor sudah terisi bahan bakar penuh.

"Terima kasih," ucap Ike ramah.

"Sama-sama Mbak. Lain kali minta nomor WA ya boleh? Hehe...."

Ike tak menjawab. Ia fokus dengan pelanggan selanjutnya.

Zweitson kembali menggoda si petugas pom bensin. Ia pun menyalakan motor, lalu melajukan kecepatan sedang ke jalan raya.

_$_$_

Rani mulai mengikuti Zweitson bersamaan dengan mobil hitam. "Son, cepetan dikit ya bawa motor ya," gumam Rani gregetan.

Zweitson merasakan perasaan tak enak. Ia melirik ke arah kaca spion kanan. Motor merah muda dan mobil hitam membututinya sejak di pom bensin atau bahkan sejak ia keluar dari gerbang sekolah.

Suasana di jalan siang ini cukup sepi. Beberapa pohon di pinggir jalan membuat terasa adem namun mencekam.

"Gue kok jadi takut ya," ucap Zweitson di balik kaca helm.

Motor Zweitson di gas dengan kecepatan tinggi. Rani pun mengikuti.

Mobil hitam melaju cepat hingga menyenggol motor Rani yang berada di sebelah kiri. Rani hampir saja menabrak pohon.

"Aahh! Setan lo mobil!" seru Rani emosi.

Motor Rani menepi di trotoar. Ia mengelus dada sambil mengucap kata syukur. Nyawa ya hampir saja menghilang jika ia tidak sigap berbelok ke arah berlawanan dengan reflek cepat.

Zweitson sempat mendengar keributan kecil di belakang. Ia tetap melajukan motor dan melirik kecil ke kaca spion.

Kini mobil hitam sudah berada tepat di belakangnya. Debaran jantung dan adrenalin Zweitson berpacu cepat.

"Tuhan. Kenapa gue semakin merasakan hal buruk ini?"

Zweitson semakin panik. Jika ia melajukan motor cepat, mobil hitam akan melakukan hal sama.

Hal itu membuat konsentrasi Zweitson teralihkan. Di depan ya, seekor kucing hitam tengah berada di tengah jalan.

"Awas kucing!!!" seru Zweitson panik.

Zweitson mencoba mengeremkan motor. Ia berhasil melewatkan kucing hitam, tetapi mobil hitam sudah berada tepat di sebelah kiri.

Kaca mobil terbuka setengah. Nampaklah wajah seseorang yang sangat dikenali oleh ya.

"Selamat tinggal... Zweitson," ucap sang sopir mobil menyeringai lebar.

Kedua netra Zweitson membulat sempurna. Ingin ia menyebutkan satu kata nama supir itu, tetapi mobil hitam menyerempet motornya sangat cepat.

Zweitson mencoba menghindari, namun usahanya hanya sia-sia saja. Motor Zweitson kehilangan kendali ditambah dalam kecepatan tinggi.

Mobil hitam melaju duluan meninggalkan motor Zweitson. Sang supir mengeluarkan jari jempol ke bawah.

"Satu tikus berhasil disingkirkan," ucapnya tersenyum lebar.

Kini nasip dan hidup Zweitson tergantung pada dirinya. Ia masih berusaha, tetapi rem motor tiba-tiba blong.

"Aaa... gue nggak mati secepat ini," ujar Zweitson menangis.

Dan...

Kecelakaan tak dapat dihindari. Motor Zweitson menabrak trotor hingga menghantam keras pohon besar di sana.

Brakk!!!

Tubuh Zweitson terpental. Bagian kepala menghantam trotoar. Cairan merah segar keluar dari balik helm.

Rani dari kejahuan terdiam. Ia cukup syok melihat kejadian begitu cepat di depan mata ya sendiri.

"So-soni...," ucapnya kaku.

Rani langsung berlari cepat ke tempat Zweitson berada. Motor miliknya ia tinggal di pinggir jalan.

"Son... bangun Son,"

"Ra-rani...," ujar Zweitson lemas.

"Ayo ke rumah sakit. Tapi di sini sepi nggak ada siapa-siapa," ucap Rani panik.

"Gue... udah nggak kuat lagi."

Setelah mengucapkan kalimat itu. Zweitson menghembuskan napas terakhir akibat cedera di kepala dan perdarahan serius.

"Soni!!!"

Rani memeluk tubuh Zweitson lemah. Seragam yang ia kenakan sudah bercampur darah.

Berselang tak lama. Para pejalan kaki ataupun pengendara yang melintasi jalan tersebut datang, lalu membawa tubuh Zweitson tak beryawa ke rumah sakit.

___BERSAMBUNG___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top