Chapter 12
Akhirnyaaaa aku update lagi setelah sekian purnama😂😂😭😭
•
•
Marco memperhatikan Lulove yang terlihat sedikit lebih baik dibandingkan kemarin. Asistennya itu sedang menyiapkan sarapan pagi.
"Lulopi, kamu baik-baik aja? Nggak sedih lagi, kan?" tanya Marco khawatir.
"Saya baik-baik aja, Pak," jawab Lulove seadanya. Kemarin malam dia kena omel Kara karena Marco mengomelinya di kantor. Seharusnya dia cerita lebih dulu dengan Kara jadi sahabatnya tidak perlu kena caci maki Marco yang tidak tahu masalah sebenarnya.
"Kamu sama Kara baik-baik aja?"
"Iya, Pak. Semua baik-baik aja."
"Oh, syukur deh."
Marco diam tak bicara lagi. Dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja makan, lalu membuka satu per satu pesan masuk. Di antara banyaknya pesan masuk, ada pesan dari Dimas yang membuatnya memekik kaget. "Hah?!"
Lulove yang terlonjak kaget langsung menoleh ke belakang. "Ada apa, Pak?"
"Nggak. Ini saya baru ingat ada acara makan malam sama teman-teman saya," jawab Marco.
Lulove yang berada di belakang sana langsung gemas. Begitu aja langsung heboh. Ini manusia nggak bisa apa-apa dibawa santai ya? Heran.
"Nanti malam kamu temenin saya ya. Kamu nggak ada acara kan, Lulopi?"
"Ada, Pak. Saya mau kencan sama Kara," jawab Lulove asal. Sebenarnya dia ingin istirahat di rumah. Pikirannya terasa lelah, begitu juga dengan tubuhnya.
"Saya ikut kalian deh. Double date kita belum terlaksana."
"Maaf, Pak. Saya sama Kara ingin berduaan aja. Saya takut Bapak risih."
"Ya udah kalau gitu."
Suasana mendadak sunyi. Beberapa menit suasana tetap sunyi sampai akhirnya Marco memecah kesunyian di antara mereka.
"Kenapa nggak bilang sama saya kalo kamu kakaknya Prelove?"
Lulove spontan berhenti dari kegiatan memotong roti yang hendak dijadikan potongan sandwich. Bagaimana Marco tahu? Dia sudah menutupi hal itu.
"Saya kayak orang bego yang nggak tau apa-apa tentang asisten sendiri. Biasanya saya paling tau asisten saya, tapi saya nggak tau tentang kamu. Saya tau kamu kakaknya Prelove dari Gavin."
Lulove kembali melanjutkan kegiatannya dan berusaha santai. "Maaf untuk itu, Pak."
Kali ini Marco menoleh ke belakang. "Kenapa sih kamu nggak bilang? Velven kampret itu juga diam aja nggak bilang kamu kakaknya Prelove. Masa saya harus tau dari orang sih? Mami Marini tau tentang hal ini?"
"Tahu, Pak. Saya rasa pembicaraan mengenai masalah pribadi dilarang saat jam kerja. Saya bukan tipe yang senang mengumbar privasi jadinya saya nggak cerita. Saya hanya nggak ingin Bapak merasa canggung kalau tahu saya kakaknya Prelove," jawab Lulove. Tenang dan santai seperti suara air.
"Ya elah... justru kayak gini bikin saya nggak enak kalau ngomelin kamu. Biar gimana Prelove kan pacarnya sepupu saya. Adik kamu pasti jadi bagian dari keluarga Wijaya." Suara Marco berubah kesal––tidak seperti biasanya yang tengil dan menggoda.
Lulove telah selesai dengan kegiatannya dan segera menyajikan sandwich di atas meja. Wajah Marco tampak menunjukkan kekesalan. Lulove tidak begitu peduli. Toh, dia memang tidak suka privasi dicampur aduk saat bekerja. Dia membatasi diri sejak dulu bekerja untuk yang lain.
"Pak Marco, ini yang saya maksud. Saya nggak ingin Pak Marco merasa 'nggak enak' dengan hal-hal yang Bapak lakukan terhadap saya. Saya ingin diperlakukan sebagaimana mestinya, seperti asisten yang bekerja untuk Pak Marco, bukan sebagai calon kakak iparnya Velven. Saya harap urusan hubungan dengan Prelove bisa dikesampingkan selama saya sedang bekerja untuk Pak Marco."
Marco mendengus sebal. Lulove terlalu penuh aturan. Memang dia akui Lulove sangat profesional, tapi bukan berarti dia tidak boleh tahu apa-apa bukan? Dia juga ingin tahu asistennya punya saudara atau tidak––setidaknya jika tidak ada obrolan penting, dia bisa bahas hal-hal kecil semacam itu.
"Waktu kamu kerja untuk Doni Subroto juga gini? Jaga privasi?" tanya Marco ingin tahu.
"Iya, Pak."
Lulove berbohong. Setidaknya untuk satu bulan di awal Lulove berhasil menjaga privasinya sampai mantan suaminya berbuat ulah di kantor dan membuat Doni mengetahui masalahnya. Dia merasa malu kepada Doni karena laki-laki itu tak berhenti melindungi dan menjaganya dari mantan suami yang kasar. Sebenarnya dia tidak ingin berhenti bekerja di perusahaan Doni, tapi sialnya mantan suami tak pernah berhenti berulah sehingga dia merasa tidak enak menyebabkan masalah di kantor.
"Tapi kamu jujur soal Kara."
"Itu karena nggak sengaja, Pak." Lulove meletakkan segelas jus jeruk yang dipersiapkan sebelumnya. "Silahkan dimakan sandwichnya, Pak. Saya tahu Pak Marco jarang sarapan, tapi ini isinya sayuran dan telur mata sapi. Selamat menikmati."
Ketika Lulove akan pergi, Marco menangkal pergelangan tangannya. Lulove menoleh dan menaikkan satu alisnya seolah bertanya alasan Marco.
"Temani saya sarapan. Saya nggak pernah sarapan karena saya benci makan sendirian," pinta Marco.
"Tapi saya––"
"Nggak boleh nolak. Saya nggak suka ditolak," sela Marco.
Mau tidak mau Lulove menuruti permintaan Marco meski sebenarnya dia malas. Namun, sarapan pagi ini rasanya berbeda. Marco tidak banyak mulut seperti biasanya. Laki-laki itu sarapan dengan tenang.
Sebuah keajaiban Lulove bisa melihat Marco diam. Dia akan mencatat hari bersejarah ini di kalender ponselnya.
👠👠👠
Tidak pergi ke kantor, Lulove menemani Marco pergi ke tempat lain. Malam harinya dia harus menemani Marco lagi bertemu teman-temannya. Hari ini akan menjadi hari yang melelahkan dari biasanya.
Rumah mewah bertingkat tiga lengkap dengan pagar dan gerbang yang menjulang tinggi nan kokoh di kawasan elite Menteng menjadi tempat Lulove berpijak sekarang. Katanya rumah berwarna serba putih yang menunjukkan elegan dan kemewahan ini adalah rumah kakaknya.
"Kak Pome!" Marco berseru dan berhambur memeluk sosok yang membuka pintu rumah.
Lulove berpikir sejenak. Yang dipeluk Marco, kakaknya yang mana? Marco memiliki empat kakak tiri, salah satunya yang Lulove ketahui adalah Cabel Elanger Wijaya––sang aktor terkenal itu.
"Welcome home, My Bro!" Sosok itu menarik senyum dan menepuk punggung Marco. Tatapannya tapi tertuju pada Lulove. "Siapa ini yang kamu bawa? Cantik deh. Gebetan baru?"
Marco melepas pelukan, berbalik sedikit menghadap Lulove dan tersenyum sambil menunjuk sang asisten. "Bukan. Ini asisten baru gue, Kak. Namanya Lulove."
"Halo, selamat siang. Saya Lulove, asisten Pak Marco." Lulove menunduk sedikit sambil tersenyum menunjukkan rasa hormatnya.
"Oh, hai! Namanya unik. Aku Pome––"
"Pomegranate," sela Marco jahil.
Kakaknya langsung memukul bahu Marco. "Bukan. Kamu nih suka banget plesetin nama kakak sendiri jadi buah."
Detik selanjutnya Pome melihat kembali pada Lulove dan tersenyum. "Aku Pomera Wijaya. Aku kakaknya Marco. Salam kenal, Lulove."
"Salam kenal juga, Bu Pomera."
"Kamu panggil Mas juga boleh. Kak Pome nggak akan marah," celetuk Marco.
"Eh?" Lulove menatap bingung. Dia buru-buru mengatup mulutnya tanpa mau bertanya lebih jauh.
"Kamu nih bisa aja, Coco!" Pome merangkul pundak Marco. "Yuk, kita masuk. Kakak udah siapin makanan untuk kamu, Mar."
"Yes! Makan gratis!" seru Marco semangat.
"Ayo, Lulove. Masuk juga. Anggap aja rumah sendiri," ajak Pome.
"Terima kasih, Bu."
Lulove mengikuti langkah Pome dan Marco yang berada di depannya. Dia tidak menyangka Marco akrab dengan kakak tirinya. Di samping itu, Lulove melihat sisi manja Marco saat berdua dengan Pome.
Di saat mereka sedang melangkah masuk semakin jauh, tiba-tiba Lulove berhenti mengikuti Marco dan Pome. Di depan bingkai foto yang berjejer rapi di dinding, Lulove melihat foto-foto Pome. Semua terpajang cantik dengan bingkai beraneka bentuk.
"Ini foto jadul Kak Pome, Lulopi. Dari dulu udah cantik, kan?" Marco menunjuk salah satu foto SMA kakaknya.
Lulove mengamati foto SMA yang Marco tunjuk. Di dalam foto itu Pome tidak mengenakan rok melainkan celana selayaknya murid laki-laki pada umumnya. Sontak, Lulove menurunkan pandangan ke arah piala yang berjejer rapi di atas meja. Nama yang tertera bukan nama Pome, tapi nama laki-laki.
"Dulu nama saya bukan Pome. Nama saya lebih bagus dari Marco. Nama asli saya Ashton Rupert Wijaya," sambung Pome.
Lulove spontan menoleh ke arah Pome. Ini berarti kakaknya Marco aslinya laki-laki? Dia tidak menyangka laki-laki itu bukan perempuan tulen. Sebab, Pome secantik boneka Barbie, tubuhnya langsing bak model, dan suaranya sangat lembut seperti perempuan. Lulove sebagai perempuan saja minder. Siapa yang akan percaya fakta sebelumnya jika melihat rupa Pome? Dia sendiri seperti tertipu saat melihat wajah seindah itu.
"Setelah negara cinta menyerang semuanya diganti. Bener nggak, Kak?"
Pome terkekeh. "Yuk, ah. Bahas soal ganti nama nanti aja. Kasihan Lulove, pasti haus nemenin kamu yang suka ngoceh nggak jelas."
"Lulopi malah senang, Kak. Iya kan, Lulopi?"
Lulove memaksakan senyum. "Iya, Pak."
Dalam hati Lulove membenarkan kalimat Pome. Sepanjang jalan Marco mengoceh tidak jelas, bertanya hal-hal nyeleneh yang bikin dia ingin menurunkan laki-laki itu di pinggir jalan tol.
Tak lama kemudian Pome dan Marco kembali melangkah. Lulove turut mengikuti dari belakang.
Untuk kesekian kalinya Lulove memperhatikan keakraban Marco dan kakaknya. Jadi ini yang dimaksud Velven tentang beberapa hal yang berbeda dari keluarga Marco. Dikatakan pula Marco membela hal-hal yang berbeda itu sampai ayahnya semakin benci. Meskipun Velven tidak menceritakan secara detail, setidaknya dia sudah tahu sekarang. Benar kata pepatah, setiap keluarga memiliki rahasia tersendiri bukan?
Lulove kini mulai paham sedikit demi sedikit. Pasti sulit menjadi Marco. Laki-laki itu melalui kehidupan berbeda yang membuatnya dibenci sang ayah demi membela keluarganya sendiri.
👠👠👠
Jangan lupa vote dan komen kalian ya😘😘😘🤗
Follow IG: anothermissjo
Halo, ini kakaknya Marco yang namanya Pome😍😍😍 aku sengaja pakai cast ini soalnya sama kayak aslinya si cast ehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top