Sebelas
Nyampe juga 2K bintang. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...
**
Menjadi kepala bagian itu tidak selamanya enak. Kalau bicara soal gaji dan bonus, senyum mungkin bisa lebih lebar daripada saat aku masih menjadi staf dulu. Namun saat bergeser ke tanggung jawab, senyum akan sedikit lebih kecut. Aku bertanggung jawab terhadap staf-stafku. Aku memang bisa bisa mendelegasikan pekerjaan, dan itu memang sudah tugasku, tetapi hasil pekerjaan staf adalah tanggung jawabku sepenuhnya. Dan yang menyebalkan itu adalah saat berhadapan dengan staf yang tidak bisa bekerja maksimal, padahal sebelumnya terdengar yakin akan dirinya sendiri.
Itu yang aku hadapi sekarang. Hedy, salah satu stafku duduk gelisah sementara aku memeriksa berkas yang dibawanya. Gelagat dan bahasa tubuhnya jelas menunjukkan kepercayaan dirinya tidak sedang berada dalam level tertinggi.
"Kok jadi kayak gini?" Aku mengurut dahi. Apa yang aku khawatirkan saat melihat tampang Hedy yang kecut terbukti. Kepalaku yang tadinya baik-baik saja mendadak pening. "Kamu ikut meeting kan dua minggu lalu? Perubahan rencana kegiatan promosi kita jelas banget lho dibahas. Saya hanya minta master plan untuk triwulan depan dibikin lebih mendetail. Seharusnya nggak sulit, kan?"
"Eh... itu, Bu, biasanya rencana kerja seperti ini disusun sama Digda. Kami tinggal mengerjakan perencanaan yang sudah jadi saja." Hedy makin gelisah. Buku-bukunya jarinya dibunyikan. Dia menunduk, menolak untuk melihatku, merimbunkan kekesalan yang sejak tadi kurasakan. "Saya tidak mungkin tanya sama Digda karena dia sudah di kantor atas," sambungnya.
Aku mengembuskan napas panjang berulang-berulang, berusaha untuk meredam emosi yang menggelegak mendengar pembelaan diri seperti itu. Aku lebih suka Hedy mengaku salah, daripada membela diri. Namun ini bukan saatnya mengumbar kemarahan.
"Semua orang seharusnya bisa mengerjakan hal-hal kayak gini sebagus Digdaya. Ini kan basic banget. Semuanya seharusnya kompeten untuk mengerjakannya. Menjabarkan master plan menjadi prosedur kerja yang lebih kecil dan terstruktur dalam kalimat yang enak dibaca seharusnya nggak sulit, kan? Pekerjaan yang bagus di lapangan harus ditunjang oleh laporan yang nggak bikin otak malah keriting saat dibaca. Kalau menyusun SOP saja nggak becus, bagaimana bisa meyakinkan atasan kalau pekerjaan kita beneran bagus?"
Hedy diam saja.
"Masa yang kayak gini juga harus saya yang ngerjain?" Sepertinya setahun terakhir aku terlalu bergantung kepada si Bayi Digdaya, karena biasanya dia yang mengerjakan hal-hal seperti ini. Setelah puas dengan hasil pekerjaan awalnya, dia memang aku percaya mengurus laporan-laporan kami. Anak itu teliti. Aku secara tidak langsung sudah mengangkatnya menjadi tangan kananku karena hasil pekerjaannya menyusun laporan yang akan aku bawa ke Pak Badhra tidak pernah mengecewakanku. Aku seorang perfeksionis. Biasanya aku mengerjakan sendiri hasil evaluasi divisiku. Namun sejak ada Digdaya, aku mulai terbiasa berbagi pekerjaan dengannya. Karena itulah, aku memang lebih sering menghabiskan waktu dengannya, dibandingkan dengan stafku yang lain.
"Maaf, Bu, akan saya perbaiki lagi."
Seandainya membantai Hedy dengan omelan bisa menyelesaikan masalah, aku akan melakukannya dengan senang hati. Aku akan mengomel sampai telinganya meledak. Sayangnya, hal itu hanya akan menghabiskan energiku.
"Sudah, kamu keluar saja. Suruh Syiara ke sini." Aku menyebut salah seorang stafku yang aku tahu kemampuannya menyusun laporan jauh lebih bagus daripada Hedy. Kemampuan orang memang berbeda-beda. Hedy terlihat lebih menikmati pekerjaan di lapangan saat berhubungan dengan klien. Namun, tetap saja aku merasa kecewa melihat pekerjaan yang ditinggalkan Digdaya jadi berantakan di tangannya.
"Syiara kan ke JCC, Bu." Hedy masih tidak melihatku saat menjawab. Pandangannya berpusat pada satu titik di belakang layar komputerku, seakan sedang berkonsentrasi untuk membuat lubang di sana dengan sinar laser yang keluar dari matanya. "Ibu tadi yang suruh dia bersama beberapa teman lain untuk mengecek booth pameran kita."
Pekerjaan ini membuatku lupa kalau aku sudah mengirim Syiara dan beberapa orang stafku yang lain keluar kantor. "Ya, sudah, kamu keluar saja." Aku membuat gerakan mengusir. Tampang Hedy yang biasanya bisa memikat klien tidak akan bisa membantu meredakan kekesalanku.
Hedy tidak menunggu kusuruh dua kali. Dia segera melompat dari kursi. "Permisi, Bu." Detik berikutnya dia sudah menghilang di balik pintu.
Aku segera larut dalam tumpukan berkas, sambil mengetik dengan kecepatan ayunan kapak Thor. Aku tidak suka menunda pekerjaan. Daripada menunggu Syiara kembali, lebih baik aku mulai mengerjakan apa yang bisa kuselesaikan sekarang. Lagi pula, Syiara bisa saja tertahan lama di luar.
Aku baru mengangkat kepala saat mendengar pintu ruanganku terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Helen masuk dan langsung duduk di hadapanku. "Nggak turun makan sekarang?" Dia melirik pergelangan tangan, seakan hendak meyakinkan kalau dia menjemputku di waktu yang tepat.
Aku menggerak-gerakkan kepala, mengusir pegal di tengkuk. "Dini mana?"
"Ada meeting dengan klien. Sekalian makan siang. Kerjaan lo banyak banget, ya? Sampai kusut gitu."
Aku segera meraih tas dan mengeluarkan kemasan cushion untuk bercermin. Aku tidak boleh terlihat kusut saat makan siang. Perburuan si Pemilik Tulang Rusuk belum selesai. Kembali kusut diizinkan setelah tiba di kantor selesai makan. "Gue baik-baik saja." Aku menepuk wajah dengan spons, menyerap minyak yang tampak di hidung dan dahi.
"Lo sih sok jual mahal, kalau nggak, si Digda pasti masih betah jadi staf lo, buat nempelin lo. Sekarang lo kelimpungan sendiri, kan?"
Aku tidak akan mengakui kalau pekerjaanku sedikit terhambat karena kepindahan bayi itu. "Nggak terlalu berasa. Ada Syiara juga."
Helen mengedik. Sesaat dia membuka mulut, tapi segera mengatupkannya kembali sebelum mengucapkan apa-apa. Sama seperti aku, dia juga pasti bosan membahas bayi itu. Lagian, apa pentingnya dibahas, coba?
Aku baru berdiri saat pintu ruanganku diketuk. Sedetik kemudian, bayi yang baru saja kami bicarakan itu muncul dari balik pintu.
"Duh, panjang umur lo," sambut Helen. "Baru aja diomongin udah muncul. Kayak jelangkung aja. Disebut langsung ngetuk pintu."
Seharusnya Helen tidak usah mengucapkan kalimat seperti itu. Hanya akan membuat bayi ini merasa penting.
"Moga-moga nggak diomongin yang jelek-jelek ya, Mbak."
"Nggak mungkin diomongin jelek dong." Helen mengibas. Senyumnya sudah lebih lebar daripada Joker. "Lo kan cakep banget. Apalagi pakai jas kayak gitu. Bikin ngiler. Tuh, Kenzie katanya kangen. Nggak ada lo di sini, jadi sepi."
"Gue nggak pernah ngomong gitu!" Itu pencemaran nama baik. Punya teman waras saja ternyata butuh keajaiban.
"Gue tunggu di luar, ya, Ken. Lo ngobrol sama Digda aja dulu." Helen berlalu tanpa mengindahkan protesku. Dia tidak perlu keluar dari ruanganku. Aku tidak butuh waktu banyak untuk mengusir si Bayi Digdaya.
"Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi kepada Digdaya. "Saya harus keluar makan sekarang."
"Saya juga buru-buru, Mbak." Dia mengulurkan sebuah hard disk. "Ada meeting makan siang dengan klien."
Siapa yang mau tahu apa yang akan dikerjakannya?
"Itu apa?" Aku tidak segera meraih benda yang diulurkannya.
"Sisa pekerjaan yang tempo hari belum sempat saya kasih ke Mbak Kenzie. Pindahnya dadakan, jadi terlupa. Tadi saya dihubungi Hedy. Katanya Mbak Kenzie ngomel-ngomel karena pekerjaan dia nggak sesuai dengan keinginan Mbak."
Itu jelas akan memudahkan pekerjaanku, tetapi rasanya gengsi menerima uluran tangannya begitu saja. "Kenapa nggak dikasih ke Hedy saja langsung?"
"Hedy bilang supaya saya langsung ke Mbak Kenzie aja. Dia takut diomeli lagi." Bayi Digdaya meletakkan hard disk itu di atas mejaku, tidak menunggu sampai aku mengambilnya dari tangannya. "Sebenarnya mau saya print dulu sih, Mbak, tapi sudah nggak sempat lagi. Oh ya, hard disk-nya saya partisi. Mbak Kenzie bisa cari datanya di G. Gitu aja ya, Mbak, saya beneran buru-buru." Dia berbalik dan langsung pergi.
Aku ternganga melihatnya. Apa-apaan itu? Dia pergi begitu saja? Beraninya dia! Aku baru sadar kalau sejak masuk tadi dia sama sekali tidak tersenyum kepadaku. Biasanya dia kan rajin cengengesan.
Tunggu dulu, kenapa aku harus peduli soal hal seremeh butiran debu seperti senyum si Bayi Digdaya itu? Mungkin aku sudah ketularan sintingnya Helen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top