Chapter 2

Sudah update😍😍😍

Kalau komennya sudah 150 besok aku lanjutkan lagi ya🤗🤗

Sepanjang jalan Lulove geleng-geleng kepala melihat kelakuan bos absurd-nya. Bagaimana tidak terheran-heran kalau Marco membuka kaca jendela mobil sampai batas paling bawah, lalu melempar ciuman ke udara ketika bersampingan dengan motor. Lucunya pengendara motor yang bersampingan dengan mobil selalu perempuan. Ada yang menanggapi-melempar kerlingan genit, tapi ada pula yang menatap aneh. Bahkan ada yang terang-terangan mengatai Marco gila. Jika Lulove berada di posisi perempuan itu, dia akan mengatai Marco bukan hanya gila tapi aneh. Sungguh sial nasibnya bertemu bos seperti Marco.

"Hai, cewek. Godain abang dong," goda Marco sembari melempar kerlingan maut ala-ala miliknya. Cengiran lebar memamerkan gigi putih nan rapi seolah memantulkan cahaya sendiri.

Perempuan yang digoda Marco menatap aneh. "Apaan sih, nggak jelas."

"Mau permen nggak? Abang Marco punya banyak. Bentar." Marco berbalik mengambil permen yang berada di sampingnya. Tepat saat dia akan menyodorkan permen, posisi yang ditempati perempuan tadi berubah. Kini posisi itu diisi laki-laki bertubuh atletis menaiki motor Kawasaki Ninja 250R. Cengiran Marco berubah kecut. Dia menahan tangannya yang nyaris menyodorkan permen. Saat akan menaikkan kaca jendela mobil, kacanya tidak mau naik. "Eh, Lulu! Kenapa kamu kunci jendelanya? Buruan naikin!"

Lulove yang sejak tadi memperhatikan Marco sudah tahu kalau posisi perempuan yang sudah menjauh entah ke mana itu diisi oleh laki-laki. Dia sengaja biar Marco malu. Apalagi Marco belum mengenakan celana bahannya. Biar tahu rasa!

"Tangan saya susah bergerak, Pak," tolak Lulove.

"Heh! Saya cium ya! Beneran naikin nggak. Malu dilihatin orang."

"Bapak punya malu juga? Tadi nggak ada malunya," balas Lulove sekenanya.

"Wah... ini orang ngajak gelut!" Marco pura-pura menggulung lengan kemeja miliknya, lalu sedikit memajukan wajahnya agar dapat melihat Lulove. "Buruan naikin!"

"Silahkan nikmati dulu angin segarnya, Pak. Saya sedang fokus lihat lampu lalu lintas." Lulove tetap pada pendiriannya. Bodo amat. Begitu pikirnya. Siapa suruh sok-sok buka jendela sampai bawah dan godain para pengendara perempuan di luar sana.

Baru akan bicara lagi, Marco menyadari pengendara motor laki-laki di sebelahnya membuka kaca helm, dan terdengar suara baritonnya. "Hai, saya suka gaya kamu. Milik kamu besar juga ya."

Seketika itu pula Marco menggeser posisinya pelan-pelan sampai ke ujung-tak lagi dekat jendela yang terbuka. Marco buru-buru mengambil celana miliknya, lalu menutupi bagian kemaluannya. Tak menanggapi apa-apa, Marco cuma nyengir sambil memukul tempat duduk Lulove bermaksud minta tolong. Lulove tak kalah kaget. Namun, Lulove senang. Biar bosnya kapok. Melihat Marco panik membuatnya ingin menertawakan laki-laki itu.

"Boleh nggak saya minta nomor kamu?" tanya si pengendara motor itu pada Marco.

"Aduh, saya nggak punya hape. Hubungi tetangga saya aja nih," jawab Marco sembari menunjuk Lulove.

"Saya maunya nomor kamu, Ganteng," kata laki-laki itu.

Marco melotot tak percaya. Tangannya memukul jok bagian belakang Lulove. "Lulove!"

"Kenapa, Pak?" tanya Lulove santai, pura-pura tidak mengerti kode bosnya.

Marco memberi kode melalui gerakan mata kepada Lulove yang menoleh padanya untuk segera menaikkan kaca jendela. Namun, Lulove pura-pura tidak mengerti dan kembali melihat lurus ke depan.

"Amit, amit, amit," gumam Marco saat melihat laki-laki itu. Matanya sedikit tertutup karena takut. Bukan apa-apa, Marco pernah disentuh pahanya sama banci jadinya dia takut setengah mati sampai sekarang. Bahkan, dia sempat ditaksir beberapa laki-laki. Ini pula yang membuat Marco tambah panik. "Ya Tuhan... tolong Marco. Nggak bisa aku tuh diginiin sama Lulopi."

Lulove yang mendengarnya hanya geleng-geleng kepala. Sementara si pengendara motor malah ketawa tidak jelas. Beruntung saja lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau sehingga mau tidak mau Lulove menginjak pedal gas, meninggalkan motor berwarna merah itu di belakang.

"Lulove, kamu bener-bener ya. Saya aduin Mami nanti!" gerutu Marco.

"Biar Pak Marco belajar kalau Bapak nggak bisa seenaknya godain perempuan di luar. Itu namanya catcalling dan termasuk pelecehan apalagi Bapak nggak pakai celana panjang. Tolong bersikap lebih dewasa dan masuk akal sedikit," tegas Lulove.

"Bodo amat."

"Semakin Pak Marco bersikap sesuka hati, maka saya akan melakukan hal yang sama. Belajarlah saling menghargai sesama manusia. Itu pun kalau Pak Marco masih menganggap diri sebagai manusia."

"Saya bukan manusia, tapi kaleng kerupuk. Jadi saya nggak mau menghargai sesama. Mau apa kamu?"

"Pantas aja nggak ada otak. Kaleng kerupuk kan nggak punya otak soalnya benda mati, Pak."

Marco dibuat kesal. Berbeda dengan asisten pribadi lainnya, Lulove yang paling menyebalkan. Mana membalas semua ucapannya lagi! Sungguh, bikin keki saja!

"Bodo amat." Marco mencoba memakai celana panjangnya dalam kesempitan ruang yang terbatas. "Ah, susah pakai celana di sini. Saya pakai setelah turun. Sebelum ke rumah kakak saya, kita beli ayam dulu. Saya lapar."

"Mau makan di mana, Pak?"

"Drive Thru McDonald's aja. Ingat, beli ayamnya dada. Soalnya kesukaan saya dada apalagi dada yang lain."

Lulove memutar bola matanya malas. Selain seenak jidat, semborono, tidak pikir panjang, bosnya juga mesum. Lengkap sudah penderitaannya sebagai asisten pribadi. Kalau tahu begini dia tidak perlu resign menjadi asisten pribadi Doni Subroto.

"Baik, Pak."

"Omong-omong, kalau diperhatiin lagi kamu mirip sama seseorang," kata Marco.

"Mirip siapa, Pak?"

Marco menusuk-nusuk lengan Lulove sambil nyengir, lalu menjawab, "Jodoh saya. Uhuy!"

Lulove tidak tertawa sama sekali. Wajahnya sedatar jalan tol. Ekspresinya bahkan lebih dingin dari freezer. Satu lirikan mematikan berhasil membuat Marco menarik jari telunjuk yang tak berhenti menusuk lengannya.

"Serius amat. Itu muka atau tempat debat?" ledek Marco. Tak mendapat tanggapan dari Lulove, dia kembali melancarkan kalimat lainnya. "Lu, tau nggak apel-apel apa yang paling nyebelin?" Melihat Lulove tetap tanpa ekspresi, dia melanjutkan, "Apelu gitu banget, Lulo!"

"Jayus, Pak. Lebih baik diam aja."

"Hah? Gayus Tambunan?" Marco pura-pura tidak mendengar, sedikit mundur dan menyandarkan tubuhnya pada jok. Kemudian dia mengambil ponsel milik Lulove yang tergeletak di sampingnya. "Kakak saya nggak ngerespons. Kalau gitu kita pergi ke rumah Velven aja."

Kebetulan sekarang Lulove ingin memaki Velven. "Baik, Pak."

"Eh, bentar." Marco teringat sesuatu yang muncul di kepalanya. "Nama pacarnya Velven ada Love juga. Agak mirip sama nama kamu. Saya lupa namanya."

Lulove menahan bibir agar tidak kelepasan. Namun, suara Marco berhasil mengejutkannya. "NAMANYA PRELOVE! SAYA INGET!"

"Pak, mau paket yang mana? Bentar lagi sampai." Lulove mengalihkan pembicaraan. Sialnya Marco mencondongkan tubuhnya dan mengamati wajahnya. "Tolong duduk yang benar, Pak. Jangan sampai nyusruk ke depan kalau saya injak rem mendadak."

"Kamu tau nggak cara ngomong kamu yang datar itu mirip siapa?"

"Saya nggak perlu tahu, Pak."

"Buset... nih perempuan makin songong aja ye. Saya kasih kecupan maut klepek-klepek nanti." Marco kesal sendiri. Kenapa Marini mencari asisten yang sebelas dua belas sama robot sih? Dia jadi susah bercanda. "Muka kamu jangan datar-datar dong, Lop. Mau dibilang kembaran sama penggaris?"

Lulove tak menanggapi. Syukurnya mobil yang dikendarai sudah memasuki Drive Thru McDonald's. Lulove mendengar Marco menjabarkan pesanannya. Setelah memesan, dia berhenti tepat di depan kasir pembayaran.

"Lop..." Marco mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu nyengir. "Bisa pakai uang kamu dulu nggak? Dompet saya kan udah dikasih Papa."

"Bisa, Pak."

Marco tersenyum semringah. "Kamu baik banget sih! Seneng kan punya asisten kayak kamu." Dia spontan menarik kepala Lulove agar lebih mendekat padanya, lalu mendaratkan kecupan di pipinya berulang kali sampai bunyi 'muah!' terdengar jelas.

Lulove mengambil tisu, kemudian menyeka bekas kecupan Marco padanya. Hal itu membuat Marco menaikkan satu alisnya. "Kok kamu seka sih kecupan manis dari saya? Itu kan hadiah. Kapan lagi dikecup Abang Marco."

"Saya takut rabies, Pak," sahut Lulove datar. Pandangannya beralih pada kasir yang tersenyum padanya. "Berapa totalnya, Mbak?"

"Dua ratus lima puluh ribu, Kak," jawab sang kasir.

Lulove mengeluarkan dua lembar uang seratus dan selembar uang pecahan lima puluh ribu. Setelah itu, dia melajukan mobilnya di pemberhentian selanjutnya.

"Kamu parah banget bilang rabies. Padahal kecupan saya bisa bikin kamu laku," kata Marco, masih belum kelar membahas soal seka kecupan tadi.

"Saya udah punya pacar, Pak."

"Serius? Ada yang mau sama Lulop? Wew! Baru tahu."

Lulove diam tak menanggapi lagi. Sementara Marco masih berceloteh ria seperti burung beo. Ampun deh, Lulove tidak menyangka punya bos yang cerewetnya mengalahkan ibu-ibu kompleks. Bahkan mengalahkan kerewelan adiknya.

"Lop, serius nih. Pacar kamu kayak gimana? Lihat dong. Saya kepo," tanya Marco.

"Cantik, Pak."

"Oh, jadi kamu beneran naksir perempuan?"

"Iya."

"Kalau gitu boleh dong lihat fotonya? Kalau cantik, saya mau ajak kawin."

Lulove mati kutu. Padahal dia tidak serius. Dia masih tertarik dengan laki-laki. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia berbohong dengan menunjukkan foto salah satu sahabatnya? Ah, kenapa malah dia terjebak kebohongannya sendiri sih? Dengan terpaksa Lulove mengatakan, "Saya pinjam ponselnya dulu biar Bapak bisa lihat foto pacar saya."

Marco menyerahkan ponsel Lulove, menunggu dengan rasa penasaran yang tinggi. Kenapa ibunya selalu mencari asisten pribadi yang naksirnya perempuan? Kalau tidak naksir perempuan, pasti punya penjaga. Heran. Padahal dia tidak mungkin tertarik juga. Bukan seleranya.

Lulove memegang ponselnya, lalu membuka galeri ponselnya mencari fotonya berdua dengan sahabatnya. Setelah ketemu, dia menunjukkan pada Marco. "Pak, ini pacar saya."

Marco menyipitkan matanya mengamati foto Lulove bersama seorang perempuan berambut panjang sepunggung. "Pacar kamu? Ini mah saya kenal! Kara, kan?"

Lulove terkejut. "Bapak kenal di mana?"

Marco tertawa renyah. "Haha... ini mah pernah bobo siang bareng saya."

Lulove melongo. Niat hati ingin berpura-pura naksir perempuan, bosnya malah kenal sama sahabatnya. Oh, God! Dunia sempit amat kayak cerita novel! Arghhh! Kenapa sih sahabatnya kenal Marco segala?! Bisa-bisa ketahuan deh bohong!

"Bapak serius?"

Marco menertawakan wajah melongo Lulove. "Kena lu, Lop!"

Lulove mengepal tangannya. Kalau bukan bosnya dia sudah meninju Marco sekarang juga. Tahan, tahan. Bicara sama anak bocah harus sabar. Jangan sampai toyor kepala. Dasar bos nggak waras! Umpatnya dalam hati.

"Mana mungkin saya pacarin sekretaris sepupu saya. Santai, pacar kamu aman buat kamu. Tapi nggak nyangka aja Kara naksir perempuan. Pantes saya godain nggak ditanggapi. Rupanya kamu pacaran sama dia," jelas Marco.

Baru akan Lulove menanggapi balik, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia melihat nama Marini muncul di layar ponsel. Tanpa pikir panjang dia segera mengangkat panggilannya. "Halo, Bu Marini?"

"..."

"Saya akan segera menyampaikan kepada Pak Marco."

"..."

"Iya, Bu."

Lulove mematikan sambungan. Dia melihat Marco yang menunggu informasi darinya. Tangan Lulove gemetar. Ada jeda selama beberapa detik sebelum dia memberanikan diri mengutarakan yang disampaikan Marini. "Pak... anaknya..."

"Kenapa anak saya?"

Lulove menatap Marco yang menunjukkan tatapan ingin tahu. Satu tarikan napas berhasil membuat Lulove lebih berani. "Anaknya Pak Marco... meninggal."

"Apa?!"

👠 👠 👠

Jangan lupa vote dan komentar kalian ^^

Ingat komennya 150 nanti aku lanjut ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top