My Brother's (24)

Tut...

Tut...

Tut...

Suara monitor menjadi teman di ruangan Fajri di rawat. Fajri mendapatkan perawatan intens dikarenakan mengalami penurunan kesadaran. Hampir lima jam lamanya Fajri belum membuka mata.

Fajri mengenakan selang di mulut yang terhubung langsung dengan mesin alat bantu pernapasan. Wajah Fajri terlihat damai dan tenang. Sepasang selang infus terpasang di kedua lengannya.

Sebuah tangan besar mengelus lembut punggung tangan Fajri. Ricky, menatap nanar kondisi Fajri di depannya. Kedua netra ya tak pernah berhenti mengeluarkan air mata.

Suasana di ruangan begitu sunyi. Ricky meminta pihak rumah sakit untuk memberikan ruangan sendiri bagi Fajri.

"Ji, ayo bangun...

Abang Iky sudah di sebelah kamu loh.

Aji nggak capek apa nggak bangun-bangun."

Suara serak Ricky menandakan bahwa dia juga tidak baik-baik saja. Sebuah infusan juga terpasang di tangan kiri Ricky.

Penyakit lama Ricky kambuh lagi akibat melihat kondisi Fajri sebelumnya. Sebenarnya Ricky telah menyembunyikan sakit ya kepada siapapun termasuk mendiang orang tuanya.

Ricky tak mau membuat orang-orang di sekitarnya khawatir. Apalagi sejak ditinggal kedua orang tuanya, Ricky harus menggantikan mereka sebagai tulang punggung keluar bagi Ovel dan Aji, adik-adiknya yang ia sayangangi.

"Ji... kamu harus bertahan ya. Abang Iky juga akan bertahan demi Aji dan Ovel," ucap Ricky lirih.

Sebenarnya apa penyakit Ricky? Hanya Tuhan, Ricky dan author yang mengetahuinya.

Pintu ruangan terbuka. Sosok Raka masuk ke dalam seorang diri. Zweitson sudah pulang terlebih dahulu karena bujukan Raka.

"Ky, balik ke ruangan kamu ya," ujar Raka. Hatinya merasa sakit dan sedih melihat pemandangan di depannya.

Tak ada balasan dari Ricky. Ricky masih terus berusaha membangunkan Fajri yang masih tertidur lelap.

"Ky," panggil Raka kembali.

Kali ini Raka belakang di kursi roda Ricky kenakan. Saran dari dokter Ricky tidak boleh merasa capek apalagi dalam kondisi sekarang ini memaksa untuk menemani Fajri.

"Bang Raka... Aji kapan bangun ya. Iky capek bangunin Aji tapi nggak bangun-bangun juga," ucap Ricky masih terisak.

Deg!

Rasa nyeri di dada kembali muncul. Ricky memegangi dada kiri yang terasa sangat sakit, seakan tertusuk puluhan pisau tajam.

"Ky! Kamu kenapa?!" Raka panik.

Raka langsung menekan tombol di dekat tempat tidur Fajri. Tak lama dua orang suster datang.

"Sus, tolong Ricky!"

"Baik, Pak. Kami akan membawa pasien kemblai ke ruangan ya. Nanti dokter akan memeriksa." Suster bernama Jannah menjelaskan dengan tenang. Jika suster tidak merasa tenang, pasien yang akan dirawat bisa menjadi bahaya.

"Iya, Sus," jawab Raka.

Suster Jannah dan rekannya mendorong kursi roda Ricky. Ricky mencoba melawan, namun rasa sakit di dada begitu menyakitkan.

"Aji! Abang nggak mau tinggalin kamu sendirian!" seru Ricky memberontak.

Tubuh Ricky terjatuh dari kursi roda. Ricky merangkak kecil mendekati tempat tidur Fajri.

Raka melihat hal itu semakin sedih. Air mata jatuh tak dapat dia tahan lagi.

"Iky! Kamu harus jaga kondisi tubuh  juga! Kasian Aji nanti kalau bangun melihat Abangnya seperti ini!"

Raka berusaha membujuk. Dia dan kedua suster menahan tubuh Ricky, lalu menaruh kembali di kursi roda.

Ricky tak melawan lagi. Napas Ricky sangat sesak. Suster Jannah dan rekannya mendorong cepat kursi roda dibantu oleh Raka, jika sewaktu-waktu Ricky memberontak.

"Ji... maafin Abang ya," ucap Ricky setelah pintu tertutup rapat. Tatapan nanar begitu memilukan hati siapapun yang melihatnya.

_$_$_

Fenly berjalan dengan emosi. Mukanya sudah memerah sempurna.

Setelah jam pelajaran terakhir selesai. Fenly langsung keluar kelas menuju parkiran mobil. Dia akan membuat perhitungan dengan Fajri.

"Bangsat! Kali ini lo sudah buat sangat emosi... Fajri Maulana Zakno!"

Fenly memukul setir mobil keras. Dia mengabaikan rasa ngilu di tangan.

Tatapan tajam Fenly seakan siap menerkam siapapun yang berada di depannya. Fenly dengan perasaan kalut akibat emosi berlebihan melajukan mobil dengan cukup kencang menuju gerbang sekolah.

Pak Adi, satpam sekolah hampir menjadi korban tabrak mobil. Pak Adi memiliki reflek yang cukup bagus.

"Astaghfirullah."

"Siapa yang membawa mobil kayak orang kesurupan?! Untung saya masih selamat." Pak Adi mengelus dada pelan. Bulir-bulir keringat dingin sudah membasahi wajah.

Tinnn!!

Fenly menekan klakson kasar. Dia tak memperdulikan orang-orang yang hampir dia tabrak.

Perasaan emosi sudah menyulut ke hati serta otak. Pikiran Fenly mulai tak waras.

"MINGGIR LO SEMUA!"

Fenly berteriak keras setelah membuka kaca mobil kecil. Fenly sampai harus menginjak rem mendadak. Sosok Pemuda di depannya sangat mengganggu perjalanannya.

Seorang Pemuda bertubuh besar dan kedua pipi mirip pempek berjalan gontai. Seakan tak ada semangat sedikitpun yang tersisa.

"EH GEMBUL! MINGGIR LO!"

Lagi. Fenly memarahi sosok di depannya. Pemuda itu ternyata adalah Fiki.

Fiki menoleh sekilas ke belakang, lalu berjalan sangat pelan menuju pinggir jalan. Kedua bahu Fiki naik turun akibat menangis.

Setelah pulang sekolah, Fiki kembali dimarahi hingga di dorong tubuhnya oleh Abangnya, Shandy. Padahal Fiki hanya ingin mengajak pulang bareng. Dan di sinilah Fiki berada seorang diri ditemani langit yang tiba-tiba mendung.

"Bang Shan... lo kenapa jadi berubah total?"

Fiki memilih untuk duduk di bangku halte. Dia menangis dan terus menangis menghilangkan rasa sakit serta kecewa di hati.

Mobil merah Fenly sudah melewatinya. Namun, Fenly mengacungkan jari tengah langsung ke Fiki.

"Kalau ketemu lagi sama tuh murid, habis sama gue!" gerutu Fenly.

Fenly melajukan mobil dalam kecepatan tinggi. Dia akan menuju ke rumah sakit tempat Fajri di rawat. Fenly mengetahui informasi itu dari nomor tak dikenal.

"Aji! Mungkin hidup lo akan sebentar lagi." Fenly menyeringai lebar.

_$_$_

Di sebuah gedung, seseorang Pemuda tersenyum lebar. Dia telah berhasil memberikan kejutan kecil.

Sebuah foto bergambar Pemuda berkulit putih, rambut cokelat serta berwajah bule ada di dinding. Bukan hanya satu foto, tetapi beberapa foto lainnya yang memiliki wajah berbeda.

"Hahaha... permainan ini sepertinya seru juga," ucapnya tertawa kecil.

Pemuda misterius itu melemparkan sebuah pisau kecil tepat di salah satu foto. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seringai lebar.

"Hmm... kali ini giliran kamu. Siapkan diri dan semoga beruntung."

Suara gemuruh petir di luar gedung menambah kesan menyeramkan.

___BERSAMBUNG___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top