Chapter 3
Playlist chapter ini disponsori lagu Noel - Our Last Day💌
•
•
-- BATAS KAGET --
Marco masih tidak percaya mendengar ucapan Lulove. Dia bergegas ke rumah sakit begitu Marini memberitahu. Setelah tiba di rumah sakit Marco berlari masuk. Dadanya terasa sesak. Tepat saat dia tiba di depan ruang inap, Savannah menamparnya keras-keras. Bunyi 'plak!' menjadi bukti bahwa Savannah menggunakan kekuatan dalam untuk menamparnya.
"Dasar nggak punya otak!" maki Savannah.
India mendekat, mencoba menarik tangan Savannah agar mundur ke belakang. "Kak Sav, sabar."
"Sabar? Mana bisa! Dia tuh biar sadar. Manusia tolol sedunia ini nggak ada pemikiran untuk ngurus anaknya!" umpat Savannah dengan kekesalan yang meluap-luap.
Lulove diam memandangi kejadian itu, dan menunduk karena tidak berani menatap Savannah yang kesal. Dia belum pernah bertemu dengan anaknya Marco, tapi sudah mendapat kabar seperti tadi.
"Gue nggak mau debat. Gue mau lihat anak gue," kata Marco pelan.
"Mau lihat anak lo? Ternyata masih nganggap Belle anak. Gue pikir tuh bocah udah lo bilang anak orang," omel Savannah. Suaranya kian meninggi, membuat beberapa orang kaget karenanya.
"Sav, tolong. Gue sedih denger—"
"Anak lo masih hidup. Bisa aja dia meninggal kalau nggak buru-buru dibawa ke sini. Kalau anak lo sakit, mana pernah lo jenguk. Makanya gue suruh Tante Marini bilang anak lo meninggal. Bener aja lo datang. Dasar nggak ada perasaan sama sekali. Ngotak dong lo!" potong Savannah semakin kesal.
"Sav, udah. Biar Marco jenguk dulu putrinya," bujuk Gavin.
"Udah? Gila lo! Biar dia sadar kalau kelakuannya sama kayak binatang! Bahkan binatang aja masih bisa ngurus anaknya." Savannah semakin emosi. Dan tangannya bergerak lagi mendaratkan tamparan lain di wajah Marco. "Kalau lo punya otak, lo nggak akan ngebiarin Belle menderita. Udah nggak punya ibu, bapaknya nggak peduli. Kasihan ya anak itu. Nggak dapat kasih sayang cukup."
Sepupu yang lain cuma bisa mendengarkan Savannah mengomel. Mereka tidak ingin melerai lagi karena semua yang diucapkan Savannah benar adanya.
Marco agak terkejut. "Jadi Belle nggak meninggal?"
"Nggak, Mar. Sengaja bilang gitu biar lo datang ke sini. Lo nggak pernah mau jenguk Belle kalau dia sakit. Jadi terpaksa ngomong begitu," jelas India.
"Kenapa? Lo mulai nyesel datang jenguk anak sendiri?" Savannah kembali mengomel. "Asal lo tau ya, Belle selalu nanya apa lo sayang sama dia atau nggak. Itu anak sering nangis nanyain ayahnya tapi lo nggak pernah peduli. Apa lo pikir Belle nggak dilahirkan dan dengan tiba-tiba muncul? Nggak. Dia lahir dari perempuan yang lo cintai."
Marco diam tak menanggapi. Gavin segera bertindak, menarik Savannah agar menjauh. Ketika Savannah sudah berhasil menjauh berkat bantuan India juga, barulah Marco masuk ke dalam kamar inap. Savannah sempat berontak tapi Mercurius ikut menahan Savannah agar diam.
"Sav, cukup dong. Jangan kayak gini. Lo bisa menasihati dia baik-baik," bujuk Mercurius.
"Baik-baik kata lo? Gue rasa mulut semua yang ada di sini sampai berbusa ngasih tau secara baik-baik!" tukas Savannah, masih tidak mau mengerti.
"Sav, look at him." Mercurius menarik Savannah berdiri di depan kaca jendela kamar inap. Dari celah itu dia menunjuk Marco yang terduduk di samping ranjang. "Marco emang nggak ngurus anaknya. Gue akui itu. Tapi, apa lo pernah tanya kenapa dia melakukan itu? Hatinya pasti terluka karena masalah di masa lalu," lanjutnya.
Savannah diam sejenak. Beberapa menit kemudian dia berkata, "Tapi tetap aja ini nggak membenarkan tindakannya. Kalau lo nggak setuju sama apa yang gue bilang ya udah. Terserah. Jangan sok-sok menyuruh gue memaklumi tindakannya karena masa lalu. Itu cuma excuse!" Lalu, Savannah melenggang pergi bersama amarahnya. Tak lama kepergiannya disusul India dan Gavin.
Lulove yang sejak tadi hanya mendengar dan menyaksikan tidak bisa berkomentar apa-apa. Dia tidak tahu apa maksud 'masa lalu' yang diucapkan Mercurius. Namun, dia tahu kalau pusat masalah di sini adalah semua tindakan Marco. Sungguh, manusia itu senang sekali menciptakan dan meninggalkan masalah di hidupnya.
"Kamu Lulove, kan?" tanya Mercurius tiba-tiba, membuat Lulove tersentak kaget.
"I-iya, Pak."
"Nggak mau masuk ke dalam?"
"Mungkin nanti, Pak. Biarkan Pak Marco di dalam dulu."
"Kenapa nggak masuk aj—"
"Gezz! Gue langsung ngebut pas denger Belle masuk rumah sakit. Gimana keadaannya?" Suara itu menyela. Tak lain keluar dari mulut Velven dengan napas terengah-engah karena habis berlari.
Lulove melempar lirikan tajam pada Velven. Entah kebetulan atau tidak, Velven juga tengah melihat padanya hingga membuat laki-laki itu mundur satu langkah.
"Eh, Ka-Kak Lulove," sapa Velven gelagapan. Panik dan takut. Iya, setelah ini dia yakin kena amukan Lulove karena sudah tahu bagaimana aslinya Marco.
Mercurius menatap Velven dan Lulove secara bergantian. "Kalian saling kenal?"
"Anu... ini kakaknya Prelove," jelas Velven. Dia melihat Lulove menunjukkan tatapan siap menghunus sampai dasar bumi. Baru dipelototi begitu saja bulu kuduknya berdiri. Memang deh, aura mengerikan Lulove sangat luar biasa.
"Prelove pacar lo?"
Velven mengangguk.
Sebelum ditanya lebih jauh, Lulove memotong lebih dulu. "Saya mau bicara dengan kamu Velven."
"Oh, boleh." Velven melihat semua sepupunya dengan tatapan minta tolong. Iya, takut kena pukul Lulove yang galaknya minta ampun. Sialnya para sepupunya tidak ngeh. Mereka malah mengizinkan.
Lulove melangkah pergi bersama Velven, mencari tempat aman untuk mengobrol. Setelah menemukan tempat terbaik yang sunyi—yang mana mereka berhenti di coffee shop yang ada di rumah sakit. Mereka duduk berhadapan. Kopi telah tersaji di atas meja mengepulkan asapnya.
Velven menurunkan pandangan pada kopi tanpa bersedia melihat Lulove yang bersedekap di dada dengan tatapan dingin nan mengerikannya. Raut wajah perempuan itu menunjukkan kekejaman yang sudah menghantui pikiran. Ya, Tuhan... Velven seharusnya jujur sejak awal soal Marco. Dia yakin Lulove akan membahas Marco.
"Kenapa kamu nggak bilang Marco senang buat masalah?" tanya Lulove tanpa basa-basi.
Velven menaikkan sedikit pandangannya, lalu menunduk lagi. "Kalau saya jujur nanti Kak Lulove nggak bersedia."
"Saya lebih suka jujur. Seenggaknya nggak bikin saya kaget. Kalau begini saya udah menganggap kamu tukang bohong. Jadi ini yang akan menikahi adik saya? Tukang bohong."
"Bu-bukan begitu, Kak. Aduh... serba salah hidup," sanggah Velven pelan. Lihat kan, benar dugaannya. Lulove memang membahas Marco.
"Saya maafkan kali ini tapi jangan sampai kamu membohongi Prelove. Kalau sampai kamu ketahuan bohongin dia, saya nggak akan kasih restu. Jangan harap saya ramah juga."
Velven mengangguk berulang kali. "Iya, Kak. Saya mana berani bohongin Prelove."
"Berhubung kamu udah bohong, kamu harus ceritain ke saya tentang kehidupan Marco. Saya nggak mau cuma bertanya-tanya terus. Kamu harus jelaskan supaya saya mengerti," tuntut Lulove.
"Saya nggak berani, Kak. Marco bisa marah."
"Kamu lebih milih Marco marah ketimbang saya? Ingat, saya bisa bilang Prelove yang nggak-nggak. Dia udah nurut sama kakaknya," ancam Lulove.
Velven ingin musnah saja sekalian. Kenapa pilihannya begitu sulit? Kenapa sih Prelove punya kakak setega ini?! Dia terpaksa mengangguk. "Kakak mau tau soal apa? Anaknya Marco? Atau, kenapa dia kayak orang gila setiap harinya?"
"Semuanya."
"Ini semuanya tuh dari—"
"Kamu paham bahasa Indonesia, kan? Kalau semuanya berarti hal-hal tentang Marco. Atau, perlu saya mengucapkan dengan bahasa Jerman?" potong Lulove dingin.
"Buset... sombong amat. Iya, saya paham. Bentar, saya mikir dulu harus mulai dari mana."
Velven mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya dia membeberkan semua hal yang diinginkan Lulove. Kalau Marco tahu dia membeberkan ini, dia jamin besok mobilnya dilempar granat. Iya, soalnya tidak ada yang boleh tahu semua hal tentang Marco di masa lalu. Namun, demi keberlangsungan hubungannya dia rela melakukan apa pun.
Lulove mendengarkan baik-baik setiap cerita yang Velven beberkan. Ada beberapa hal yang akhirnya membuat dia mengerti. Meskipun tidak membenarkan segala tindakannya tetapi setidaknya dia paham.
👠 👠 👠
Setelah mengetahui beberapa hal, Lulove kembali menuju ruang inap bersama Velven. Tepat saat dia akan masuk ke dalam kamar inap, dia menyadari Marco memeluk sesosok perempuan. Yang dia lihat bukan hanya pelukan biasa, tapi pelukan erat karena dapat terlihat dari tangan Marco yang melingkar di tubuh perempuan itu. Kebetulan tubuh perempuan itu memunggungi pintu kamar inap.
"Ya elah... baru gue mau jenguk. Ada aja halangannya," kata Velven, yang juga menyaksikan pemandangan itu.
"Jangan ganggu. Biar Marco berduaan dulu," sambung Mercurius yang masih berada di sana sejak tadi. Belum juga meninggalkan tempatnya.
Velven menoleh pada Mercurius. "Siapa sih? Salah satu boneka Barbienya Marco?"
Lulove tahu dari Velven kalau Marco senang berganti teman tidur setiap minggunya. Wajahnya memang sudah mesum jadi dia tidak kaget ketika Velven menyebutkan soal 'boneka Barbie'. Rata-rata yang ditiduri Marco pasti perempuan keluaran tempat produksi yang sama. Cantik dan bertubuh aduhai.
"Bukan," jawab Mercurius.
"Terus siapa?"
"Sagitarius."
Lulove kembali melihat punggung perempuan bertubuh tinggi itu. Dia sudah mendengar satu per satu nama perempuan yang singgah di hidup Marco. Salah satunya Sagitarius Cambridgena Hadijaya.
Jadi ini toh perempuan yang gagal menikah dengan Marco. Begitu pikir Lulove.
👠 👠 👠
Jangan lupa vote dan komen semuanya😘🤗♥️
Apa sih yang dibeberkan sama Velven?🤔 Apa yang bikin Lulove jadi mengerti? hehe tunggu kelanjutannya ya🤗🤗🤗
Follow IG: anothermissjo
Ini wujud visual Marco dan Lulove kalau dalam gambar😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top