Sepuluh
Kalau takut puasanya makruh karena percakapan Helen dan Dini, bacanya tunggu buka aja deh. Hehehe... Makasih untuk bintangnya, ya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...
**
Menjelang makan siang, aku menuju meja sekretaris direktur sambil bersenandung. Ini hari yang indah. Tadi pagi matahari bersinar cerah, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan turun hujan seperti hari-hari sebelumnya. Langkahku juga jadi terasa ringan. Yeayyy.... Selamat datang kebebasan. Selamat tinggal penderitaan. Aku bahkan bisa mencium aroma kebahagiaan menghampiriku. Mulai saat ini, aku tak perlu mengkhawatirkan soal kerutan dan muka masam lagi. Karena terhitung sejak hari ini, si Bayi Digdaya sudah tidak berada di divisi aku lagi. Bahkan juga tidak kantor kami lagi. Dia sudah pindah ke lantai teratas gedung ini. Hahahaha....
Iya, mungkin reaksiku akan terdengar dan terlihat berlebihan bagi sebagian orang, tapi bukan mereka yang hampir setiap hari menahan kekesalan karena berhadapan dengan bayi yang belum kenal kalimat penolakan itu. Seandainya mereka yang berdiri dan memakai sepatuku untuk berjalan, aku yakin mereka akan memahamiku.
Helen tidak sedang sendiri di mejanya. Ada Dini yang sudah lebih dulu nongkrong di sana. Aku tadi memang sempat melihat Pak Badhra keluar dari kantor.
"... keluar di dalam. Pusing gue jadinya." Wajah Dini tampak hopeless. Dia jarang mengeluh, jadi aku penasaran.
"Apanya yang keluar di dalam?" Aku hanya mendengar sepenggal kalimat Dini.
"Ini si Dini, bego banget. Katanya nggak mau hamil dulu, tapi mainnya malah keluar di dalam."
Percakapan seperti ini sudah amat sangat biasa kalau punya teman mesum yang sudah menikah. Beberapa tahun terakhir, aku sudah sangat familier. Awalnya memang risi juga mendengar omongan Helen dan Dini yang selalu berbau film triple XXX, tapi lama-lama sudah biasa.
"Biasanya pakai kondom, kan?" Kedua temanku ini juga pernah membahas alat kontrasepsi yang mereka pakai, jadi meskipun tidak ingin tahu, aku jadi hafal.
"Udah telanjur foreplay baru ketahuan kalau kondomnya habis." Dini cengengesan seperti orang salah obat. "Ya, nggak mungkin keluar beli lagi. Yang ada malah keburu hilang mood-nya. Lo belum tahu aja kalau sudah turn on itu gimana."
"Gue kan sudah bilang suntik aja, atau IUD. Biar nggak repot nyari-nyari kondom. Langsung terjang aja."
Aku menggeleng-geleng. Percakapan yang sangat berfaedah untuk pengantar makan siang.
"Gue males efek sampingnya kalau hormon. Ntar gue flek dan jerawatan lagi. Belum lagi kalau selera makan gue naik. Ogah gendut gue! Masa laki gue lebih langsing? Apa kata dunia kalau laki-laki setampan laki gue punya bini seukuran tandon?"
"Ya, kalau gitu, udah risiko bablas sih," Helen menasihati dengan gaya seperti ibu guru "Emang kenapa nggak dikeluarin di luar aja?"
Dini mengerang dengan wajah mesum. "Tanggung, lagi enak banget. Laki gue emang niat awalnya gitu. Tapi gue bilang, gue bunuh dia kalau berani tarik sebelum gue nyampe."
Ya Tuhan, dasar orang gila!
"Guys, ngomongin yang lain, napa?" Omongan Dini betul-betul membuat pikiranku ikut kotor karena jadi membayangkan adegannya.
Helen mengibas. "Ntar, kalau lo udah nikah, mulut lo bakal lebih jorok dari kita-kita. Sekarang aja bakatnya udah kelihatan."
Aku hanya bisa cemberut.
"Jadi gue harus gimana dong?" Sekarang raut putus asa Dini kembali lagi. "Enaknya bentar doang, stress-nya berkepanjangan. Gue belum pengin hamil sekarang. Tunggu anak gue gedean dikit."
"Lo minum pil KB sekaligus 3 biji hari ini. Besoknya minum 2. Dijamin nggak jadi. Asal lo jangan minum yang plasebonya aja." Helen gantian cengengesan. "Gue juga pernah gitu sih. Resep dari suami gue. Nggak percuma dia jadi dokter obgin."
"Beneran berhasil?" Dini tampak skeptis. "Soalnya sekarang lagi masa subur gue nih. Dan lo kan tahu gue subur banget. Kalau nggak jaga-jaga, anak gue udah lebih dari satu, kali. Dilempar kangcut aja bisa hamil gue!"
"Lo nggak percayaan amat. Laki gue sekolah beberapa tahun buat ngurusin alat reproduksi orang." Helen terkikik. "Ya ampun. Kita samaan, Nek. Gue dilangkahin sama laki gue aja langsung mblendung."
"Eh, laki lo tuh kemungkinan selingkuhnya gede lho," kata Dini lagi. "Saban hari ngubek-ngubek bagian situ, kan? Kalau ketemu perempuan cakep dan liatin onderdilnya, masa nggak kepengin? Bayangin, sekali ngelus, langsung di bagian sensitif lho. Apalagi laki lo kan cakep banget, kali aja pasiennya yang kegenitan. Begitu dipegang langsung mendesah-desah, masa nggak ikut terbawa suasana sih?"
Helen langsung mendelik sebal. "Laki gue kalau kerja, sensor rasa dimatiin. Lagian, dia juga nggak pernah sendirian di praktik dan rumah sakit. Ada bidannya. Dan di praktik, bidannya udah senior. Berumur. Nggak mungkinlah laki gue mau selingkuh sama dia. Laki gue tuh hanya punya rasa ke gue. Kalau sama pasien sih adem-adem aja. Tapi lihat potongan kuku gue berhamburan di lantai aja dia langsung horny dan sekap gue di kamar." Dia terkikik lagi.
Aku mengangkat kedua tangan di samping bahu. "Guys, gue beneran nggak kepengin tahu apa yang bikin laki lo berdua horny deh. Kita bisa turun makan sekarang? Gue yang traktir. Lo boleh pilih tempat."
"Baik amat, Neng. Kita mau ngerayain sesuatu?" Dini akhirnya menegakkan tubuhnya yang sejak tadi bersandar di meja Helen.
Helen berdecak. "Gue tahu. Paling juga buat ngerayain pindahnya si Digda, kan?"
"Lo tahu?" Aku menatap Helen takjub. "Gue kan baru mau cerita. Jadi nggak asyik!"
"Yaelah, nggak mungkinlah gue nggak tahu, Ken. Gue kan sekretaris Pak Badhra. Semua surat harus lewat sensor gue dulu. Lagian, seneng amat si Digda pindah. Bukannya malah sepi? Lo nggak ada hiburan lagi, kan?"
"Iya, gue juga menikmati kok liat lo sok jual mahal sama Digda," Dini ikut menambahi. "Pura-pura nggak butuh, tapi seneng dikejar-kejar."
Aku tertawa. Percuma menanggapi mereka. "Terserah lo berdua mau bilang apa. Yang jelas, gue senang banget bayi itu udah nggak ada di sini. Gue bisa kerja lebih tenang biar bisa mencapai target. Gue udah bisa mengendus bau bonus akhir tahun nih."
"Denial jangan lama-lama, Ken. Ntar galau dan bapernya juga berkepanjangan." Helen bicara sambil mengemasi tasnya, bersiap untuk turun.
"Obat anti galau dan anti baper belum ditemukan lho, Ken. Saran gue, sebelum lo gigit jari karena si Digda kepincut perempuan lain, kekepin deh. Enakan juga gigitin bibir dia, daripada gigit jari lo sendiri."
Tawaku makin keras. "Makasih deh untuk perhatian lo berdua. Gue beneran terharu sampai pengin nangis dengerin saran nggak berguna lo-lo pada, tapi gue nggak akan ngemut dan gigit bibir bayi. Bau ASI, apa enaknya?"
"ASI lo?" sambar Dini cepat. "Gue yakin dia suka banget."
Aku mendelik "Sialan!" Tapi aku tidak akan terpancing. Mari kita nikmati hari pertama dari awal masa depanku yang gemilang, terbebas dari bayang-bayang si Bayi Digdaya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top