#06
"Apa kau senang hari ini?"
Restoran cepat saji yang menawarkan roti isi sebagai menu andalan mereka tampak cukup penuh siang ini. Ketika berangkat menuju pusat perbelanjaan, Jung Ah sempat melihat restoran itu dan merekomendasikan pada Jung Ho agar mereka mampir di sana sebelum pulang. Kenyataannya Jung Ho tidak keberatan, meskipun pada awalnya ia berencana ingin mengajak Jung Ah ke restoran steik daging sapi khas Korea.
Jung Ah yang baru saja menggigit roti isi sayuran dan daging sapi di tangannya tampak mengangguk riang. Mulutnya penuh, sehingga kedua pipi kurusnya tampak menggembung.
"Pelan-pelan makannya," cetus Jung Ho menasihati. Tangannya terulur ke bibir Jung Ah untuk membersihkan sisa makanan yang menempel di sana.
"Aku bukan anak kecil lagi, Kak Jung Ho," ucap Jung Ah seolah tak terima diperlakukan penuh perhatian seperti itu. Ia berusaha membersihkan bibirnya sendiri dengan menahan rasa malu.
Jung Ho tersenyum geli melihat tingkah Jung Ah. Tiba-tiba saja ia merasa kembali ke masa lalu.
Dulu Jung Ah masih sangat kecil ketika mereka diserahkan ke panti asuhan usai kedua orang tua mereka meninggal dunia. Sanak kerabat mendiang kedua orang tua mereka tidak bisa diandalkan sama sekali. Mereka enggan untuk merawat kakak beradik itu dengan berbagai alasan. Alhasil setelah diadakan rapat keluarga, mereka memutuskan untuk menyerahkan Jung Ho dan Jung Ah ke panti asuhan.
Pertama kali tinggal di panti asuhan itu Jung Ah terus menangis sepanjang malam dan tidak mau makan. Akibatnya gadis kecil itu mengalami demam tinggi selama tiga hari berturut-turut. Saat itu Jung Ho merasa ketakutan Jung Ah akan meninggal. Karenanya ia terus berjaga di samping Jung Ah hingga gadis kecil itu sembuh.
"Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu," gumam Jung Ho dengan sepasang mata menerawang ke belakang kepala Jung Ah. "Dan aku telah melewatkan 15 tahun hidupku tanpa melihatmu." Genggaman tangan Jung Ho seolah membeku. Roti isinya berkurang beberapa gigitan saja, tapi pria itu tampak kehilangan selera makannya.
Jung Ah menghela napas panjang.
"Haruskah Kak Jung Ho merusak kebahagiaan kita?" protesnya. "Kenapa kita tidak melupakan bagian buruk itu dan membahas hal-hal yang baik?"
"Ya, kau benar," sahut Jung Ho tersadar dari keharuannya. "Kita akan memulai hidup kita yang baru. Mari kita tinggalkan masa lalu dan menyongsong kebahagiaan."
"Apa Kak Jung Ho masih bercita-cita ingin membuka kedai tteokbokki?"
"Tidak."
"Lantas? Apa yang Kak Jung Ho lakukan sekarang? Apa begitu mudah menjadi orang kaya?" Jung Ah mulai menunjukkan rasa ingin tahunya.
Jung Ho melengkungkan seulas senyum di bibirnya.
"Jika untuk menjadi orang kaya begitu mudah, tidak ada orang miskin di negara ini, Jung Ah."
"Memang apa pekerjaan Kak Jung Ho?"
"Aku bekerja di agen perumahan. Kalau ada seseorang yang ingin membeli, menyewa atau menjual rumah, mereka bisa menghubungiku. Bukan hanya rumah saja, tapi bisa apartemen atau gedung," tutur Jung Ho dengan bahasa yang sederhana. "Simpan ini untukmu." Tiba-tiba saja Jung Ho menyodorkan selembar kartu kredit ke hadapan Jung Ah yang masih bengong.
"Apa ini?" Jung Ah menatap kartu itu, lalu beralih pada Jung Ho.
"Itu kartu kredit. Kau bisa memakainya untuk berbelanja apa saja. Kalau kau ingin membeli sesuatu, kau tidak perlu meminta izin padaku. Mengerti?"
Jung Ah bungkam. Segala hal yang dulunya hanya sebatas angan-angan kosong, kini terwujud satu demi satu seperti mimpi. Kebahagiaan itu bukan halusinasi yang tak bisa digenggam.
"Jangan katakan kau tak butuh apapun," ujar Jung Ho yang bisa dengan jelas menangkap keraguan di tangan Jung Ah yang tak kunjung meraih kartu di atas meja. "Ambil dan simpanlah."
Jung Ah bersedia menerima kartu itu setelah Jung Ho berusaha meyakinkan gadis itu dengan cara yang halus.
"Bagaimana keadaanmu selama di kedai? Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?"
Sesungguhnya Jung Ah enggan membahas masa lalu atau hal-hal yang telah ia tinggalkan. Namun, entah kenapa Jung Ho seolah ingin mengungkit kehidupan Jung Ah, sementara ia sendiri berusaha menyembunyikan kehidupan masa lalunya.
"Ya, mereka memperlakukanku dengan baik," sahut Jung Ah tanpa menatap mata kakak kandungnya.
"Apa setiap hari kau harus mencuci benda-benda itu sampai malam?" desak Jung Ho seolah dikuasai rasa penasaran.
"Itu alat pemanggang daging," ralat Jung Ah. "Ya, aku melakukan itu setiap hari. Mereka telah berbaik hati menampungku, jadi aku harus membalas budi mereka," jelas Jung Ah.
"Tapi itu tidak manusiawi, Jung Ah. Apa kau harus mencuci sebanyak itu?"
"Itu sebanding dengan apa yang kudapat di sana," tukas Jung Ah yang sejak awal tidak nyaman dengan topik perbincangan itu.
Jung Ho terdiam. Mendengar ucapan Jung Ah tadi justru menumbuhkan satu penyesalan lagi dalam benaknya. Andai saja ia lebih cepat menjemput Jung Ah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top