Chapter 8
Yuhuuu update!
•
•
-- BATAS RAHASIA 3 --
Foto-foto yang ada di galeri ponsel jumlahnya ribuan. Lulove memandangi semua foto anak-anaknya. Kenapa dia harus mengalami kesialan ini? Bertemu dengan laki-laki yang salah dan menuruti permintaan laki-laki itu selama sebelas tahun. Dia menikah saat masih berumur dua puluh tahun. Dia pikir Ariza adalah laki-laki baik hati seperti cerita dalam novel, kenyataannya jauh dari itu. Ariza memang dari keluarga berada, bahkan orangtuanya sangat berlimpah harta. Namun, tindakan Ariza lebih buruk karena sering memakinya dengan kasar, memukulnya sampai lebam, dan menekannya untuk tetap menuruti setiap keinginannya. Bahkan, setelah mereka berpisah pun Ariza bertindak gila dan merasa mereka masih ada chemistry. Entah kenapa dia harus terpikat oleh laki-laki seperti itu. Hidupnya sungguh menyedihkan.
Dua tahun lalu menjadi titik awal bahwa dia tidak ingin hidup dengan Ariza. Akhirnya mereka bercerai tak lama setelah dia kabur. Hak asuh jatuh ke tangan Ariza berkat perkataan laki-laki itu soal dirinya kabur. Dia dianggap tidak bisa bertanggung jawab. Dia sepenuhnya sadar bahwa kabur salah, tapi tidak tahu akan menjadi senjata untuk menjatuhkannya. Ariza sungguh pintar memutar balikkan fakta.
Di balik rasa penuh sesal, sebenarnya ada kebahagiaan yakni anak-anaknya. Putrinya Klarybel berumur dua belas tahun sekarang. Sementara putranya Sadana berumur delapan tahun, dan putri bungsunya Noemi berumur lima tahun-seumuran dengan Belle. Dia sadar umurnya sudah 33 tahun tak lagi semuda dulu. Namun, apa dia tidak bisa bertemu anak-anaknya sampai ajal menjemput nanti?
Bertahun-tahun laki-laki itu memanipulasi, mengatur, melarang, dan menekannya hingga menjadi perempuan yang takut akan suami. Dan setelah surat cerai ada di tangan, dia dapat menikmati hidupnya. Paling tidak meskipun terlambat, dia bisa menjalani hari demi hari lebih baik tanpa merasa tertekan atau takut.
Air mata Lulove menetes di pipi. Dia merindukan anak-anaknya. Hatinya sakit setiap kali tidak bisa menjenguk mereka.
"Kakak?" Sapaan itu terdengar dari ambang pintu. Prelove baru saja pulang. Tak ada jawaban, Prelove mendekati kakaknya. Ketika melihat kakaknya menangis, dia bertanya-tanya. "Kenapa nangis, Kak? Ada apa?"
Lulove tak menjawab. Yang dia lakukan memeluk Prelove. Hanya adiknya yang dia punya sekarang.
"Kenapa? Cerita aja," bisik Prelove.
"Ariza minta satu miliar kalau aku mau ketemu sama anak-anak. Di mana aku bisa cari uang sebanyak itu? Aku udah kumpulin uang selama dua tahun ini tapi belum bisa. Nominalnya terlalu banyak," cerita Lulove akhirnya.
"Hah?!" Prelove melepas pelukan. Wajah kesalnya terlihat jelas. Matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas cerita kakaknya. "Satu miliar? Sakit jiwa kali tuh manusia! Gila ya mentang-mentang dia punya segalanya terus neken lo kayak gini. Sumpah... Velven yang tajir melintir aja nggak sesombong ini!"
"What should I do then?" tanya Lulove memelas.
Prelove mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Dia memegang kedua sisi pundak kakaknya, mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih tenang. Ditatapnya dalam mata kakaknya yang menunjukkan kerapuhan. "Aku akan jual rumah yang Biantara kasih."
"Jangan. Itu hadiah dari dia. Kenapa-"
"Nggak apa-apa, aku udah bilang sama Bamantara. Jauh sebelum pulang ke sini aku memang mau jual rumahnya. Velven nggak suka aku tempatin rumah dari Biantara. Kalau dipikir lagi, rumahnya Biantara harganya bisa lebih dari permintaan Ariza sialan itu." Prelove menyela sebelum kakaknya selesai bicara. Kemudian, "Aku akan minta Velven untuk cari pembeli. Kalau perlu suruh sepupunya yang beli. Pokoknya jangan khawatir. Kakak pasti bisa ketemu sama mereka bertiga. Percaya sama aku."
Tak ada yang bisa Lulove lakukan selain memeluk Prelove. "Makasih, Prelove."
Prelove mengusap punggung kakaknya. Dia ikut menangis merasakan kesedihan yang kakaknya terima. "Maaf aku baru bisa bantu Kak Lulove sekarang. Aku adik yang nggak pernah aware sama masalah kakaknya sendiri. Maaf Kakak harus terluka sendirian."
Lulove hanya mengangguk. Orang-orang akan melihatnya galak, datar, menyebalkan, dan sering mengucapkan kalimat sarkas. Namun, mereka tidak pernah tahu apa yang telah dialaminya selama ini. Karena semua yang terlihat di depan hanya yang indahnya saja bukan?
👠 👠 👠
Hari ini menjadi hari terlangka sedunia karena akhirnya Marco mengantar putrinya ke sekolah. Biasanya Belle diantar orangtuanya. Mengingat dia yang memutuskan akan mengurus Belle dengan benar sekarang, dia akan melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan selama menjadi ayahnya Belle.
"Papa terima kasih udah nganterin. Belle sayang Papa!" Kalimat itu keluar dari mulut Belle yang kecil serta senyum di akhir kalimat yang menghiasi wajah cantiknya. Tak hanya sebatas kalimat karena Belle mengecup pipi Marco sebagai hadiah.
"Papa juga sayang Belle." Marco memeluk Belle dan mencium puncak kepalanya. Setelah itu, dia turun dari mobil dan membukakan pintu untuk putrinya. "Selamat bersenang-senang. Belajar yang benar ya. Papa jemput lagi nanti."
"Iya, Pa. See you later, Papa."
Marco melambaikan tangan memandangi Belle yang tak berhenti memamerkan senyum cantiknya. Ini pertama kalinya Marco melihat putrinya tersenyum secerah itu. Setelah memastikan putrinya masuk ke dalam sekolah, dia kembali memasuki mobilnya dan melaju pergi dari sana.
Di perjalanan menuju kantor Marco mendengarkan lagu TT milik Twice. Bukan karena dia suka girlband asal Korea Selatan itu, tapi putrinya sangat menyukainya dan memutar lagu sepanjang jalan. Tidak ada yang bisa Marco lakukan selain menyetel lagunya untuk mengisi kesunyian di dalam mobil.
"I'm like TT, just like TT..." Tanpa sadar Marco ikut bersenandung mengikuti bait lagunya. "Kenapa gue jadi hafal gini? Aduh, anak gue bener-bener racun."
Baru akan mematikan lagunya Marco mendapat telepon masuk. Dia melihat Velven muncul di layar ponselnya. Tumben. Begitu pikirnya.
"Halo halo Bandung!" sapa Marco dengan gaya tengilnya.
"Markonah. Gue butuh bantuan lo," kata Velven di seberang sana, mengabaikan sapaan absurd Marco.
"Bantuan apa ya Kakak Velven?"
Di seberang sana Velven terdengar berdecak jijik. "Najis. Jangan bercanda mulu. Gue serius nih."
"Ya, apaan?"
"Hm..." Velven membersihkan tenggorokkannya lebih dulu sebelum mulai mengutarakan maksudnya menelepon pagi-pagi. "Coba lo tawarin sama temen-temen lo yang mau beli rumah. Soalnya Prelove mau jual rumahnya yang di sebelah gue itu."
"Rumah dari mantannya? Nggak digentayangin mantannya tuh kalau rumah dijual?"
"Ah, elah. Kenapa mesti disebut sih?" Velven berdecak lagi, tapi Marco tertawa puas berhasil memicu rasa cemburu. "Gue serius. Tawarin siapa gitu. Katanya Prelove butuh uangnya."
"Vel, denger nih." Marco diam sebentar ketika lagu Twice yang berjudul Jelly Jelly terdengar. "Uhhhh... jelly jelly..."
Velven tertawa terbahak-bahak. "Hahaha... lagunya Twice? Seriously, Marco? Sejak kapan jadi fan boying gini?"
"Sejak gue anterin Belle. Itu anak nyetel lagu ini mulu sampai gue hafal dikit."
"Lo anterin Belle? Lo? Beneran lo?" Velven mengulang pertanyaan yang sama, membuat Marco sebal sendiri.
"Yoi."
"Hahaha... bentar lagi ada banyak geledek sama hujan gede. Langka banget," ucap Velven. Kemudian, dia kembali menanyakan yang sempat terlupakan. "Eh, serius. Jangan lupa lo tawarin. Tadi mau ngomong apa?"
"Berapa harganya? Gue aja yang beli. Biar kalau udah malam bisa gangguin lo sama Prelove," jawab Marco.
"Ah, sialan. Gue nyesel nawarin lo. Udah ah, gue pakai jasa aja buat nyariin pembeli. Bye!"
"Yeee... gue-sialan! Malah dimatiin." Marco berdecak saat mengetahui Velven mematikan sambungan sepihak. Baru selesai dengan obrolan tidak jelas tadi, dia mendengar ada telepon masuk lagi. Kali ini nomornya tidak ada dalam daftar kontaknya.
"Halo?" sapa Marco.
"Kamu di mana?" tanya perempuan di seberang sana.
"Siapa nih? Sagitarius?"
"Bukan. Tiffany," jawab perempuan itu.
Seketika tubuh Marco menegang mendengar nama itu. Dia melihat kembali nomor yang menghubunginya. Kode awalnya kode telepon negara Indonesia. "Ka-ka-kamu udah pulang?"
Perempuan di seberang sana terdengar dingin. "Iya. Kita ketemu jam makan siang. Aku kirim alamatnya. See you."
Setelah telepon ditutup oleh perempuan itu, pikiran Marco mendadak blank. Kenapa perempuan itu pulang ke Jakarta? Apa yang ingin dibicarakan sampai to the point tanpa basa-basi? Apa mungkin... ah, tidak. Marco mengenal perempuan itu. Tidak mungkin.
Pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Pertanyaan mengenai kepulangan perempuan itu berhasil mengejutkan hatinya.
👠 👠 👠
Jangan lupa vote dan komen kalian ^^
Ini mukanya Belle >_< cantik kayak ibunya kan? hehe
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top