Chapter 4

Akhirnya Marconah update lagi!😘😘😍

Jangan lupa vote dan komen kalian berharga sekali♥️

-- BATAS MASALAH --

Semalaman Lulove menemani Marco merawat putrinya. Atau, bisa dibilang malah dia sendiri yang merawat gadis kecil itu karena Marco sudah menghilang entah ke mana sejak dia bangun pukul tiga dini hari. Saat ini waktu menunjukkan pukul enam pagi. Marco tak berada di kamar inap. Bosnya ini memang paling tidak punya otak. Sudah anaknya sakit malah keluyuran kayak kelelawar.

"Good morning, Lulupi!" sapa Marco setelah membuka pintu kamar.

Lulove tersentak kaget. Kedatangan Marco seperti jelangkung karena tidak pernah terduga. Untung saja tidurnya rapi, tidak ada air liur menempel. Sewaktu Marco menyapa dia tidak perlu malu dan membalas, "Selamat pagi, Pak Marco."

"Lulupi udah bangun daritadi ya? Atau, nungguin saya datang ke pelukan kamu?" goda Marco dengan kerlingan mata andalan.

"Mata Bapak sakit? Saya bisa antar Bapak ke dokter mata sekarang," balas Lulove datar.

"Sakit rindu sama kamu. Datangnya ke kamu dong, masa dokter mata. Obatin dong kerinduan saya, Lulupi." Marco kembali menggoda. Kali ini dengan merangkul pundak Lulove yang ada di sampingnya.

"Maaf, Pak. Tolong jangan panggil Lulupi. Saya dengarnya lelepin."

Marco tertawa kecil. "Hahaha... Lulupi punya selera humor juga. Kirain humornya udah kegiles sama wajah datarnya."

Lulove menurunkan tangan Marco dari pundaknya. Dia berdiri dan menunduk sedikit. "Saya mau pulang dulu, Pak. Saya perlu mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, saya akan kembali ke sini. Apa ada yang ingin Bapak titip?"

"Ada sih."

"Apa, Pak?"

"Bra dan celana dalam."

Lulove menaikkan satu alisnya secara tidak sadar. Buru-buru dia mengubah ekspresinya. "Boleh. Ukurannya, Pak?"

"Ukuran kamu. Saya mau beliin buat Lulupi tercinta karena udah jagain putri saya," jawab Marco. Seperti tidak ada capeknya masih tetap mengerlingkan mata.

"Nggak perlu, Pak. Saya punya banyak di rumah. Selain itu, Bapak ingin apa lagi?"

Marco tergelak. "Kamu pede amat sih, Lulup. Saya beliin supaya kamu menetap di sini jadi bisa jagain putri saya sampai beberapa hari ke depan. Mandi di sini sekalian jadi nggak repot bolak-balik. Saya sibuk mau urus sesuatu di kantor."

Lulove ingin sekali menggetok kepala Marco. Anaknya sakit masih keluyuran dan selalu mengatasnamakan 'sibuk'. Padahal dari rumor yang beredar Marco selalu pergi menemui perempuan berbeda dan tidur dengan perempuan yang ditemuinya. Mungkin semalam juga begitu. Sungguh nasib anaknya sial sekali punya ayah seperti Marco ini. Begitu pikir Lulove.

"Saya akan membereskan––"

Kalimat Lulove terhenti ketika mendengar suara pintu dibuka cukup keras hingga menghantam dinding. Sesaat menoleh ke belakang, Lulove mendapati ayahnya Marco datang. Pria itu sedang ditarik oleh ibu tirinya Marco seolah tidak usah masuk ke dalam kamar inap. Hal itu semakin diperjelas dengan ajakan memohon Marini untuk tidak mencari masalah.

"Anak nggak tahu diri! Berani-berani kamu masih menginjak rumah sakit setelah tahu Belle jatuh sakit!" ucap Herza dengan galaknya.

"Mas, cukup. Belle tuh lagi tidur," bujuk Marini.

"Saya nggak peduli. Anak ini nggak becus jadi seorang ayah!"

"Papa merasa becus?" Marco tertawa meledek. "Selalu aja saya yang disalahin. Papa nyari masalah mulu. Mau saya telanjang lagi? Boleh. Biar Papa makin malu lihat anaknya telanjang. Saya nggak akan pakai celana dalam kali ini. Biar dikira gila sekalian karena punya keluarga kayak gini."

"Marco, cukup!" bentak Marini.

"Dasar anak nggak tahu sopan santun!" Herza melepas tangan Marini darinya dan mempercepat langkahnya. Tangannya berayun akan menampar wajah Marco. Namun, entah mengapa Lulove melindungi Marco sehingga tamparan itu mengenai perempuan tak berdosa itu. "Lu-Lulove..."

Marco terkejut. Begitu pula dengan Marini. "Ya ampun... Lulove! Mas, cukup dong!"

"Kenapa kamu halangin saya?" tanya Herza seraya menurunkan tangannya.

Lulove menunduk sambil menjawab, "Saya nggak berhak ikut campur urusan masalah keluarga Bapak. Maaf saya lancang bicara seperti ini. Tapi tolong tahu ini rumah sakit. Belle sedang tidur. Kalau Bapak dan Pak Marco ingin bertengkar jangan di sini. Hargai kesehatan Belle."

Herza tidak bisa marah lagi. Apa yang dibicarakan Lulove benar. Berkat kalimat Lulove yang cukup mengena, Herza pergi keluar dari kamar dengan sendirinya. Lalu, Marini menyusul setelah berterima kasih pada Lulove.

Marco yang masih tidak percaya langsung membalik tubuh Lulove dan melihat wajah yang ditampar oleh ayahnya. Merah. Itulah yang dia lihat sekarang. "Kamu mau ngapain sih sok pahlawan segala? Biarin aja Papa saya mukul. Dia memang kasar begitu."

"Saya melakukan ini bukan untuk Pak Marco, tapi untuk menghargai kesehatan Belle. Apa Bapak sekali aja pernah memikirkan Belle?"

Marco diam tak bersuara. Lulove melirik Belle, menunjuk gadis kecil yang tertidur lelap dan berwajah lugu tanpa dosa. "Kalau Bapak sudah tahu Pak Herza bersikap buruk sama Bapak, kenapa Bapak mengulangi pada Belle? Semalaman Bapak menghilang. Putri Bapak masih kecil. Dia butuh kasih sayang. Kalau boleh dia protes sama Tuhan, saya rasa hati kecilnya ingin ganti ayah. Saya pun baru lihat laki-laki nggak bertanggung jawab seperti Pak Marco. Seenaknya titip anak ke mana-mana seolah dia nggak penting. Apa Pak Marco mau balas dendam karena Pak Herza bersikap begitu dulu? Melampiaskan semua kekecewaan Bapak pada Belle?"

Celotehan panjang Lulove masuk ke dalam hati, menusuk seperti belati yang tajam, dan membuat hatinya bolong. Namun, Marco merespons dengan santai. "Aduh, ini kalimat terpanjang Lulupi. Belajar pidato di mana, Lup?"

Lulove menatap dingin dan datar Marco yang terlihat nyengir seperti orang bodoh. Bicara panjang lebar rupanya tidak berhasil menyadarkan Marco. Tingkat ksadarannya sudah paling kritis.

"Aduh, Lulupi. Tatapan matamu menarik hati. Oh, senyumanmu manis sekali." Marco bersenandung sambil goyang ubur-ubur seperti tarian yang ditunjukkan Spongebob.

Sungguh, Lulove menyesal bicara panjang lebar kalau hasilnya begini. "Pak, mumpung di rumah sakit coba periksa otaknya. Saya pamit pulang. Permisi." Lalu, dia menyingkirkan tamgan Marco dari pundaknya dan melenggang pergi tanpa mau menceramahi lagi.

Selepas kepergian asistennya, Marco diam menunduk. "Iya, kamu benar, Lulove. Saya memang nggak bertanggung jawab."

Di sela kesadaran yang mulai muncul dari dalam diri, gadis kecil mengeluarkan suara. "Papa?"

Marco mendekati Belle, duduk di samping tempat tidur dan mengusap kepala putrinya. "Belle udah bangun? Ada yang sakit nggak?"

Belle menggeleng. "Papa nggak sibuk lagi?"

"Nggak, Belle."

"Jadi Belle bisa peluk Papa sekarang?"

Hati Marco mencelus. Matanya berkaca-kaca menatap iris biru putrinya yang tampak senang. Tanpa mengatakan apa-apa, Marco memeluk putrinya.

"Belle kangen Papa."

Di sinilah hatinya semakin sedih. Mungkin dia terlalu jahat membiarkan Belle tinggal bersama orangtuanya, menitipkan pada para sepupunya dan mengabaikan keberadaan gadis itu.

"Papa juga kangen Belle. Maafin Papa." Kalimat terakhir Marco diucapkan sesamar mungkin. Biarlah Tuhan saja yang mendengarnya agar dapat memaafkan tindakannya selama ini.

👠 👠 👠

Siang ini Marco duduk di kedai kopi. Mengaduk cangkirnya sampai tumpah karena terlalu sering diaduk. Setelah berdiam diri selama sepuluh menit, Lulove datang dan berdiri di sampingnya.

"Bapak mau ngaduk kopi sampai kapan?" tegur Lulove.

Marco tersadar dari lamunan, berhenti dari kegiatan dan nyengir seperti biasa. "Eh, Lulupi. Duduk, Sayangku."

Lulove menatap dingin. Sembari duduk dia bertanya, "Ada angin ribut apa ngajak saya ngopi?"

"Ah, Lulupoy suka gitu. Kalau saya ngajak minum kopi memangnya harus ada udang di balik rempeyek gitu?"

"Nggak."

Marco berdecak pelan. "Lop, jangan singkat-singkat dong. Saya berasa ngomong sama robot."

"Iya."

"Ya udah deh, Robot. Saya nggak basa-basi. Saya minta maaf soal di rumah sakit sekaligus mau berterima kasih. Kamu benar. Saya terlalu menelantarkan Belle. Saya nggak enak ngomong di telepon atau chat. Inilah alasan saya ngajak ketemu," ucap Marco. Akhirnya dia mengutarakan yang ingin diucapkan. Sedari tadi memikirkan bagaimana caranya berterima kasih pada Lulove.

"Iya, Pak."

Marco menaikkan satu alisnya menatap bingung. "Iya apa nih? Jangan singkat-singkat kek, Lop. Saya nggak lagi belajar singkat kata."

"Iya, saya terima ucapan terima kasih dan maafnya."

Marco geleng-geleng kepala. "Kamu hatinya sebeku apa sih, Lop? Keliatan nggak ada seneng-senengnya. Muka datar aja kayak penggaris. Suara juga. Mirip sama sobat saya si Zery. Sebelas dua belas deh kalian. Kembar yang terpisah kayaknya."

"Sudah selesai, Pak?"

Marco mengusap wajahnya kasar. "Aduh, Lop. Saya jadi gemes sendiri lihat kamu kayak tembok. Apa jangan-jangan lagi main hard to get nih?"

"Saya ingin pamit, Pak. Bu Marini meminta saya membelikan baju untuk Belle."

Marco menarik senyum penuh arti. "Kamu mau beli baju atau kencan sama Kara?"

"Sekalian kencan, Pak. Mau ikut?"

"Nggak. Bisa-bisanya si Kara pacarin tembok." Marco melempar senyum mengejek. Namun, Lulove tak bereaksi apa-apa selain menunjukkan tatapan datar andalannya. "Buset... beneran kayak tembok ini anak."

"Saya mau bilang sesuatu, Pak."

"Apa?"

"Saya sudah izin sama Bu Marini setiap malam minggu saya libur. Apa pun keperluan Pak Marco jadi saya nggak bisa handle pada hari itu."

"Jadi kamu lebih mementingkan malming sama Kara dibanding urus saya?"

"Iya, Pak."

"Oke. Kalau gitu tiap malam minggu saya mau ngajak kamu double date. Saya bawa pacar saya, kamu bawa Kara. Setuju ya? Oke deh, kamu setuju."

Mati. Lulove harus bilang apa pada Kara kalau dia mengaku-ngaku pacaran sama perempuan? Astaga... kenapa Marco mudah sekali ditipu. Menguji kesabaran saja!

"Saya belum bilang setuju."

"Pasti setuju. Iya, kan?"

"Iy––eh, nggak. Saya menolak."

Marco nyengir seolah berhasil telah menjebaknya nyaris mengatakan setuju. "Kamu bilang iya. Mulai Sabtu ini kita double date. Kali-kali gitu saya bisa double date bareng asisten."

Lulove tidak bisa beralasan. Mau tidak mau dia mengangguk setuju. Dia akan membicarakan hal ini dengan sahabatnya.

"Oh, ya––" Marco memberi jeda pada kalimat saat merasakan ponsel bergetar. Melihat sekretarisnya memanggil, dia langsung mengangkat panggilan itu. "Ada apa, Laron?"

"Pak, maaf mengganggu waktunya. Saya ingin menyampaikan bahwa beberapa investor membatalkan kerja sama mereka," balas Eron di seberang sana dengan suara agak takut.

"Kenapa bisa begitu?"

"Saya nggak tahu, Pak. Tapi ini berawal dari perusahaan J Group yang membatalkan kerja sama mereka dengan kita, lalu perusahaan lain ikut membatalkan kerja sama."

Marco tertawa keras seperti orang gila, membuat beberapa pengunjung kedai kopi menatap aneh.

"Kenapa tertawa, Pak?"

"Nggak apa-apa. Kalau begitu saya tutup teleponnya. Ada yang perlu saya urus. Kamu kerjakan yang saya minta." Marco menutup telepon sebelum Eron sempat mengucapkan salam. Marco masih tertawa kecil. Dia sudah menduga kejadian sialan ini. Pasti ini ulah putri pemilik J Group itu. Perempuan itu mungkin merasa hanya dimaanfaatkan dan diperdaya olehnya.

"Bapak baik-baik aja?" tanya Lulove.

"Baik. Bangun, Love. Kamu ikut saya."

Setelah Lulove bangun dari duduknya, barulah dia bertanya, "Ke mana, Pak?"

"Menyelesaikan masalah."

Mendengar kata masalah diucapkan tak lagi mengagetkan Lulove. Tiap hari ada saja masalah yang Marco buat. Entah apa sih maunya dalam hidup sampai masalah saja beruntun begini kayak kereta api.

👠 👠 👠

Jangan lupa vote dan komen kalian ya🤗🤗😘♥️

Oh, iya, cerita ini akan update seminggu sekali setiap hari Sabtu ya ^^

Jadi bagi yang nunggu cerita ini, diinget aja jadwalnya hehe tapi bisa juga aku update di luar hari Sabtu kok, cuma jadwal tetapnya hari Sabtu♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top