Lima
Hai... ini beneran proyek ringan yang harusnya senang-senang doang untuk Ramadan, jadi aku merisetnya nggak terlalu detail. Jadi kalau ada kejanggalan di bagian job description Kenzie, silakan dibetulin, ya. Basic aku di Kesehatan, bukan dunia kerja yang kayak Kenzie. Aku fokusnya di kisah Kenzie-Brondong aja. Tengkiu....
Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaes...
**
Helen dan Dini tertawa terpingkal-pingkal saat kuceritakan soal Digda. Helen bahkan harus menarik tisu untuk menyeka air matanya yang sampai turun. Aku langsung menyesal berbagi soal itu saat melihat reaksi mereka. Bukannya ikut prihatin, tetapi mereka malah berbalik menjadikan curhatku sebagai lelucon.
"Wah, anak itu udah berani nge-gas, ya. Salut gue sama nyalinya," kata Helen di sela-sela tawa. "Lo kan terkenal paling galak di kantor ini. Staf lo kalau mau menghadap karena punya salah, bener-bener harus lihat momen, supaya nggak kena semprot berlebihan."
Aku mendelik. "Gue marah kalau alasannya kuat, nggak asal ngamuk saja. Kalau salah ya, pasti gue tegur, biar nggak berulang lagi. Toleransi untuk kesalahan dalam pekerjaan itu bikin kinerja staf malah jelek, karena mereka pasti berpikir akan dimaklumi dengan gampang."
"Iya, gue ngerti. Yang mau gue bilang, si Digda tuh mulai terang-terangan banget naksir lo. Tinggal tunggu saatnya, dia akan nembak. Yakin gue!"
Aku segera menggeleng-geleng, ngeri juga membayangkan ditembak anak kemarin sore. Kalau ini saat aku masih kelas XII dan ditembak anak kelas X, masih bisa dimaklumi. Namun tidak sekarang, saat aku sudah berumur hampir 30 tahun, dan ditaksir anak 25 tahunan. "No way. Gue nggak mau ditembak bayi. Dalam mimpi aja gue nggak mau, apalagi kalau beneran kejadian."
"Kalau gue belum nikah, dan si Digda naksir gue, nggak mikir dua kali, langsung gue embat," Dini menimpali, juga masih sambil tertawa. "Gue tunggangi dan sedot habis saripati kemudaannya, biar gantian gue yang awet muda."
"Buset, gue jadi bayangin adegannya gara-gara lo ngomong gitu!" Helen menarik tisu yang kesekian untuk mengusap mata. "Gue bayangin lo nunggangin anak itu dan dia berteriak-teriak minta ampun, nyuruh lo berhenti."
"Sialan, kalau sama gue, yang ada dia malah memohon supaya gue nggak berhenti. Lo pikir apa yang bikin suami gue yang tadinya jadi ketua ikatan laki-laki playboy antikomitmen segalaksi Bimasakti tobat, dan merengek minta nikah sama gue? Itu karena ketrampilan gue dalam seni bercinta, tahu! Kamasutra mah lewat kalau mau ngomongin gaya sama gue."
Ini percakapan kenapa jadi ke situ lagi?
"Guys," aku menengahi. "Bagian kamasutra dan gaya itu ntar lo bahas berdua deh. Gue cuman mau tahu gimana caranya bikin Bayi itu ngerti kalau gue beneran nggak tertarik sama dia. Gue sudah coba secara verbal dan baik-baik, tapi nggak berhasil. Nggak mungkin gue bikin dia babak belur juga, kan? Dia keponakan Bos. Kalau dia sampai masuk IGD, gue bakal kehilangan pekerjaan. Nyari kerja sekarang ini sama sulitnya dengan nyari suami. Saking sulitnya, gue nggak nemu-nemu sampai sekarang."
"Nggak nemu gimana? Itu si Digda udah nyediain diri jadi tumbal untuk lo persunting jadi suami. Kasih dia kesempatan dong."
Helen tidak mengerti. "Gue butuh calon suami untuk diajak menikah, bukan bayi untuk senang-senang. Digda itu masih muda banget. Gue yakin dia deketin gue itu karena nganggap gue sebagai tantangan. Mana ada laki-laki semuda dia sudah kepikiran untuk nikah? Sama perempuan yang jauh lebih tua lagi. Nggak mungkin!"
"Yaelah, umur dibahas. Orang nikah itu karena cocok dan cinta. Bukan karena hitung-hitungan soal umur. Lagian, semua kan baru prasasngka lo sendiri. Dari mana lo tahu dia nggak serius sama elo? Usia muda itu bukan jaminan kalau pikirannya juga masih pendek."
"Dan yang muda itu, bikin tempat tidur lo nggak sempet dingin. Panas membara setiap saat, Nek. Gue siap sedia jadi konsultan kalau lo butuh masukan biar gayanya nggak standar dan monoton."
"Dindin!"
Dini mengangkat kedua tangan. "Gue cuman bermaksud membantu lo membuat keputusan."
Aku menggeleng-geleng. Ini sesi curhat yang gagal. "Gue nggak akan pacaran, apalagi menikah sama bayi."
"Ayolah, Ken, jangan picik. Umur itu apa sih? Itu hanya deretan angka yang jadi penanda. Umur nggak ada hubungannya dengan kualitas hubungan."
"Lo salah besar!" Aku menunjuk wajah Helen yang tampak yakin dengan kalimatnya. "Umur itu segalanya. Gue mau orang yang lebih tua karena dengan gitu kami bisa menua bersama. Dia keriput lebih dulu sebelum gue menopause dan kehilangan pertahanan terakhir gue terhadap penuaan." Aku menarik napas sebelum melanjutkan, "dan lo lihat si Digda, kan? Dia pasti masih segar bugar saat gue sudah ke mana-mana pakai tongkat. Kalau sama dia, gue akan dimasukan panti jompo supaya dia bisa nikah lagi saat keriput gue sudah merata."
Dini berdecak. "Katanya perempuan mandiri, percaya diri, dan berpendidikan, tapi kok pikirannya cetek banget sih? Suram dan pesimis banget lihat masa depan. Hidup itu dijalannin sambil dinikmati. Ngapain juga khawatir tentang masa depan yang nggak lo tahu? Itu namanya bego. Menyiksa diri untuk sesuatu yang nggak ada. Kalau si Digda memang ninggalin lo suatu hari di masa depan nanti, so what? Itu sesuatu yang lo harus hadapi nanti, bukan bikin lo kusut dari sekarang. Nikmati saja hari ini. Saat ini. Just live and enjoy the moment, Kenzie!"
Kenapa aku jadi terlibat percakapan yang membahas masa depan, padahal aku hanya berharap dapat masukan tentang cara untuk menolak Digda? Satu hal yang pasti, tidak akan ada masa depan dengan Bayi itu. Alasannya hanya satu. Aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apalagi cinta. Ya ampun, nista banget aku kalau aku sampai jatuh cinta kepada Bayi kolokan itu!
**
Aku bekerja sebagai manajer pemasaran di perusahaan kosmetik. Salah satu anak perusahaan ROEKMANA Group. Pekerjaan yang mengharuskan aku bertemu dengan banyak orang, terutama saat mengadakan event untuk promosi. Anehnya, meskipun sudah bertemu dengan banyak klien laki-laki yang kelihatannya potensial dan mereka jelas mengirimkan sinyal ketertarikan, aku yang malah mengelak. Entahlah. Mungkin karena aku sudah sampai pada tahap menyadari bahwa masa trial and error dalam menjalani hubungan tidak cocok lagi untuk aku jalani.
Aku tidak lagi berumur awal 20-an, saat sedikit ketertarikan sudah bisa dijadikan alasan untuk pacaran. Kalau tidak cocok, bisa putus, kan? Kalimat itu selalu menjadi pembenaranku dulu. Namun sekarang tidak bisa begitu lagi. Aku sudah hampir 30 tahun. Aku benar-benar harus yakin dulu sebelum terikat dalam satu hubungan, karena aku menginginkan sesuatu yang sifatnya permanen. Aku sudah telalu tua untuk mengulangi siklus jadian-putus-jadian-putus. Aku benar-benar harus yakin kalau he's the one sebelum memilih pasangan kali ini. Dan aku yakin aku bisa merasakan kalau memang akhirnya bertemu dengan laki-laki terpilih itu. Aku sedang menunggu saat-saat itu sekarang. Saat hatiku berbisik "Ya, itu dia, Kenzie!" ketika pandanganku berlabuh kepada seseorang.
Hari ini aku dan Dini akan meninjau lokasi acara puncak pemilihan Cover Girl yang diadakan oleh satu satu majalah remaja. Kami menjadi salah satu sponsor acara itu. Cara seperti ini bagus untuk mempromosikan produk. Sangat mudah memersuasi calon konsumen dengan menggunakan finalis Cover Girl yang cantik-cantik, berbeda halnya dengan hanya memajang produk di toko atau pusat-pusat perbelanjaan.
Sebenarnya Dini yang bertanggung jawab terhadap kegiatan itu. Dia adalah Public Relation perusahaan kami. Aku hanya menemani karena kami juga membuka booth di sana.
"Sebentar," Dini menahan langkahku yang hendak keluar dari pintu gedung kantor. "Ponsel gue bunyi nih." Dia mengaduk-aduk tas sebelum kemudian menjawab panggilan setelah mengucapkan kata "bos" tanpa suara. Aku jadi curiga dengan isi percakapan itu saat melihat dia mengedip dan senyumnya mendadak jail.
"Bos kenapa?" tanyaku begitu dia menutup telepon.
"Ini hari keberuntungan lo. Mimpi apa sih lo semalam?"
"Pak Badhra mengundurkan diri, dan nunjuk gue sebagai direktur yang baru?" Aku tahu jika itu sebenarnya bukan berita bagus kalau melihat ekspresi Dini.
"Lo belum seberuntung itu."
"Jadi, apaan dong?"
"Pak Badhra nyuruh Digda supaya ikut kita."
"Lha?" Itu berita buruk untukku. Pantas saja Dini hampir tertawa saat bicara dengan Pak Badhra tadi.
"Dia kan harus tahu kegiatan kita di luar gedung kayak gimana. Biar ntar nggak dibego-begoin bawahan nakal kayak elo kalau sudah jadi bos."
Aku langsung mendelik. Begini-begini, loyalitas dan dedikasiku tidak perlu dipertanyakan. "Kok Pak Badhra malah teleponnya ke elo sih?" Digda itu staf langsungku. Seharusnya pendelegasian tugas melalui aku dulu, karena aku yang bertanggung jawab kepadanya.
"Katanya sudah coba menghubungi elo tapi nggak dijawab."
Gantian aku yang mengaduk-aduk isi tas. Memang benar ada beberapa panggilan tak terjawab dari Pak Badhra dan Digda. Mungkin karena volumenya kukecilkan sejak tadi pagi saat meeting, jadi aku tidak mendengar deringannya.
"Kita duluan aja, ntar bocah itu nyusul." Aku mulai mengetik pesan untuk Digda. Aku malas pergi bersama anak itu, karena harus menebalkan telinga menghadapi godaan Dini yang pasti tidak tanggung-tanggung. Membicarakan Digda bersama dia dan Helen, tentu beda dengan menghadapi godaannya di depan Bocah itu sendiri.
"Bareng aja kali, Ken. Biar ada yang sopirin. Kalau ada yang bisa diberdayakan, kenapa harus ngerepotin diri sendiri sih?"
"Tapi...." Aku mengembuskan napas kesal, dan tidak melanjutkan kalimat saat mataku menangkap sosok Digda yang berlari mendekat.
"Wah, untung saya belum ditinggal." Seperti biasa, senyumnya langsung mengembang. "Pakai mobil saya saja, Mbak?"
Bagaimana bisa menolak tanpa terlihat konyol dan kekanakan kalau begini? Seharusnya aku terlihat kharismatik dan berwibawa di mata anak ini, bukannya mencla-mencle seperti ABG labil.
"Iya dong," jawab Dini mendahuluiku. "Lo jadi sopir dua perempuan cantik hari ini. Gimana nggak beruntung, coba?"
"Siap, Mbak." Bocah itu sontak tertawa. "Iya, beruntung nih."
"Sayangnya gue udah nggak bisa digebet. Tapi tenang aja, bos elo bawa formulir pendaftaran untuk orang yang bersedia jadi calon suami. Kalau minat, lo bisa minta satu lembar."
Tuh, kan, belum masuk mobil saja sudah seperti ini. Mulut Dini itu bisanya setara king kobra. Bisa bikin mati gaya.
"Memang kalau minat, bakal dikasih ya sama Mbak Kenzie?" Digda dengan kurang ajar malah menanggapi gurauan Dini.
Aku segera berbalik menuju pintu, malas menanggapi. Bocah itu harus diberi peringatan, tetapi tentu saja tidak di depan Dini.
**
Oh ya, Ada GA novel MASIH TENTANG DIA di akun Instagram @belibuku ya. yuk, ikutan. Ada 2 novel untuk 2 orang pemenang yang bisa kamu dapetin. Jangan lupa follow aku juga di @titisanaria ya. Tengkiu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top