Chapter 14

Yuhuuuuu update lagi ^^

Yok bisa yok, vote dulu terus komen sebanyak-banyaknya<3<3

Lulove duduk di depan ruang ganti menemani Marco. Bosnya sudah berganti setelan jas lebih dari lima belas kali. Bekerja untuk Marco lebih merepotkan ketimbang dulu dia bekerja untuk Doni Subroto. Belum lagi setelah dikasih saran Marco malah ngeluyur masuk dan mengganti jasnya.

"Lop, gimana menurut kamu?" Marco memutar tubuhnya demi menunjukkan setelan jas biru dongker bermotif bunga yang dicoba olehnya.

"Bagus, Pak," komentar Lulove mulai malas.

"Kamu jawab bagus mulu. Jawab yang lain dong, Lop."

"Ya udah, jelek, Pak."

"Kok jelek?"

Lulove berusaha sabar. Meskipun sudah bekerja beberapa bulan untuk Marco tetapi tetap saja tingkat kesabarannya selalu berkurang acapkali bicara dengan laki-laki itu. "Tadi Pak Marco minta saya jawab yang lain, kan? Saya bilang jelek. Warnanya nggak menarik. Coraknya juga terlalu menonjol."

"Berarti saya harus ganti lagi ya?"

Lulove bangun dari tempat duduknya. "Pak Marco cari setelan jas yang unik, kan?"

"Iya. Kamu tau di mana carinya?"

"Di sini banyak, Pak. Tapi Bapak pilih dengan motif yang sama cuma ganti warna aja. Saya pilihkan yang paling cocok untuk Pak Marco," ucap Lulove.

"Kamu bukan daritadi ambilin," gerutu Marco.

"Pak Marco bilang udah ada pilihan. Tapi saya lihat nggak ada yang menarik. Tunggu sebentar."

Lulove mengambil jas motif batik berwarna dasar hitam. Dia tahu selera Marco agak unik jika dibandingkan dengan beberapa CEO yang dia kenal. Marco bisa dengan santainya mengenalan sepatu pantofel berwarna berbeda demi menonjolkan keunikan seleranya. Dia yakin pilihannya takkan ditolak.

"Pak Marco belum punya jas seperti ini, kan? Saya lihat ini cocok untuk Pak Marco." Lulove mensejajarkan jas pilihannya dengan tubuh Marco. "Gimana, Pak?"

"Great! Saya coba ya."

Marco mengambil alih jas yang dipegang Lulove, lalu kembali mencoba jas seperti sebelumnya. Beberapa menit kemudian Marco hadir dengan setelan yang baru dicoba. Lulove mengacungkan ibu jarinya ke udara sebagai tanda setuju akan penampilan Marco yang sekarang.

"Kamu tahu aja selera saya," kata Marco.

"Selera Bapak nggak biasa," balas Lulove.

"Oh, iya, Lulopi. Jangan lupa beliin saya sepatu pantofel baru ya. Pesanin lagi dari luar," pinta Marco.

"Bukannya Bapak baru beli sepatu kemarin?"

"Iya, tapi udah kotor. Kemarin saya pakai jalan keliling komplek."

Lulove ingin geleng-geleng kepala tapi dia menahannya. Siapa suruh jalan ringan keliling komplek pakai sepatu pantofel keluaran A.Testoni? Dasar orang kaya! Dia saja mengumpulkan uang untuk membayar mantan suaminya belum ada seperempatnya. Sementara Marco bisa mengeluarkan belasan juta hanya untuk satu sepatu, yang nantinya tidak akan dipakai dua kali.

"Baik, Pak. Saya pesan lagi dari luar negeri."

"Sekalian sama celana bokser, Lop."

"Baik, Pak."

Dari sekian banyak manusia yang Lulove kenal, Marco termasuk orang yang konsumtif. Ada barang bagus dibeli. Ada barang branded kesukaannya yang mengeluarkan produk baru langsung dibeli. Pokoknya Marco tidak ketinggalan mode masa kini. Seperti halnya setelan jas yang dipakai Marco sekarang. Produk buatan desainer lokal itu harganya lumayan. Namun, desainnya sesuai dengan harganya.

"Berarti saya harus beli ini, kan? Beneran cocok nih?" tanya Marco lagi.

"Iya, Pak."

Lulove mendekati Marco, berdiri di depannya dan merapikan kerah kemeja yang kurang rapi. Tidak lupa Lulove merapikan bagian pundak Marco dan mengancingkan bagian tangan jasnya.

"Lop, saya mau nanya."

"Iya, Pak?"

"Kamu pakai parfum apa sih? Wanginya enak."

"Parfum merk Pulchra, Pak."

"Oh, parfum keluaran perusahaan Essan Ryder. Baru tau wanginya seenak ini."

Lulove tidak menjawab lagi. "Nah, ini udah rapi, Pak. Silahkan berkaca untuk memastikan apa yang menurut Bapak kurang."

Marco berkaca diri, memutar tubuhnya untuk memastikan keseluruhan tampilannya. Begitu tubuh sudah kembali menghadap cermin, dia menarik senyum penuh percaya diri.

"Saya ganteng banget ya," pujinya bangga.

Lulove yang berdiri di belakang Marco memutar bola mata malas. Bibirnya bergumam tanpa suara. "Amit-amit. Pedenya akut banget."

👠👠👠

Marco mengaduk kopi berulang kali. Hal ini sudah berlangsung dari tiga menit yang lalu. Dimas dan Zery yang duduk berhadapan dengan Marco saling melempar pandang. Mereka bertiga bertemu di kedai kopi milik sepupunya Zery.

"Lo aduk terus nggak akan jadi duit, Mar," usik Zery, merasa gerah sendiri.

"Biarin aja. Suka-suka pangeran dong," balas Marco dengan nada agak bete.

Dimas geleng-geleng kepala, melihat Zery yang juga melakukan hal sama. Kemudian, dia menyela, "Tiffany udah pulang ke Jakarta ya? Gue lihat dia aktif lagi di Instagram promosiin usahanya."

Marco mengangguk sambil tetap mengaduk kopi tak bersemangat.

"Apa lagi sekarang masalahnya?" tanya Zery.

"Tiffany kayaknya pedekate sama sepupunya bapak tiri Dimsum deh," jawab Marco, tanpa mengurangi kegiatan mengaduk kopi.

"Sepupunya Papa Mario?" sela Dimas.

"Cielaaaaah... Papa Mario. Dulu aja ngambek lo waktu Mama Resti mau nikah sama dia," cetus Marco.

Zery geleng-geleng kepala. Di saat begini Marco masih sempat-sempatnya meledek. "Jawab dulu, Mar. Masih sempat aja ledekin orang."

"Ya gitu, Tiffany deket sama Andrew Winata. Sepupunya Papa Mario lo tuh, Dim," jawab Marco akhirnya.

"Oh, Andrew." Dimas manggut-manggut. "Terus kenapa lo merengut gitu? Nggak suka Tiffany dekat sama yang lain? Lagian kalian udah cerai. Suka-suka dia dong," tukas Dimas.

"Buset... itu mulut nggak ada filternya banget. Apa lo nggak kasihan sama gue? Hati gue tuh tercabik-cabik, Dimsum!" Marco menepuk-nepuk dadanya cukup keras sampai dia terbatuk-batuk sendiri.

"Mulai deh, drama." Zery geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. "Kalau lo masih cinta ya kejar dia, bukan diem aja. Kalau alasan lo karena pesan nggak ditanggapin sama dia, ya lo susul ke Dublin. Sepupunya pasti tahu dia tinggal di mana. Kalau lo diam aja biarpun udah chat, ya berarti lo nggak menunjukkan usaha untuk dapatin dia lagi, Mar."

"Lo dengerin tuh pakar cinta," celetuk Dimas.

Marco menghela napas berat. "Berarti gue belum nunjukkin usaha dong?"

"Menurut lo? Masih mau nanya?" Zery bersedekap di dada, menatap Marco yang mengangkat bahu seakan tidak mengerti maksud ucapannya. "Pikirin sendiri deh, Mar."

"Saran gue, coba pikirin lagi seandainya lo mau balik sama Tiffany. Gue mah bukan kasihan sama lo sih, tapi Tiffany. Dia kelihatan capek ngadepin laki-laki kayak lo," sambung Dimas.

Alis Marco terangkat sebelah. "Eh, bentar. Maksud lo apa nih laki-laki kayak gue?"

"Semua orang juga tau Mar lo kayak gimana. Lo manja, dan senang diperhatiin. Tiffany kebalikan dari lo. Makanya lo cocok sama dia karena dia bisa mengayomi lo," jawab Dimas.

"Wah... gila lu berdua. Gue tuh nggak manja. Minta gue geplak ya kepala lo berdua!"

Zery menanggapi santai. "Kualat sama yang tua baru tahu rasa lo. Mau gue sumpahin gagal move on dari Tiffany seumur hidup?"

Dimas tertawa pelan. "Hahaha... nggak usah disumpahin, dia udah sering ngomong gamon dari Tiffany."

"Lo berdua juga pernah gamon. Jangan sok ngeledek deh!"

"Pernah, tapi nggak selama lo," balas Dimas semakin tertawa.

"Sialan!"

Zery menyesap kopinya sambil memandangi wajah kesal Marco. Setelah itu, dia kembali bersuara. "Gue sama Dimas cuma bisa kasih tau, tapi nggak bisa ikut campur dalam keputusan yang lo ambil. Kalau memang lo menginginkan Tiffany kembali, ya udah usaha. Kalau nggak mau jangan ngomong 'pingin balik' tapi nggak ada usahanya. Ya, sama aja bohong. Ibaratnya lo bilang mau makan nasi, tapi lo nggak mau ambil nasinya di lantai bawah. Kira-kira nasinya bakal nyamperin lo nggak? Nggak, kan? Begitu juga dengan ucapan dan tindakan lo. Kalau nggak ada pergerakannya, berarti cinta lo cuma di mulut doang."

Dimas spontan bertepuk tangan pelan. "Wah... nggak salah deh kalau nanya soal cinta mending sama Zery. Pantes aja dia yang paling cepet move on dibanding gue sama lo, Mar."

"Ya karena sebenarnya cinta itu simple. Yang bikin rumit kan kadang pikiran kita sendiri. Kebanyakan mikir A sampai Z, terus kebanyakan menimbang-nimbang keputusan. Intinya yang merumitkan percintaan itu kan kita sendiri," balas Zery.

"Kadang realitanya nggak sesimple omongan, Zer. Lo kebetulan aja ketemu Izzy. Coba kalo nggak, gue yakin masih nungguin jandanya Freya," sahut Marco sewot.

"Siapa bilang? Kalo nggak ketemu Izzy, gue pacarin yang lain. Ngapain nungguin Freya. Buang waktu."

Dimas menepuk pundak Zery seperti ayah yang bangga dengan anaknya. "Papa bangga padamu, Zer."

"Idih... geli amat," cibir Marco. "Kalian berdua suka banget nunjukkin bromance. Gue berasa adik tiri jarang ikutan bromance lo berdua."

Zery dan Dimas tertawa geli. Mereka sampai sakit perut sendiri mendengar celotehan Marco. Padahal mereka juga jarang menunjukkan bromance seperti yang diucapkan Marco.

"Oke, skip soal bromance. Gue dengar lo punya aspri baru. Kelihatannya dia masih betah-betah aja jadi asisten lo. Belum ada niatan cabut kayak aspri sebelumnya, kan?"

Marco mengangguk. "Iya, tapi ketusnya minta ampun. Mulutnya sebelas dua belas deh sama lo, Dim. Juteknya sebelas dua belas sama lo, Zer. Aspri baru gue tuh kombinasi sifat lo berdua. Gue suka sebel sendiri. Kadang mau nimpuk dia juga."

"Tapi baik, kan?" sela Zery sambil memainkan kedua alisnya bergantian.

"Ya, baik sih... tapi sikapnya aja suka di luar nalar."

"Cocok lah sama lo yang kelakuan di luar nalar. Jadi inget curhatan emak lo soal kondom. Lo tiup dengan pedenya lagi." Dimas tertawa, mengingat cerita dari ibu tirinya Marco. Begitu pula dengan Zery.

"Sial! Mama Marini demen amat beberin hal kayak gitu." Marco merengut sebal. "Besok-besok gue mau berdoa sama Tuhan ah biar dipertemukan sama perempuan kayak Izzy atau Antari. Tapi lebih seru kayak Izzy sih. Duh, dia mah jagoan gue."

"Heh! Enak aja." Zery spontan menendang kaki Marco sampai laki-laki itu meringis. "Izzy cuma ada satu di dunia dan itu milik gue. Begitu juga Antari. Udahlah lo sama yang ada aja. Tiffany atau Lulove sekalian."

"Lulove nggak naksir laki-laki tau, Zer. Jangan sekata-kata lo. Bisa ditebas sama pacarnya." Marco mulai menyesap kopinya. "Dia pacaran sama sekretarisnya Gavin."

"Kara maksud lo?" Zery menaikkan satu alisnya tidak percaya. Begitu melihat Marco mengangguk, dia melanjutkan, "Oh, ya udah berarti Tiffany. Bahas soal mantan istri lo, berarti ngajak dia dong besok?"

"Pesta resepsi kakaknya Morning ya?" tanya Marco. Melihat Dimas mengangguk, dia menjawab, "Nggak. Tiffany bilang sibuk. Gue mau ngajak Lulove.

"Lo udah bilang sama Lulove?" tanya Dimas.

"Belum." Marco menjawab santai. "Tenang aja, dia pasti mau."

"Yakin lo?" sela Zery.

"Iya. Masa gue kayak jones sendirian sementara lo berdua bawa pasangan? Ya mending gue ajak Lulove."

"Sebenarnya siapa pun yang lo bawa nggak masalah. Asal dia tahu aja ke mana kita mau pergi. Kalau dia—"

Marco menyela kalimat Dimas yang belum selesai. "Dia pasti setuju. Santai aja kayak di pantai."

Dimas dan Zery melempar tatap. Mereka tidak mau ikut campur. Kalau nantinya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, mereka pura-pura bodoh saja.

👠👠👠

Jangan lupa vote dan komen kalian ^^

Follow IG: anothermissjo

Kangen Zery sama Izzy nggak? hehe

Kalau kangen, yuk baca lagi My Boss's Secret hehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top