#08

Ah, bagaimana kedai tanpa dirinya? batin Jung Ah ketika kedua kakinya mulai menapaki lantai ruangan di dalam restoran. Tempat itu membuat ingatannya menerawang jauh ke kedai. Di mana setiap hari ia mesti melayani pelanggan yang datang dan ketika malam tiba saat kedai telah tutup, Jung Ah harus mencuci semua peralatan memanggang. Tak jarang ia selesai mengerjakan pekerjaannya jam dua dini hari. Tulang-tulang Jung Ah seperti remuk, tapi gadis itu tak punya pilihan. Hanya itu satu-satunya cara Jung Ah untuk tetap bertahan hidup.

Jung Ho menggandeng tangan Jung Ah berjalan menuju ke sebuah meja yang telah ia reservasi sebelumnya dengan diantar seorang pelayan.

Jung Ah merasa canggung dan gestur tubuhnya kaku. Bagaimana tidak, restoran itu terlampau elegan dan mewah untuk seseorang seperti dirinya. Sementara tempat itu dipenuhi dengan orang-orang yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Jelas itu bukan dunia Jung Ah.

"Rileks saja," bisik Jung Ho yang bisa menangkap gelagat canggung yang diperlihatkan adiknya. Ia mempersilakan Jung Ah untuk duduk lebih dulu.

Jung Ah hanya mengulum senyum getir di bibirnya, sementara Jung Ho memesan makanan untuk mereka berdua.

"Sebenarnya aku baru pertama kali ini datang ke restoran ini," ungkap Jung Ho mengawali obrolan ringan sembari menunggu pesanan mereka dibuat. Ia hanya ingin membuat Jung Ah merasa nyaman. "Kelak kita bisa sering-sering pergi kemari. Itupun kalau kau suka dengan tempat ini dan makanannya."

"Pasti mahal, kan?"

Harga makanan di restoran itu tidak akan sebanding dengan harga satu porsi daging babat di kedai milik orang tua angkat Jung Ah. Mana bisa daging sapi berkualitas dibandingkan dengan daging perut yang biasa dikonsumsi kalangan bawah semacam Jung Ah?

Jung Ho mengembangkan tawa, tapi tak mau menjelaskan detail harga makanan di sana.

"Anggap saja ini pesta untuk merayakan pertemuan kita setelah 15 tahun terpisah."

Jung Ah tak sependapat. Gaya hidup Jung Ho terlampau tinggi untuk digapainya.

"Kenapa kita tidak hidup seperti orang biasa saja? Aku tidak terbiasa dengan semua ini. Mungkin agak sulit bagiku menyesuaikan diri."

"Kau bisa belajar mulai dari sekarang, Jung Ah. Aku akan mengajarimu semua hal. Kau tahu, aku tidak mau melihatmu seperti sebelumnya. Kau tidak pantas memakai pakaian lusuh seperti itu. Kau tidak boleh bekerja keras dan cukup menikmati hidup. Biarkan aku yang bekerja. Kau mengerti?"

Batin Jung Ah bergolak. Namun, bibirnya tetap bungkam.

Pelayan datang di saat gadis itu masih sibuk dengan pikirannya. Dua porsi steik daging sapi yang masih panas tersaji di hadapan Jung Ah sesaat kemudian.

"Kau harus banyak makan daging, Jung Ah. Kau tahu, tubuhmu terlalu kurus. Kau harus menambah sedikit bobot tubuhmu," ucap Jung Ho tanpa memandang ke arah lawan bicaranya. Pria itu sibuk memotong-motong daging di depannya dan setelah selesai, ia justru menukar piringnya dengan piring milik Jung Ah. "Makanlah."

Jung Ah melongo melihat tingkah kakaknya. Tapi, ia tidak protes. Toh, Jung Ho bukan orang lain. Pengorbanannya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap berlebihan.

"Bagaimana rasanya?" Jung Ho sengaja menunggu Jung Ah agar mencicipi steik miliknya lebih dulu dan meminta komentarnya.

"Ini lembut dan rasanya enak," ucap Jung Ah setelah berhasil mencicipi sepotong daging steik.

"Apa itu artinya kita bisa datang ke sini lagi kelak?"

Jung Ah melepaskan tawa. Kepalanya mengangguk. Jika ada kesempatan, kenapa tidak?

"Aku ingin pergi ke banyak tempat bersamamu, Jung Ah. Aku juga ingin makan makanan enak bersamamu. Kita harus menebus 15 tahun itu dengan menciptakan kenangan indah."

"Kita juga harus mengunjungi ibu dan ayah. Mereka pasti merindukan kita berdua," usul Jung Ah yang selama ini tak pernah melupakan mendiang kedua orang tuanya seharipun. Sementara itu, Jung Ah sama sekali tak menaruh simpati pada kerabat kedua orang tuanya yang dulu terang-terangan menolak untuk merawat ia dan Jung Ho. Pasalnya selain menelantarkan Jung Ho dan Jung Ah, mereka mengambil alih harta peninggalan kedua orang tuanya. Entah bagaimana keadaan mereka sekarang.

"Ya, tentu. Kita akan pergi ke sana. Aku akan meluangkan waktu dalam waktu dekat ini."

Ponsel milik Jung Ho tiba-tiba berdering dan mengusik acara makan malam mereka.

"Aku mengangkat telepon dulu," pamit Jung Ho usai melihat ke layar ponselnya. Sebuah panggilan masuk datang dari seseorang yang tampaknya penting bagi Jung Ho.

Jung Ho bergegas menuju ke arah pintu keluar restoran untuk menerima panggilan yang masuk ke ponselnya.

Jung Ah kembali melanjutkan makannya sendirian selama Jung Ho pergi menjawab panggilan telepon. Pasti itu telepon penting tentang pekerjaan, tebak Jung Ah seraya melanjutkan makan.

"Permisi."

Suara sapa itu mengundang Jung Ah untuk mengangkat dagu. Sesosok tubuh pria telah berdiri di dekat meja Jung Ah, membuat gadis itu seketika tertegun.

Pria itu tampak sepantaran dengan Jung Ho. Hanya saja perawakannya lebih kurus dan pakaian yang melekat di tubuh pria itu sedikit aneh. Kemeja yang bersembunyi di balik jaket kulitnya berwarna kuning gading. Sementara celana denimnya berwarna biru tua dan tampak agak lusuh. Sepatunya juga terkesan kotor. Kontras dengan pemandangan di dalam restoran.

Jung Ah bingung. Ia merasa tidak mengenal pria asing itu, sementara Jung Ho masih belum kembali ke meja mereka.

"Apa Anda berbicara denganku?" tanya Jung Ah ingin memastikan jika pria asing itu memang mengajaknya berbicara. Gadis itu menggunakan bahasa yang sopan.

Pria asing itu mengulum senyum. Kepalanya sedikit mengangguk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top