Tujuh
Belum aku edit karena baru banget kelar ditulis. jadi typo dan kalimat yang janggal mungkin masih betebaran. Semoga nggak ganggu. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...
**
Kekesalan yang kubawa dari kantor masih terasa saat aku sudah sampai di rumah. Bisa-bisanya si Bayi Digda membanting pintu ruanganku. Seandainya dia bukan keponakan Pak Badhra, dan kakeknya bukan pemilik grup ROEKMANA tempat perusahanku bekerja bernaung, aku tidak akan ragu-ragu membujuk Pak Badhra untuk memecatnya. Tidak menghormati atasan itu sudah termasuk dalam pelanggaran besar, kan? Bagaimana pendelegasian pekerjaan dapat dilakukan kalau anak buah suka membangkang?
Masalahnya, meskipun kedudukan Bocah itu masih di bawahku sekarang, pengaruhnya jelas tidak bisa dibandingkan dengan aku yang bukan siapa-siapa. Kalau dia berniat balas menentangku, aku akan lebih berpotensi untuk kehilangan pekerjaan. Dan itu kemungkinan yang mengerikan. Jadi mau tidak mau, aku harus menahan kekesalan yang membuncah dalam hati.
"Mbak, nggak makan?" Cei, adikku membuka pintu kamarku tanpa mengetuk. Kebiasaan jelek yang entah sudah berapa juta kali aku coba koreksi, tetapi tidak berhasil. "Mama nyuruh turun sekarang, sebelum mejanya diberesin. Udah malam banget ini."
Aku sebenarnya tidak punya nafsu makan, tetapi melewatkan makan malam dengan risiko mengalami gangguan lambung hanya karena si Bocah Digda rasanya tidak sepadan. Aku lantas menyusul Cei yang lebih dulu turun.
"Kalian berdua kayak anak kecil aja," Mama menyambut dengan omelan di meja makan. Khas Mama. "Umur aja yang gede, tapi urusan makan aja masih harus diingetin."
"Lo juga belum makan?" Aku menoleh pada Cei yang duduk di sebelahku. "Gue pikir lo cuman nyuruh gue turun aja karena lo udah makan."
Cei cengengesan. "Keasyikan chatting sama Coel," dia menyebut nama panggilan kesayangan buat pacarnya.
Aku mengambil piring berisi nasi yang disodorkan Mama, tetapi masih fokus ke Cei. "Memangnya lo tadi nggak ketemu Coel?" Cei dan Coel kerja d satu gedung, meskipun di perusahaan yang berbeda.
"Memang kalau tadi ketemuan, sekarang nggak boleh chatting? Aturan dari mana tuh?"
Aku mengedik. Ya memang tidak ada aturan yang melarang sih, tapi apa tidak bosan? Sudah ketemuan siang, malamnya masih dilanjutkan lewat ponsel lagi.
"Mbak udah terlalu lama jomlo sih. Feeling udah karatan. Tumpul. Udah berapa lama sih putus dengan Mas Yoga? Lima tahun?"
"Empat tahun!" balasku sengit. Mentang-mentang hubungannya dengan Coel adem-adem saja selama lima tahun terakhir, seenaknya menggoda kakak sendiri.
"Nggak bosen tuh jomlo melulu? Tampang oke, penampilan yahud, eh, gandengan malah nggak ada."
"Nggak perlu nyari yang sempurna, Ken," Mama ikut-ikutan mendukung Cei. "Namanya juga manusia, nggak bakal ada yang sempurna. Asal dia bisa terima kamu apa adanya, dan punya kerjaan tetap, itu sudah cukup. Kamu kan nggak tambah muda juga tiap tahun."
Harus ya diingatkan kalau usiaku sudah kelewat matang?
"Iya, Mbak. Kalau Mbak udah ketemu jodoh, gue juga kan nggak perlu ngulur waktu buat Coel. Orang tuanya udah mulai sering nanyain kapan bisa ngelamar gue."
"Gue nggak keberatan kalau lo nikah lebih dulu kok." Kami sudah pernah membicarakan soal ini karena aku memang merasa Cei yang sudah mantap dengan Coel akan membangun rumah tangga lebih dulu daripada aku yang bahkan belum melihat bayangan calon jodohku. "Gue nggak akan minta pelangkah yang aneh-aneh. Kecuali kalau lo emang niat ngasih."
Cei langsung cemberut. "Yang lebih mapan siapa, yang niat morotin siapa!"
"Mama lebih suka kalau Kenzie menikah lebih dulu," sela Mama. "Takut jodohnya makin susah kalau dilangkahi."
Aku menatap Mama protes. "Ya ampun, Ma. Itu mitos zaman Majapahit, saat raja-raja masih naik kuda ke mana-mana. Sekarang raja sudah pakai kuda besi yang minum bensin. Kudanya udah ganti nama jadi supercar" Tidak masuk akal membawa-bawa hal berbau mitos semacam itu di era digital seperti sekarang. "Coel bakalan putusin Cei dan akan cari perempuan lain buat nikah kalau digantung terus karena nunggu aku ketemu jodoh lebih dulu."
"Duh, kok malah doain gue putus sama Coel sih, Mbak," gantian Cei yang protes, tidak terima. "Serem amat."
"Gue nggak doain. Gue cuman mau bantu lo aja yakinin Mama supaya bisa nikah lebih dulu daripada gue. Emang lo beneran mau nunggu gue ketemu jodoh dulu sebelum nikah? Gimana kalau gue masih lama nemu jodohnya, coba?"
"Nggak mungkin lama kalau kamu nggak pilih-pilih, Ken." Mama belum berniat mengalah. Dia sekarang sudah mencondongkan tubuhnya ke arahku. Gaya untuk memersuasi. Aku sudah hafal. Mama akan bersikap seperti ini saat dia butuh aku menyetujui pendapatnya.
"Ya nggak mungkin aku juga juga langsung nyambar saat ada yang tertarik sama aku kali, Ma. Harus kenal dulu supaya bisa yakin nggak salah pilih, kan? Putus pas masih pacaran mendingan, daripada nanti cerai setelah nikah kalau nggak cocok. Iya, kan?"
"Cobain Tinder aja dulu, Mbak. Jodoh kan nggak tahu datangnya dari mana. Bisa jadi jodoh Mbak Kenzie harus kejar di App store."
"Nggak ada aplikasi-aplikasi," bantah Mama cepat. "Kurang kerjaan banget sampai nyari jodoh harus lewat internet juga. Internet itu cukup buat untuk pesan taksi dan beli makanan, nggak usah untuk cari jodoh juga. Daripada ketemu orang nggak jelas di internet, Mama lebih suka kalau Mama saja yang cariin kamu jodoh. Anak teman Mama pasti masih ada yang belum nikah. Mending yang ketahuan jelas keluarganya daripada laki-laki yanh entah dari mana."
Aku buru-buru menggeleng. Dijodohkan orangtua itu horor. Aku tidak semenyedihkan itu. Lagi pula, alasan aku jomlo seperti sekarang bukan karena aku kurang pegagum. Seperti yang sudah pernah aku bilang sebelumnya, aku menunggu reaksi tubuh dan hatiku saat bertemu orang yang tepat itu. "Aku nggak butuh bantuan Mama buat nemuin jodoh. Makasih."
"Gedung kantor kamu kan gede banget, Ken. Masa nggak bisa nemu yang cocok sih? Kamu kan nggak butuh banyak-banyak. Satu saja kan sudah cukup buat seumur hidup."
Aku mendelik. Mulut Mama kenapa jadi tidak sopan seperti itu? Untung mama sendiri, kalau bukan, sudah aku kutuk jadi patung untuk menemani patung Selamat Datang supaya ramai.
**
Pintu ruanganku diketuk dan si Bayi Digda masuk. Dia duduk di depanku tanpa menunggu aku persilakan. Aku meliriknya dengan sudut mata sejenak, sebelum kembali menatap layar komputer. Aku tidak memanggilnya menghadap, berarti dia yang ingin mengatakan sesuatu. Jadi aku memilih menunggu tanpa berniat mengajaknya bicara lebih dulu.
"Mbak Kenzie, saya mau bicara," katanya setelah berdeham.
Aku masih memainkan keyboard. Ini memang sedikit kekanakan, tapi aku masih kesal. Seandainya saja dia jenis orang yang bisa kuusir dari ruanganku, aku sudah menendang bokongnya begitu dia masuk tadi.
"Mbak Kenzie, saya mau bicara," Bocah itu mengulang lebih keras.
"Bukannya itu sudah bicara?" Aku tetap tidak melihatnya. "Lanjutkan saja, saya dengar kok."
"Tapi Mbak Kenzie nggak lihat saya."
"Saya dengar kamu bicara pakai telinga, bukan pakai mata."
"Tapi orang kalau bicara tanpa eye contact nggak enak lho, Mbak."
"Saya sih enak-enak saja. Jadi kalau kamu merasa nggak enak, itu urusan kamu, kan?" Padahal dalam hati aku mengakui kebenaran ucapan anak itu. Kontak mata saat bicara dengan seseorang bukan saja membuat hubungan dan percakapan lebih terkoneksi, tetapi juga melambangkan penghormatan. Tapi Bocah ini sama sekali tidak berhak mendapatkan penghormatan itu setelah menjadikan aku olok-olok, kan?
"Oke," Anak itu mendesah. "Saya mau minta maaf sama Mbak Kenzie. Yang saya lakukan kemarin itu memang salah dan kasar. Saya nggak seharusnya membanting pintu Mbak. Saya hanya melihatnya dari sudut pandang saya saja. Saya sama sekali nggak memikirkan kalau Mbak Kenzie mungkin saja merasa kurang nyaman dengan perlakuan saya di kantor. Apalagi Mbak Kenzie atasan langsung saya."
Nah, itu pintar. Coba kalau dari kemarin-kemarin dia sadar, hubungan kerja kami tidak akan canggung.
"Hanya saja, saya laki-laki. Dan laki-laki akan berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saya juga begitu. Saya suka sama Mbak Kenzie, jadi saya mencoba melakukan apa pun yang saya pikir bisa membuat Mbak Kenzie melihat saya sebagai seorang laki-laki, bukan hanya sebagai staf saja."
Kali ini aku melepaskan jari-jariku dari keyboard dan menatap anak itu gusar. Katanya mengerti? "Tapi saya juga sudah bilang kalau...."
"Maaf, tapi saya belum selesai, Mbak," Bocah Digda memotong kalimatku. "Saya sudah bilang kalau saya mengerti posisi Mbak Kenzie yang nggak nyaman dengan perlakuan saya di kantor. Itu nggak akan terjadi lagi. Saya akan bersikap profesional. Saya nggak akan melakukan apa pun yang nggak Mbak Kenzie suka."
Akhirnya.... Akhirnya otak Bayi ini tumbuh juga. Terima kasih, Tuhan. "Baguslah kalau begitu."
Si Bocah memamerkan senyum lebar. "Iya, Mbak, hubungan kita akan sangat profesional di kantor. Tapi, saya bisa ketemu Mbak Kenzie di luar kantor, kan? Saya bisa ke rumah Mbak Kenzie saat weekend, dan kita bisa jalan sama-sama supaya Mbak bisa kenal saya lebih jauh. Kan, kata pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Saya...."
"Apa??!" Aku melotot sampai merasa bola mataku nyaris menggelinding keluar dari rongganya. Anak ini benar-benar gila, padahal baru saja aku pikir dia sudah mendapatkan kewarasannya kembali. "Keluar!"
**
Kabarin kalau bintangnya udah 2K ya. Atau aku akan cek komen. Kalau jumlah komennya memuaskan, sebelum bintangnya cukup, aku akan tetap update. Tengkiuuu...
Oh ya, follow Instagram @titisanaria untuk info novel yang coming soon. Semoga nggak pakai lama lagi karena proof read tahap 2 udah kelar. Tinggal nunggu kover doang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top