Sembilan

Pergerakan vote lambaaaattt banget, jadi update-nya juga lambat. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Si Bayi Digda sedang duduk santai bersama Mama dan Cei di ruang tamu saat aku turun. Nyalinya benar-benar besar. Aku sama sekali tidak menyangka dia akan berani datang ke rumahku. Ucapannya beberapa hari lalu tentang hendak berkunjung itu hanya aku anggap gurauan iseng. Ya kali, dia masih berani datang setelah aku usir keluar dari ruanganku. Ternyata aku salah menilai kadar kenekatan bayi ini.

"Ada perlu apa?" Aku tidak merasa perlu duduk untuk menyambutnya. Dia harus segera merasa tidak diinginkan supaya buru-buru angkat kaki dari sini. Dia tidak boleh punya setitik pun rasa nyaman berada di sini. Datang ke rumahku seperti ini adalah pelanggaran privasi.

"Kenzie," Mama langsung menegur. "Sama temannya kok gitu amat sih? Nggak sopan."

Bersopan santun hanya akan membuat Digda ngelunjak. Digalakin saja dia masih tahan banting, apalagi kalau dihadapi dengan manis. Bisa-bisa dia tinggal sampai makan siang. Kalau itu benar-benar terjadi, level keberaniannya akan melesat seperti peluru yang ditembakkan ke udara.

Anak itu langsung tersenyum lebar. Dia benar-benar tidak belajar dari pengalaman. Senyum selebar apa pun tidak akan membuatku luluh. Yang ada aku malah semakin sebal karena merasa menjadi pemilik bumerang. Berulang-ulang dilempar menjauh, tetapi ujung-ujungnya tetap balik juga. "Kan saya sudah bilang akan main di rumah Mbak Kenzie weekend ini."

Emosiku seketika naik. "Dan saya nggak ingat pernah bilang kamu boleh main ke sini." Kesehatan mentalku lama-lama akan terganggu karena anak ini. Frekuensi marahku akhir-akhir ini semakin sering. Ini tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa aku keriput dini. "Rumah saya bukan tempat main, Digdaya. Kalau kamu mau main, kamu bisa ke Time Zone. Beli voucher yang banyak dan tinggal seharian di sana. Atau ke Dufan. Atau kebun binatang, main dengan singa di kandangnya. Atau di mana sajalah, tapi nggak di sini."

"Kenzie!" Suara Mama kali ini terdengar lebih keras. "Kok kasar banget sih?"

Tentu saja harus kasar karena Digdaya, seperti bayi-bayi lain yang ada di dunia, belum terlalu mengerti komunikasi verbal. Buktinya, apa pun yang kukatakan kepadanya hanya lewat di telinganya, tidak mampir di otak untuk diproses dan kemudian dipahami.

"Rin, bikinin minum gih!" Cei ikut mengompori.

"Dia nggak haus!" jawabku cepat. Kalau disuguhi minum, anak ini akan makin betah. Dia bisa disorientasi dan tidak bisa menemukan jalan menuju pintu depan untuk pulang. "Sudah mau pulang juga."

"Haus kok, Mbak. Beneran." Digdaya tersenyum pada Ririn yang menatapnya setengah melongo.

"Kakak mau minum apa?" sambar Ririn cepat, padahal dengan pose seperti itu, aku pikir dia sudah kehilangan kontak dengan bumi. "yang panas apa yang dingin?"

"Apa aja boleh."

"Yang dingin deh, Rin." Cei langsung membuat keputusan untuk tamu tak diundang kami. "Telinga dan kepala dia pasti udah panas banget dengerin omongan Mbak tercinta kita ini."

"Bentar ya, Kak. Nggak lama kok." Ririn langsung melesat ke dalam.

Aku menatap Mama dan Cei protes. Kenapa mereka jadi betah duduk di sini? Ada peraturan tidak tertulis di dalam rumah ini tentang urusan tamu. Hanya yang berkepentingan dengan tamu tersebut yang akan menemui dan menemaninya. Aku akan kesulitan mengusir anak ini kalau Mama dan adik-adikku ikut bergabung di ruang tamu. Sekarang saja Mama sudah melontarkan protesnya tentang caraku menghadapi anak ini.

"Lo nggak ada kerjaan di dalam?" sindirku kepada Cei.

"Nggak ada," jawab Cei sambil tersenyum dengan sorot yang dibuat polos.

Aku hanya bisa mendesah dan terpaksa duduk. Aksi usir-mengusirnya mau tidak mau harus dihentikan. Kenapa nasibku jadi sesial ini? Aku tidak masalah dikejar-kejar laki-laki sepantaran atau lebih tua, tapi anak kemarin sore? Duh, sebaiknya jangan. Aku tidak mau terlihat konyol. Apalagi kalau anak kemarin sore itu terlihat seperti Digdaya yang sepintas tampak belum lama mendapatkan mimpi basah pertamanya.

Hei, aku tidak bermaksud menyinggung perempuan lain yang memilih untuk punya pasangan lebih muda. Itu hak mereka. Aku hanya tidak pernah bermimpi ikut bergabung dalam kelompok itu. Aku pencinta laki-laki yang jauh lebih matang daripada aku sendiri. Hidup adalah pilihan, dan berondong tidak masuk dalam opsi yang akan aku pilih. Aku tidak akan bergandengan tangan dengan laki-laki yang terlihat seperti remaja tanggung, padahal tubuhku sendiri tampak sama matang dengan usiaku. Aku bangga dengan bentuk tubuhku yang ideal dan proporsional, meskipun dengan cup bra yang satu nomor di atas kebanyakan orang. Sedikit lebih besar, tapi tidak berlebihan. Aku tahu kalau aku terlihat seksi. Tubuh perempuan dewasa. Aku akan terlihat seperti tante-tante di samping Bayi Digdaya.

"Nak Digda sudah lama kerja sama-sama Kenzie?" Mama bertanya manis penuh perhatian. Melihat gelagatnya, aku merasa dia jelas mengerti kalau maksud kedatangan si Bayi Digdaya ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

"Sudah satu tahun, Bu."

Ririn datang dan meletakkan gelas berisi minuman dingin di depan tamu tidak tahu diri kami. "Diminum, Kak." Dia ikut duduk sambil memangku teko.

Ada apa dengan orang-orang di rumahku hari ini?

"Makasih."

"Sama-sama. Mbak Kenzie di kantor juga cerewet banget ya, Kak?"

Si Bayi cengengesan jelek. "Kadang-kadang, nggak selalu kok. Mbak Kenzie baik banget kok."

Aku mendengkus. Basi.

"Kakak ada turunan Korea gitu ya, Kak?" Ririn tampaknya tidak punya keinginan untuk masuk setelah tugasnya mengantar minuman selesai. Semua orang di rumahku sepertinya kompak untuk terlihat norak hari ini.

"Kakek saya memang dari Korea sih. Kelihatan banget ya?" Bayi itu menoleh ke arahku seolah aku ingin tahu. "Kakek dari Mama. Saya belum pernah cerita, ya?"

Kenapa juga dia harus menceritakan hal seperti itu kepadaku? Hubungan profesional kami tidak mengharuskan aku tahu silsilah keluarga semua stafku. Mau kakeknya dari Korea Rusia, atau Wakanda sekalipun, siapa yang peduli?

"Wah, Kakak ada hubungan keluarga sama Kan Daniel dong? Mirip banget gitu."

"Kang Daniel siapa?" Bayi itu balik bertanya.

"Rin, lo nggak mau ngerjain tugas atau apa gitu?" Aku memutuskan menghentikan interaksi itu, sebelum adikku ini menceritakan obsesinya terhadap semua bintang KPop.

"Ini Weekend, Mbak. Saatnya buat parkir otak." Ririn kembali fokus kepada bayi yang duduk di depannya. "Kakak udah punya pacar?"

Astaga, punya adik blakblakan seperti Ririn bikin malu saja. Kenapa dia harus menanyakan hal sepribadi itu kepada orang yang baru dikenalnya beberapa menit lalu? Anak ini harus diajari tata krama.

"Rin!" Syukurlah Mama tidak ikut-ikutan labil seperti adikku.

"Kan, penasaran, Ma."

"Kalau sudah pacar, weekend gini nggak mungkin main ke rumah kita," Cei menyela. Dia menampilkan raut jail ke arah Digdaya. "Iya, kan, Mas?"

"Digda aja, Mbak." Bayi itu kembali tersenyum lebar, seolah sedang ikut casting iklan pasta gigi. Sok akrab dan sok ramah.

Aku akhirnya bisa mengembuskan napas lega saat melihat Mama lantas berdiri dan memberi isyarat kepada kedua adikku untuk mengikutinya. "Ngobrol sama Kenzie dulu ya, Nak. Tante mau masuk dulu. Anggap saja rumah sendiri. Nggak usah pulang dulu kalau masih betah, meskipun diusir Kenzie. Galaknya itu bawaan dari bayi. Nggak mungkin bisa hilang lagi."

"Makasih, Bu."

Aku menunggu sampai Mama dan kedua adikku menghilang sebelum menampilkan raut terganggu kepada si Bayi Digdaya. "Saya nggak suka kamu tiba-tiba muncul seperti ini di rumah saya!"

"Saya nggak muncul tiba-tiba, Mbak. Saya kan sudah minta izin sama Mbak Kenzie untuk datang ke sini."

Ini seperti mengulangi percakapan kami tadi, jadi aku malas menanggapi dengan kalimat yang sama. Rasanya seperti orang bodoh. "Sebaiknya kamu minum deh, trus pulang. Saya masih mau tidur lagi."

"Saya mau ngajak Mbak Kenzie keluar. Saya juga sudah pernah bilang soal ini , kan?"

Aku mengangkat kedua tanganku, bersikap defensif. "Digdaya, tolong dengar saya. Apa yang kamu lakukan ini benar-benar mengganggu. Sebagai atasan kamu, dan sebagai diri pribadi, saya sangat nggak suka. Ganggu banget."

"Saya juga sudah memikirkan ini sih, Mbak. Dan saya sudah punya solusinya."

Aku tahu kalau aku pasti tidak suka dengan apa yang dia pikirkan dan solusi yang diambilnya. "Saya nggak mau dengar apa pun dari kamu. Saya sudah pernah memperingatkan sekali, dan saya nggak akan mengulanginya lagi sekarang. Saya akan bicara sama Pak Badhra senin nanti."

"Nggak perlu repot-repot, Mbak. Saya sudah bicara sama Pak Badhra duluan kok. Saya nggak akan ada di divisi Mbak Kenzie lagi."

"Really?" Aku tidak berusaha menyembunyikan suka cita yang kurasakan. Ini berita bagus. Helen dan Dini akan mendapatkan tiga hari makan siang gratis untuk berita seperti ini. Akhirnya aku berhasil menendang anak ini dari divisiku. Tuhan memang maha pemurah.

"Iya, beneran, Mbak. Situasinya memang nggak akan sehat kalau saya terus memaksakan diri berada di divisi Mbak Kenzie. Konflik kepentingan juga, kan?"

Apa pun namanya, yang penting aku bisa mendepaknya. Otot-otot di wajahku akan lebih rileks. Aku tidak perlu membeli krim antiaging yang ditujukan kepada perempuan di atas 35 tahun di usiaku yang baru akan 30 tahun. Terima kasih, Tuhan! Beberapa orang memang butuh waktu supaya otaknya bisa berkembang, tetapi tidak masalah. Yang penting, masalahku terpecahkan sekarang. Tidak ada lagi berondong gila yang akan mengganggu hari-hariku dengan memanfaatkan pekerjaannya sebagai stafku.

"Saya harap, setelah saya pindah ke kantor pusat, Mbak Kenzie akan bisa melihat saya secara berbeda, sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan serius dengan pekerjaan. Saya akan menjadi laki-laki mapan seperti yang Mbak Kenzie inginkan."

" Apa??!" Aku menatap bayi itu dengan perasaan ngeri.

Aku mau laki-laki matang dan mapan, Bodoh! Bukan anak kemarin sore meskipun punya tumpukan uang!

**

Untuk setiap update berikutnya, aku punya target vote, meskipun nggak aku sebutin. Kemarin ada pembaca yang komen aku dan bilang, "Kok otornya minta vote terus sih? Iya, emang hak dia, tapi kan... gitulah." Duh, jadi berasa pengemis bintang deh.... hehehehe... Jadi, kalau aku nggak update agak lama kayak sekarang, itu berarti targetnya belum nyampe, ya. Nggak usah ditagih. kalau sampai, akan rutin tiap hari kok.

Oh ya, pantengin Instagram @titisanaria untuk info novel yang coming soon ya. Tengkiu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top