Chapter 6

Sesuai janji aku update nih ^^ satu chapternya lagi nanti malam ya😍😍😍😍 biar dinikmati dulu yang ini wkwk

Jangan lupa komen dan vote kalian♥️

-- BATAS RAHASIA --

"ARRRGGGGGGGGHHHHH!"

Teriakan nyaring berasal dari tenda sebelah, yang mana ditempati oleh Marco. Mendengar teriakan senyaring stereo itu membuat Lulove dan Belle terbangun.

"CACING SIALAN! MATI LU!"

Suara Marco kembali meramaikan suasana malam yang sunyi, senyap, dan tenang. Lulove berdecak berulang kali mendengar suara berisik itu.

"MAMIIIIIIII! ADA BELALAAAAANNGG!!"

Lulove geleng-geleng kepala. Suara Marco berisiknya luar biasa. Ingin rasanya dia menyumpal mulut itu dengan cacing. Masa Marco tidak malu sama umur yang sudah menginjak 28 tahun? Bahkan rasanya Belle saja tidak penakut kayak Marco.

"Papa kenapa sih, Tante? Digodain belalang sama cacing?" tanya Belle dengan mata sayup-sayup masih mengantuk.

"Mungkin. Belle tidur lagi aja. Abaikan Papa karena dia akan baik-baik aja." Lulove mengusap kepala Belle sambil tersenyum. "Selamat tidur kembali, Belle."

"Good night, Tante Lulu."

Belle kembali memejamkan mata. Sementara Lulove tetap mengusap kepala Belle sampai gadis kecil itu jatuh terlelap.

"Lulu, buka tendanya dong. Saya mau tidur bareng di situ," ucap Marco dari luar tenda.

"Sempit. Nggak bisa nampung tiga orang," balas Lulove dingin.

"Lega! Saya tahu tenda itu lega banget. Buruan buka. Tenda saya ada cacingnya!"

Lulove terpaksa membuka resleting tenda. Belum sempat menolak Marco sudah menerobos masuk dan merebahkan tubuh di sisi kiri Belle, sementara sisi kanan diisi oleh Lulove.

"Cacing sama belalang nggak akan bikin Pak Marco mati. Pindah. Di sini sempit."

"Kamu aja sana yang pindah. Saya mau di sini sama Belle."

"Ya udah. Jagain Belle. Saya tidur di tenda Pak Marco."

Belum sempat berdiri Lulove melirik tangan Marco yang menahan pergelangan tangannya. "Apa lagi?" tanyanya datar.

"Tidur di sini aja. Kalau di sini tiba-tiba ada belalang gimana? Belle juga takut sama belalang," pinta Marco setengah memohon. "Please..."

Lulove bisa saja jadi ratu tega, tetapi wajah memelas Marco berhasil membuainya hingga bersedia tidur bertiga di satu tenda. Kalau tidak menyusahkan bukan Marcopolo Wijaya namanya.

"Saya mau tidur. Jangan berisik lagi karena di sini nggak ada apa-apa." Lulove memperingatkan dengan nada penuh ketegasan.

Marco diam tak menjawab. Lulove melirik sedikit memperhatikan Marco yang diam memandangi atap tenda. Tak lama hanya sebentar karena Lulove mulai memejamkan mata mencoba untuk tidur.

"Andaikan nggak ada Belle mungkin saya udah nggak ditulis sebagai anaknya ayah saya," cerita Marco tiba-tiba.

Lulove tidak ingin bertanya. Dia ingin berpura-pura tidak penasaran meskipun hatinya berkata lain.

"Dari lahir sampai kuliah saya menetap di Manhattan bareng orangtua saya. Saya baru pindah ke Jakarta pas udah lulus kuliah. Di SMA yang sama saya bertemu Isabella, ibunya Belle. Dia senior saya dua tahun. Saya sangat mencintai Isabella sampai rela menikah lebih cepat. Untuk pertama kali dalam hidup saya, ada sosok yang benar-benar peduli seperti Isabella. Sayangnya dia meninggal setelah melahirkan Belle. Setiap melihat Belle, saya seperti melihat Isabella. Itu yang membuat saya sulit ngurus Belle," lanjut Marco.

Lulove diam mendengarkan. Velven sudah menceritakan hal ini persis seperti yang Marco ceritakan. Laki-laki itu masih berumur sembilan belas tahun saat menikah dengan Isabella Rose Ludwig––perempuan kelahiran Amerika asli. Velven mengatakan cinta Marco pada Isabella sebesar dunia. Hidup laki-laki itu berantakan setelah Isabella meninggal. Bagi Marco sendiri Isabella seperti penyelamat yang datang menariknya dari kegelapan. Iya, Marco kurang kasih sayang dari orangtua. Di balik tawa dan sikap tengilnya Marco, ada luka yang tidak pernah hilang. Ada hati yang selalu merasa kesepian dan haus kasih sayang. Semua luka semakin bertambah ketika ditinggal perempuan yang dicintai selamanya.

"Hm... Mirena?" Lulove tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan tanpa sadar.

"Mirena adiknya ibu saya. Dia lebih menyayangi saya ketimbang ayah saya sendiri. Dia membiayai semua kebutuhan saya selama di Manhattan. Ayah saya masih belum menikah lagi waktu itu. Dia sibuk sama pekerjaan. Saya tinggal bareng sama beberapa saudara saya dari ibu berbeda. Mereka juga sama, kurang kasih sayang. Marini baru aja jadi istri ayah saya beberapa tahun silam jadi saya baru ngerasain lagi kasih sayang seorang ibu setelah bertemu Marini," jawab Marco menjelaskan.

Lulove mendengarkan secara saksama. Benar seperti kata orang-orang bahwa orang yang sering tersenyum dan tertawa biasanya menyimpan luka lebih banyak. Marco contohnya. Dia memikul semua rasa sedih dan kecewa sejak lama sendirian.

"Saya takut semakin terluka kalau merawat Belle makanya meminta orangtua saya urus dia. Masih terlalu sulit untuk saya karena Belle benar-benar duplikat ibunya," tambah Marco.

Lulove mengerti meski sedikit. Pastilah berat untuk Marco yang ditinggal tiba-tiba oleh istrinya. Namun, dia merasa kasihan juga pada gadis kecil itu. Ayahnya takut terluka sehingga mengabaikan, sementara Belle butuh kasih sayang.

"Saya tahu kehilangan seseorang itu berat. Tapi apa Bapak mau begini terus? Mau seperti ayahnya Pak Marco yang menelantarkan Bapak? Belle nggak salah apa-apa. Mungkin kalau dia boleh memilih kehidupan, dia nggak akan mau juga lahir tanpa kehadiran seorang ibu," ucap Lulove.

Marco mengangguk mengerti sambil tetap memandangi langit-langit tenda. "Iya, saya ngerti. Ini makanya saya mencoba untuk merawat Belle. Saya sadar kalau tindakan saya seperti refleksi tindakan ayah saya."

"Semoga luka itu bisa hilang pelan-pelan. Semoga Bapak bahagia selalu. Saya hanya bisa mendoakan hal itu," kata Lulove. Kali ini suaranya lebih hangat. Berbeda dari biasanya yang dingin dan datar.

Marco meneleng ke samping. "Tumben ada kata-kata baik keluar dari mulut kamu. Kesambet ya?"

"Iya, ini kesambet setan baik, Pak," canda Lulove.

Marco terkekeh. "Bisa bercanda juga. Saya pikir cuma bisa datar doang." Belum sempat disela, Marco menambahkan, "Makasih udah mau dengerin curhatan saya. Berhubung saya udah beberin kisah hidup saya gantian dong kamu cerita. Saya juga mau tau tentang kehidupan asisten saya."

"Hidup saya nggak ada yang menarik, Pak."

"Masa sih? Kenapa nggak ceritain kapan kamu ketemu Kara?"

Lulove menahan tawa. Rupanya Marco masih termakan kebohongan yang dia ucapkan. Sungguh ternyata Marco tidak sepintar itu. Mengabaikan soal pertanyaan Marco, dia mengubah posisinya miring menghadap Belle. Saat melihat Belle seperti akan terbangun dia mengusap kepala Belle dengan lembut.

"Saya juga mau dikelonin kayak gitu," goda Marco sembari memiringkan tubuhnya menghadap Lulove.

"Saya nggak mau. Tidur aja Pak. Nggak usah banyak ngomong. Berisik. Belle hampir bangun karena Bapak."

Marco berdecak kemudian berbalik badan memunggungi Lulove. Dia memilih memejamkan mata ketimbang emosi setiap bicara dengan Lulove. Dia pikir kalau sudah cerita Lulove akan lebih lembut ternyata dugaannya salah. Zonk!

Beberapa menit kemudian Lulove mengubah posisinya menjadi duduk untuk memastikan Marco sudah tidur atau belum. Setelah melihat bosnya memejamkan mata Lulove menarik selimut Marco supaya menutupi tubuhnya.

"Selamat istirahat, Pak Marco."

Menit selanjutnya Lulove memejamkan mata. Marco yang saat itu hanya sebatas memejamkan mata dan belum tidur segera membuka kelopak mata. Marco berbalik badan menghadap Lulove, memandangi asisten dan putrinya yang tidur.

Marco menarik senyum saat memandangi Lulove. Dia tidak menyangka asistennya perhatian meskipun aslinya selalu menyebalkan dan datar.

"Good night, Girls."

👠 👠 👠

Pagi-pagi sekali Lulove berinisiatif memancing ikan di dekat tempat mereka berkemah. Ditemani gadis kecil yang senang di sampingnya, dia ikut menarik senyum.

"Tante, sering-sering main ke rumah ya," kata Belle tiba-tiba di sela kesunyian yang melanda.

Lulove tersentak, tapi berusaha mengontrol diri. "Oke, Belle."

"Asyik!" Belle menunjukkan wajah riang gembira. Hanya sepersekian detik wajahnya berubah sedih. "Jangan kayak Papa yang selalu sibuk ya, Tante. Belle kesepian."

Hati Lulove mencelus. Melihat gadis kecil itu sedih membuatnya ikut sedih. Dia menghentikan kegiatan memancing dan menghadap pada Belle. Sembari mengusap kepala gadis kecil itu dia berkata, "Papa sangat sayang sama Belle. Dia hanya nggak tahu gimana cara menunjukkan rasa sayang itu."

Belle menatap sendu. "Apa Papa benar sayang sama Belle, Tante? Papa nggak pernah datang waktu ada acara pentas di sekolah. Selalu aja Oma atau Opa."

"Iya. Papa sangat sangat menyayangi Belle." Lulove teringat cerita Marco semalam. Dia malah semakin sedih menatap iris biru gadis tak berdosa itu. "Belle harus tahu Papa sibuk mencari uang untuk Belle. Jadi jangan mengira Papa nggak sayang ya."

Pelan-pelan senyum di wajah Belle mulai terbit. Cerahnya sudah mirip cerahnya mentari pagi ini. "Belle sayang Papa. Belle juga sayang Tante Lulu." Lalu, Belle memeluk Lulove dengan erat.

Dari jauh Marco menyaksikan pemandangan meneduhkan hati itu. Dia bergegas menghampiri Lulove dan Belle. Setelah sudah sampai dia melihat putrinya memamerkan senyum dan memeluknya. Kontan, Marco segera menggendong Belle dan mengecup pipinya berulang kali.

"Selamat pagi kesayangan Papa," ucap Marco. Kali ini kecupannya berakhir digantikan senyumnya. Putrinya menjawab, lalu dia melihat Lulove yang sudah kembali fokus memancing setelah kedatangannya. "Good morning, Lulopi."

"Pagi juga, Pak. Mau ikut mancing?"

Marco menggeleng kuat. Melihat cacing menggeliat di dalam kotak membuatnya geli. Dia mundur dua langkah karena takut Lulove melemparinya pakai cacing.

"Saya mau main sama Belle aja. Kamu mancing sendirian nggak apa-apa, kan?"

"Nggak masalah, Pak. Silahkan bermain sepuasnya."

"Papa, kita nggak boleh ninggalin Tante Lulu. Mainnya ditunda aja. Kita temenin Tante Lulu," tolak Belle tidak setuju atas ucapan ayahnya.

"Memangnya Belle mau mancing?" tanya Marco pada putrinya. Gadis kecil itu mengangguk penuh semangat. "Hm... oke deh."

Marco menurunkan putrinya, membiarkan gadis itu duduk bersampingan dengan Lulove. Dia memperhatikan dari belakang, masih berdiri karena takut melihat cacing. Lulove yang menyadari pandangan Marco terus tertuju pada cacing yang bergerak-gerak, dia menutup kotaknya dan memindahkan agak jauh dari jangkauan Marco.

"Duduk, Pak. Cacingnya udah saya tutup," kata Lulove.

Marco masih ragu. "Itu nggak akan keluar, kan?"

"Nggak, Pak."

Belle menoleh ke belakang. "Papa takut cacing? Padahal cacingnya nggak galak." Dengan santainya Belle menaikkan cacing ke udara setelah sebelumnya mengambil diam-diam dari dalam kotak.

"Belle! Buang! Astaga!" pekik Marco panik. Putrinya malah tersenyum entah untuk apa. "Belle buru buang. Papa marah ya. Biar Tante Lulu aja yang pegang cacing."

Belle tertawa meledek ayahnya yang takut. "Papa lucu kalau takut. Iya, Belle balikin sama Tante Lulu."

Lulove ikut tertawa seraya mengambil alih cacing yang dipegang oleh Belle. "Cacingnya udah diamankan, Pak. Duduk. Jangan berdiri terus nanti makin tinggi."

Marco akhirnya berani duduk. Kalau putrinya masih memegang cacing dia takkan bersedia duduk. Biar saja capek berdiri. Untungnya tak ada lagi cacing. Melihat cacing sangat geli.

Beberapa menit setelah duduk Marco memperhatikan Lulove yang berbincang dan mengajari Belle. Memangku putrinya dan memberitahu beberapa hal soal alat pancingan. Entah kenapa perasaan Marco terasa ringan. Mungkin ini efek dari menceritakan soal masa lalunya. Di samping itu dia sadar bahwa Lulove sangatlah baik.

👠 👠 👠

Jangan lupa vote dan komentar kalian ya😘😘😘🤗♥️

Ini Mamanya Belle😍

Cantik kan? hehe Belle matanya warna biru juga kayak Mamanya😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top