Satu

Haiii.... sambil nungguin update-an Jejak Masa Lalu, baca yang ini dulu, ya. Nulis Robby itu butuh energi ekstra, dan agak sulit dikerjain di  bulan ramadan, takut aku makin kurus, jadi aku selingin dengan yang ringan-ringan aja dulu.

Jujur, tema brondong bukan tema favoritku, karena aku lebih suka ngasih cowok yang lebih tua untuk pemeran cewek di ceritaku, jadi ini memang menantang diri sendiri untuk nulis tema yang nggak jadi kesukaanku. Beneran untuk senang-senang doang. Jangan berharap konten serius di dalamnya.

Oh ya, tengkiu buat Dindin yang udah ngerjain kover ini. Oke, hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

"Sabar dikit dong!" Aku mengabaikan bibir cemberut Helen dan Dini. Sambil berkaca pada cermin bundar yang kusandarkan di komputer, aku melanjutkan menyisir rambut. Setelah itu aku memulas bedak dan membubuhkan lipstik tambahan di bibir. Aku tadi sempat minum teh dan mengudap kue yang dibawa Dini, jadi lipstik glossy yang kupakai sudah luntur.

"Yaelah, dia dandan!" Helen melanjutkan omelan yang tadi kuanggap angin lalu. "Ntar juga bibir seksoy lo berantakan, Neng! Kita mau makan siang, bukan jumpa fans."

"Iya, orang kita makannya juga di bawah aja," timpal Dini tidak kalah kesal. "Genit banget jadi cewek."

"Ladies," Aku mengemasi perlengkapan perangku dan memasukkannya kembali ke dalam tas. "Lo ngomong gitu karena lo berdua udah pada laku, jadi nggak merasa perlu rapi di waktu makan siang kayak gini. Coba kalau lo masih jomlo kayak gue, pasti sama genitnya. Buat lo berdua ini hanya makan siang sih, tapi untuk gue, ini kesempatan buat nyenter calon potensial. Kali aja hari ini gue bisa ketemu penyumbang tulang rusuk gue. Nggak ada yang tahu kapan kejadiannya, kan? Jadi, gue harus siap sedia setiap saat. Saat panah cupid itu mengarah ke gue, gue harus berada dalam penampilan paling prima." Aku berdiri dan merapikan rok yang kupakai. "Nah, gue udah siap, shall we?"

"Cari jodoh kok di restoran saat makan siang," Helen rupanya belum puas dengan kejengkelannya karena harus melihatku berdandan. Dia melanjutkan saat kami beriringan meninggalkan ruangan kantor. "Waktu kayak gini, para lelaki itu sedang sibuk ngurusin cacing di perut sambil mumet mikirin kerjaan yang ditinggal, bukannya jelalatan cari cewek yang bedaknya belum luntur padahal sudah siang."

"Laki-laki bener tuh adalah laki-laki yang nggak tertarik sama bungkusan yang lo pamerin, Kenzie!" Dini ikut membantu Helen mengomel. Kekompakan keduanya memang biasanya terjadi saat usus mereka sudah berteriak protes minta disumpal. "Cari dong laki-laki yang suka lo apa adanya. Yang suka diri lo keseluruhan, bukan yang menganggap lo keren saat pipi lo mulus banget karena cushion mahal yang lo pakai."

Aku mendelik jengkel. "Pipi gue juga mulus meskipun nggak pakai cushion, kali!" Rasanya menggelikan kalau aku harus menjelaskan hal seperti ini kepada mantan jomlo seperti kedua temanku ini. Mereka seharusnya lebih tahu daripada aku. Mereka sudah melewati proses ini sebelumnya, kan? Atau kenyamanan pernikahan sudah membuat mereka amnesia pada masa lajang dulu? "Lagian, buat nyari laki-laki yang akan mencintai gue apa adanya itu, gue harus bikin dia tertarik sama tampang gue dulu. Ya kali, bisa langsung jatuh cinta sama pribadi gue padahal kenal juga belum. Logika dari zaman Firaun juga nggak sedangkal itu."

Helen tertawa. "Iya juga sih. Standar lo ketinggian sih, Ken. Dua tahun terakhir ini lo nolak banyak banget laki-laki yang nembak lo. Lo harusnya sadar kalau nemu orang kayak Prince Harry itu kemungkinannya nyaris nol persen. Lo harus nyari mesin waktu buat kembali ke zaman Majahapit kalau mau nikah sama pangeran dan diarak pasukan berkuda keliling istana."

"Lo juga sadar umur lah, Ken," Dini kembali menimpali. "Perempuan itu kalau masih 17, saat diliatin cowok bisa bilang siapa lo? dengan sombong, di umur 23, masih biasa bilang siapa dia? kalau nemu yang seger di mata, tapi kalau sudah 30 kayak lo, nggak pakai tanda tanya lagi. Sudah nggak ada pilihan. Siapa aja deh yang mau."

Sialan. "Gue 29," ralatku tidak terima. Main tambah umur orang seenaknya saja. "Belum kepala tiga."

"Yaelah, 3 bulan lagi juga 30. Pake diributin segala."

Iya juga sih, tapi kan tetap saja belum genap. Lagi pula, bicara umur dan dikaitkan dengan status sekarang ini mulai terasa tidak nyaman. Helen lebih tua tiga tahun daripada aku, tapi sudah punya dua anak. Dini seumurku, tapi juga sudah punya satu orang anak yang hampir berumur dua tahun. Dalam kelompok kecil ini, hanya aku yang jodohnya masih di awang-awang. Entah wujudnya seperti apa. Tuhan sama sekali belum berkenan memberikan kisi-kisi yang bisa kuintip.

"Turunin deh standar lo." Helen menekan tombol lift. "Gue yakin bulan depan sudah ada yang pasang cincin di jari manis lo. Dalam hidup, kita nggak mungkin dapetin semua yang kita mau. Jadi, lo cukup seleksi laki-laki yang sedang PDKT sama lo. Cari yang terbaik, trus daftar deh ke KUA. Nggak ribet."

"Standar gue nggak ketinggian kok," protesku. Itu benar. Aku tidak mencari pangeran dari negeri antah berantah. Aku sendiri tidak punya turunan nenek moyang bangsawan, jadi tidak terlalu peduli soal bibit, bebet, dan bobot itu. Aku hanya mencari laki-laki yang baik dan mapan. Baik akhlaknya sehingga dia tahu bagaimana memperlakukan aku sebagai pasangan dan mapan dalam pekerjaan. Aku akan memilih laki-laki yang pekerjaan dan penghasilannya lebih baik daripada aku. Atau setidaknya sama. Bukan apa-apa, tetapi aku termasuk golongan perempuan picik yang berpendapat bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga. Dan sebagai konsekuensinya. dia harus bisa memenuhi semua kebutuhanku, bukan sebaliknya, aku yang harus menopang ekonomi keluarga, apalagi membiayai kebutuhan suami. Kebanyakan laki-laki pasti egonya terusik kalau penghasilan istri mereka jauh lebih banyak, kan?

Realistis saja deh. Di zaman dompet bisa terbuka lebar dan uang mengalir keluar padahal kita berada di dalam rumah saja seperti sekarang, pepatah makan tak makan asal kumpul sudah sangat ketinggalan zaman. Setelah terbiasa hidup nyaman dengan pekerjaan dan penghasilan seperti sekarang, aku tidak yakin bisa berpuas diri hanya dengan melihat gambar makanan enak di internet sambil menelan liur. Ya kali, dari tindeloin steak bisa terjun bebas jadi nasi, garam, tambah minyak jelantah bekas goreng ikan asin kemarin.

Iya, pengandaiannya memang berlebihan dan aku suka ikan asin goreng (bukan minyak jelantahnya, ya), tetapi kalau bisa mencari yang bisa memberi kenyamanan hidup, kenapa harus menderita, kan?

"Nggak pakai standar gimana kalau lo selalu ribut soal kekurangan orang yang deketin lo." Helen menghentikan kalimatnya saat kami bertiga masuk ke dalam lift yang untungnya kosong. Dia lantas menekan tombol lantai tujuan kami. "Yang kerjaan dia nggak cocok sama lo lah, yang fisiknya lo anggap kurang lah. Macam-macam. Itu yang lo bilang nggak pakai standar?"

"Guys, itu serius harus diomongin, ya?" Helen sepertinya niat mengajakku berkilas balik mengingat orang-orang yang pernah aku tolak. "Agus dan Harto nggak nyambung banget saat diajak ngobrol. Gue nggak nyari yang IQ-nya se-Habibie, tapi seenggaknya nggak melongo sampai keluar iler saat diajak ngobrol. Agus malah berpikir kalau ibukota Amerika itu New York hanya karena banyak film Hollywood setting-nya di sana. Dan Rio? Dia emang manis sih, tapi tingginya cuman sebahu gue aja. Masa tiap ngajak ngomong gue harus nunduk kayak nyari recehan yang jatuh? Nikah belum tentu kejadian, udah bongkok duluan gue!"

Helen dan Dini tertawa.

"Arsen dan Millo keren lho, Ken. Cakep dan mapan di awal 30," Dini menyebutkan nama lain. "Nyatanya lo tolak juga."

"Iya sih. Tapi matanya melotot ke mana-mana. Tipe-tipe iman setipis bulu kucing kalau lihat yang bening-bening. Ngajak ngobrol, tapi matanya kalau nggak ke dada gue, ya ke ujung rok gue. Badan mereka kayaknya isinya cuman daging, tulang, dan testosteron aja. Malesin."

"Masa nggak ada yang bener sih di antara sekian banyak yang PDKT sama lo?" Helen tampak berpikir, mencoba menemukan seseorang yang bisa disebutnya. "Lo, kan, lumayan laris dan jadi kecengan banyak laki-laki di gedung ini, meskipun udah mulai uzur."

Kan, kembali ke umur lagi? "Lo kira gue kacang goreng, dibilang laris? Dan gue belum uzur!" Enak Saja mengatai  aku sudah tua.

"Hei, itu pujian, Ken! Kalau nggak tahu, orang-orang pasti nyangka lo masih 23-24 gitu, padahal udah 30."

"Gue 29!"

"Astaga, tetep ya!" Dini dan Helen kembali kompak tertwa.

"Lagian, harus banget diulang-ulang, ya?" Sama sekali tidak berperikesahabatan.

"Gue tahu siapa yang paling cocok buat lo." Dini menjetikkan jari. "Cakep, pinter, dan kelihatan banget suka sama lo, meskipun belum terang-terangan."

"Siapa?" Helen menyambar cepat.

"Digda. Gimana, masuk kriteria, kan? Dia emang belum semapan yang lo mau sih, tapi itu kan hanya masalah waktu. Kita semua kerja di perusahaan kakek dia, kan?"

Aku langsung mendelik. "Digdaya? Yang bener aja, lo nguruh gue pacaran sama bayi?" Menikah bikin teman-temanku ini jadi tidak waras.  

**

Aku cek respons dulu sebelum lanjut. Kalo  respons bagus, aku lanjut. kalo nggak, jadi cerpen aja. Hehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top