Enam
Dunia nyata lumayan riweh. Emak-emak karier di akhir bulan, plus Ramadan, memang jadi lebih sibuk. Ritme hidup jadi berbeda. Aku akan berusaha mengambil waktu untuk nulis, meskipun nggak akan memaksakan. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...
**
Dalam hidup, mengalami dan mengatasi berbagai emosi yang berbeda sejatinya adalah perjuangan setiap hari. Manajemen emosi ini biasanya menentukan kualitas kepribadian seseorang. Aku menganggap diriku punya manajemen emosi yang baik. Aku tahu bagaimana cara membawa diri dengan emosi-emosi yang kurasakan. Aku bukan orang yang akan tertawa terbahak-bahak tak kenal waktu dan tempat saat merasa gembira. Aku tidak membabi-buta menyemburkan amarah saat merasa kesal. Aku juga tidak melampiskan kekecewaan kepada sembarang orang. Pun tidak menangis sambil meraung-raung saat sedih. Intinya adalah, aku punya kontrol diri yang baik.
Dan kontrol diri yang biasanya aku banggakan itu benar-benar diuji hari ini. Digda yang melayani guyonan Dini sepanjang perjalanan pergi dan pulang dari venue, membuatku nyaris meledak. Aku tersinggung karena dua hal. Pertama, aku adalah atasan langsung Bayi itu di kantor. Menyambut godaan Dini sama saja dengan tidak menghargai hierarki struktur organisasi di kantor. Ada batas yang jelas antara hubungan profesional dan personal di antara kami. Aku tidak suka caranya menghadapi aku seminggu terakhir ini, karena dia mulai berani menerobos batas yang kutetapkan itu. Ya, kami memang sama-sama bekerja di perusahaan keluarganya, tetapi aku tetap saja masih atasannya.
Kedua, aku lebih tua dari Digda. Bocah itu seharusnya bisa menempatkan diri sebagai orang yang lebih muda. Dia seharusnya melihat ketidaksukaan yang kutunjukkan dan tidak memaksakan diri bersikap sok akrab karena aku tidak berkenan. Ralat, bukan hanya tidak berkenan, aku sangat keberatan dengan kelakuannya yang menganggap kami seumuran, sehingga dia bisa bergurau dan menggoda orang seenaknya.
Aku tidak bisa menahan kekesalan lebih lama, jadi aku segera menyuruh Digda langsung ke ruanganku setelah kami kembali dari melihat venue dan memeriksa kesiapan booth kami di sana.
"Kamu pasti tahu kenapa saya panggil ke sini, kan?" mulaiku tanpa basa-basi. Aku berdiri di samping meja, sementara Digda aku suruh duduk di kursi. Dengan posisi seperti ini –dia harus mendongak untuk menatapku— aku merasa lebih nyaman. Ini menegaskan kedudukan kami. Aku bos, dan dia staf. Ada batas yang jelas sekali. Aku punya kuasa kepadanya. Dia harus bisa melihat itu.
"Mbak Kenzie kan belum bilang, bagaimana saya bisa tahu?" Digda menatapku dengan sorot polos. Ya, tentu saja dibuat-buat. Mustahil dia tidak mengerti dengan apa yang sedang aku bicarakan. Dia seharusnya tahu kalau taktik seperti itu tidak akan berhasil. Tumpukan garam dan MSG dalam tubuhku jauh lebih banyak daripada dia. Bicara soal pengalaman berhadapan dengan orang, aku jelas menang banyak. Aku lahir lebih dulu, kan?
"Saya nggak main-main, Digdaya." Aku malas memutar-mutar, jadi langsung menembak ke arah sasaran. "Saya sudah terlalu tua untuk main-main sama kamu. Dengar, saya nggak suka cara kamu menanggapi Dini dan menjadikan saya sebagai olok-olok. Saya seharusnya nggak perlu mengingatkan kalau kamu staf saya, dan kamu seharusnya bisa sedikit respek sama saya."
"Saya sangat respek sama Mbak Kenzie," Bocah itu segera membela diri. "Saya nggak akan berani menjadikan Mbak Kenzie sebagai olok-olok. Saya...."
"Yang kamu lakukan dengan melayani Dini tadi itu sama saja dengan olok-olok," aku segera memotong kalimat Digda. Bayi ini pikir aku bodoh sampai tidak bisa membedakan antara olokan dan ucapan serius?
"Saya nggak menganggap apa yang saya ucapkan sama Mbak Dini itu hanya sekadar godaan atau olokan, Mbak. Saya beneran minta maaf kalau Mbak Kenzie salah paham dan menganggapnya seperti itu. Tapi semua yang saya bilang ke Mbak Dini itu serius."
"Hah?" Jujur, aku tidak menyangka bocah ini akan sefrontal itu menanggapiku. Apalagi dengan tampang serius seperti itu. Sangat berbeda dengan raut yang dipakainya saat bertukar gurauan dengan Dini tadi.
"Saya yakin Mbak Kenzie juga sudah tahu kalau saya suka sama Mbak Kenzie. Saya memang nggak bermaksud menutupinya kok."
Aku segera mundur dua langkah. Kenapa pembicaraan ini arahnya tidak seperti yang kuinginkan? "Tapi saya nggak suka sama kamu!" sambutku cepat.
"Saya hanya menyatakan perasaan saya, tapi nggak minta tanggapan Mbak Kenzie." Digda segera melanjutkan setelah menggeleng. "Maksud saya, belum sekarang."
Aku menatap anak itu gusar. "Sekarang atau nanti sama saja. Saya nggak suka dan nggak akan pernah suka sama kamu." Di mana-mana juga orang yang menyatakan perasaan akan mengharapkan balasan. Ini saat yang tepat untuk memberitahu Bocah itu supaya dia tidak berharap kepadaku, karena itu akan sia-sia saja. Aku tidak akan melayaninya bermain sayang-sayangan. Dia harus mencari gadis seumurnya, atau malah ABG labil untuk mengarahkan dan melepas panah cintanya, karena anak panah itu akan hancur lebur terkena tameng pertahananku sebelum mencapai sasaran seandainya dia memaksakan diri menyasarku.
"Sekarang atau nanti jelas beda, Mbak. Mbak belum benar-benar kenal saya, jadi nggak adil kalau...."
"Saya sudah kenal kamu selama hampir satu tahu," aku lagi-lagi memenggal kalimat Digda. Aku tidak berniat memberikan anak itu kesempatan untuk bicara. Aku butuh dia mendengarkan apa yang harus kusampaikan, tidak bermaksud membuka ruang diskusi. "Saya jelas sudah tahu apa yang perlu saya tahu tentang kamu!"
"Itu nggak bisa dihitung, Mbak. Selama ini hubungan kita kan profesional, Mbak Kenzie belum cukup kenal saya sebagai pribadi. Saya...."
Aku mengibas tidak sabar. "Sayangnya saya nggak berniat untuk kenal kamu sebagai pribadi."
"Karena saya lebih muda dari Mbak Kenzie?"
Kalau sudah tahu, kenapa harus tanya lagi? Kali ini aku mengedik dan bersedekap.
"Atau karena saya belum cukup mapan untuk ukuran Mbak Kenzie?"
Nah, itu pinter. Semua yang dia bilang itu benar.
"Saya nggak bisa melakukan apa-apa soal umur itu, Mbak. Tapi saya orang yang percaya kalau keberhasilan suatu hubungan itu nggak ditentukan oleh siapa yang lebih tua dalam hubungan itu. Semua tergantung pada cara menyesuaikan diri saja. Kalau soal kemapanan, itu hanya masalah waktu. Saya pekerja keras, dan sudah punya target untuk tahapan-tahapan hidup saya. Saya lagi-laki, dan jelas nggak akan menggantungkan diri kepada pasangan saya."
Aku berusaha menampilkan raut bosan. "Pidato kamu memang bagus. Tapi cari orang lain saja untuk mendengar. Saya sama sekali nggak tertarik sama visi-misi kamu dalam menjalin hubungan. Saya panggil kamu ke sini untuk memberitahu supaya kamu nggak menabrak hubungan profesional di antara kita. Saya nggak butuh affair dengan Bayi di kantor ini. Kalau kamu nggak bisa terima dengan apa yang saya katakan ini, mau nggak mau saya harus bicara sama Pak Badhra. Saya nggak bisa bekerja satu tim dengan orang yang tidak berniat mengindahkan perintah saya."
Aku bisa melihat wajah Digda memerah. Dia sepertinya tersinggung dengan kata-kataku, tapi aku tidak peduli. Kalau ada yang berhak marah di antara kami, itu adalah aku. Mana ada atasan yang bersedia dijadikan olok-olok bawahannya? Itu hanya terjadi dalam komik dan film komedi saja.
"Mbak Kenzie berhak menegur saya, karena Mbak memang atasan saya. Mbak Juga tidak berkewajiban untuk menerima perasaan saya." Digda berdiri sehingga gantian aku yang harus mendongak melihatnya. Anak ini mau melawan? Berniat gantian mengintimidasi? Aku mundur selangkah lagi untuk menciptakan jarak. "Tapi Mbak Kenzie nggak berhak menghina dan menganggap remeh apa yang saya rasakan. Ini perasaan saya sendiri. Saya nggak butuh Mbak Kenzie untuk memberitahu apa yang boleh dan nggak boleh saya rasakan. Itu di luar kuasa Mbak Kenzie!" Dia berbalik, keluar dari ruanganku, dan menutup pintu sedikit kuat daripada biasa.
Tunggu dulu, kenapa jadi dia yang gantian marah? Bisa-bisanya anak itu meninggalkan aku di tengah-tengah percakapan. Apa dia sudah lupa siapa yang jadi atasan di antara kami?
Aku meraih pulpen dari atas meja dan melemparnya ke arah pintu. Persetan dengan manajemen emosi dan pengendalian diri!
**
Gaesss... bagi vote dan komen, ya. Kalau liat voment banyak, aku jadi lebih semangat nulis, semoga bisa fast update. Tengkiuuuu...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top