My Boss 2- Keanehan tentang dunia.
okay.... pertama aku mau ucapin maaf untuk siapa aku lupa namanya, pokoknya dia tuh chat aku buat publish ini. maaf ya kak, aku sempet php in kakak waktu itu, katanya mau update tapi gak update, sampai kakak balik dari pedalaman pun aku belum update. maaf,,, bener-bener maaf. dan kali ini gak aku edit. ehehehehe. kebiasaan aku ya gini.
semoga suka, and i hpe you enjoy.....
........................
Drrtt drrrtt
Deringan ponsel di meja kerja membuyarkan kemelut di benakku tentang Zein.
Kekantor sekarang
Mataku membelo membaca sms dari boss-ku yang super duper nyebellin.
Kuletakkan hp-ku di nakas dan berbaring di kasur, tak menghiraukan perintah dari boss rese' yang ngesellinya naudzubillah.
Ngapain juga nyuruh orang kekantor jam segini? Hello?! Ini tuh jam 6, bentar lagi jam 7, masih nyuruh ke kantor? Buat apa? Buat ngitungin nyamuk, hah?! Bossku ini bener-bener kasian, otak warasnya tinggal sepertiga sepertinya.
===MY BOSS==
"May, kamu tau di mana Zein?" tanya papa saat aku baru saja menginjakan kaki di lantai satu, berniat jalan kearah dapur untuk mengambil minuman.
Keningku mengkerut untuk beberapa menit kemudian menggeleng.
"Huh, tuh anak kemana sih?" gerutu papa cemas. "May, kamu cari adikmu sampai dapat, dan bawa pulang!"
"Pa, Zein kan udah gede, dia bisa jaga diri sendiri, pa. lagian Zein pasti lagi ngumpul sama temen-temennya, nggak mungkin kan May..." kataku terhenti di udara begitu saja saat melihat tatapan tajam dan dingin dari papa.
Kuhela nafas kesal, selalu aku yang kena. Lagipula ngapain sih tu bocah pergi malam-malam? Mana lagi hujan. Sabar Mey sabar, orang sabar pantatnya lebar. Eh? Enggak ding, orang sabar hatinya lebar.
"Baiklah." ujarku akhirnya mengalah dan kembali menaiki tangga setengah hati.
Kenapa sih papa sama mama selalu saja memperlakukan Zein seperti ini? diakan sudah besar kali, gak perlu pengawasan ekstra, lagi pula, Zain itu laki-laki bukan anak perempuan!.
Jadi kangen bunda kalau seperti ini.
Bunda itu asiatent rumah tangga di sini, bunda yang ngerawat 'ku dari kecil sampai besar, makanya aku memanggil dia bunda. Kebiasaan dari kecil sih, jadi susah di ilangin.
Kuambil hp-ku di nakas dan kunci mobil di meja kerja.
Kuturuni undakan tangga satu persatu tanpa minat, hujan-hujan begini paling enak tidur di rumah, bukan malah mencari orang yang sudah besar.
BLAAMM
Pintu mobil tertutup dengan keras, sengaja biar mereka -orang tua angkat ku- tau kalau aku lagi marah.
Jalanan yang sepi membuatku bebas melajukan mobil di atas rata-rata, membelah jalanan ibu kota yang becek karena air hujan. Palang café tempat biasa Zein nongkrong sama temannya terlihat jelas dari jarak ku yang sudah lumayan dekat, kubelokkan mobilku ke café itu, mengambil payung di jok belakang, membuka pintu mobil, sedikit berlari.
Mataku mengelilingi penjuru café detail, sampai aku melihat bocah menyebalkan itu sedang tertawa bahagia bersama temannya. Kuhela nafas jengkel, anak ini selalu berbuat sekeknanya, padahal sudah tau dengan jelas kalau dia itu anak emas papa dan mama, tapi masih bersikap bebal.
Kembali kuayunkan kakiku kearahnya, berdiri tepat di sebelahnya. teman-temannya kini sudah memandangku dengan senyuman manis yang tak kuhiraukan.
"Zein," panggilku menyenggol lengannya.
Orang yang ku panggil menoleh, bibir yang tadi tersenyum kini berubah menjadi datar.
"Loe tuh bisa nggak sih pergi bilang-bilang dulu, jangan langsung ngibrit ngilang gitu aja, bikin orang sebel aja tau nggak sih loe," kataku kesal, mengeluarkan unek-unek yang ada di atas kepala sejak tadi.
"Kenapa emang?" tanyanya tak memperdulikanku yang sudah gondok setengah mampus.
"Cepetan pulang, di cariin papa." kataku berjalan menjauh darinya yang asik kembali bercanda bersama teman-temanya.
Biarin deh, peduli amat sama dia, urusan papa entar belakangan.
Kubuka payungku dan berjalan kearah mobil, mataku meneliti sekitar parkir dan jalanan.
Mataku berhenti kearah anak yang sedang nyebrang dengan kepala menunduk, mataku menoleh kearah samping anak itu dan melihat cahaya yang menyinari jalanan tanpa lampu, mataku menyipit, mencoba melihat cahaya itu berasal dari mana.
Kubuang payung yang tadi melindungi kepalaku dan berlari kearah anak itu, berlari secepat yang aku bisa.
Kutarik anak itu menepi, pas truk itu melintas begitu saja.
Dadaku berdetak tak beraturan, nafasku memburu karena Cemas dan lelah. Kurangkup wajah anak itu yang sedang Menatapku berkaca-kaca.
"Mama!!" panggilnya memelukku dan terisak di sana.
Tubuhku membeku. bukan, bukan karena di peluk anak ini atau melihat hantu, melainkan panggilan anak ini.
Kepalaku menoleh kekanan dan kiri, siapa tau anak ini manggil orang lain. tapi nihil, tidak ada siapa-siapa selain aku dan anak ini serta beberapa orang yang pada neduh di bawah pohon atau halte deket café.
"Mama, hiks, Ita kangen, mama kemana aja? Kenapa mama ninggalin Ita saat Ita masih kecil? Kenapa mama ninggalin kita?"
Bantu aku, siapa saja tolong bantu aku untuk menjelaskan keadaan ini. Kenapa anak yang memanggil dirinya sendiri dengan nama Ita terus menerus memanggilku mama? Hey! Aku masih lajang, dan kalau kalian lupa, aku baru saja putus dengan Rond beberapa hari ini, dan bagaimana mungkin aku tiba-tiba mempunyai tanpa mengandung terlebih dahulu?!.
"Mama." racau anak Ini menarik kaos yang kukenakan pelan, menyadarkanku dari kebingungan yang melanda..
Kutekuk lututku, berjongkok di depan anak ini, mensejajarkan tinggi kami.
"Ita," jedaku menatap kedua bola mata anak ini yang kini menatapku sayu, memanggil namanya seperti halnya dia menyebut namanya sendiri tadi. "maafin kakak, kakak bukan mama Ita, bahkan kakak nggak kenal sama Ita." sambungku hati-hati.
Air matanya semakin mengalir dengan deras, isakan demi isakan keluar dari bibirnya.
Kugaruk tengkukukku yang tak gatal, berfikir cara apa agar anak ini diam.
"Mama bilang begitu karena mama ingin pergi lagi dari Ita dan papa kan ma? Mama nggak boleh Pergi!!" teriak Ita yang sukses membuat beberapa orang yang ada di pinggir jalan menatapku sinis. aku tersenyum meringis.
"Sssttt, jangan nangis ya princess, Kakak nggak kemana-kemana kok, kakak..."
"Ita!!" panggil sebuah suara yang tak asing di telingaku, memotong perkataanku, kepalaku menoleh keasal suara dan kembali menatap kearah Ita dengan cepat.
"Papa!!" teriak Ita berlari kearah orang yang di panggil papa.
Tubuhku membeku di tempat untuk beberapa saat.
Kudengar anak itu terkekeh entah karena apa, kucoba berdiri dan berjalan menjauh dari mereka, sebelum anak itu menyadari keberadaanku. Cepat sekali suasana hatinya berubah, tapi tidak apa, ini kesempatan bagiku untuk kab--
"Mama!!" panggilnya lantang. Tubuhku secara otomatis berhenti, seakan suara anak itu adalah remot control atas tubuhku.
"Mama mau pergi kan?" tebak Ita yang sudah memeluk kakiku.
Kutelan salivaku susah payah dan berbalik, menatap Ita lembut.
"Nggak kok. Kakak..."
"Dia bukan mama kamu 'Ta." kata sebuah suara yang lagi-lagi memotong perkataanku.
Kutatap dia sengit, apa-apaan coba main motong-motong gitu? Emang dia kira aku ayam potong apa?.
"Ita sini, ayo kita pulang." sambung pria itu.
"Nggak mau pa!" tolak Ita.
Aku tersenyum sinis kearah orang itu dan menggendong Ita. Well sepertinya game akan di mulai.
"Ita!!" Seru pria itu tajam, tapi tak berpengaruh sama sekali buat Ita.
"Ita nggak mau pulang kalau mama nggak ikut pulang"
Nah loh? Kok?.
Kutatap Ita sendu dan menggeleng, berusaha agar Ita mencabut kata-kata ajaibnya.
"Tapi It..."
"Baiklah, kita pulang sama mama." putus pria itu sebelah pihak. Setan.
"Tapi..."
"Kenapa? Mau lari lagi, hmm?" tanya pria itu dengan senyuman kemenangan. Kutatap Ita yang mengangguk, menyetujui perkataan papanya.
"Baiklah big boss, kita pulang" kataku menatapnya kesal.
.
Sekarang aku berada di apartement boss sok itu. Awalnya aku sedikit terkejut kenapa dia tinggal di apartement? Bukankah dia itu seorang CEO? Tapi itu bukan hal yang penting buatku.
Alisnya terangkat, wajahnya menunjukkan keprotesan.
"Hatchii,"
Entah sudah keberapa kali aku bersin, rasa geli di hidungku yang menyiksa tak juga berhenti, ini gara-gara hujan, eh bukan gara-gara hujan deng, tapi aku sendiri yang buat masalah.
"Hattchii,"
Lagi dan lagi aku bersin.
"Minum dulu." tawar suara yang nyebellin minta ampun menyodorkan segelas teh, entah apa namanya.
Kuambil gelas itu dan Meminumnya dengan hikmat.
"Makasih," kataku ketus yang di jawab senyuman sinis darinya.
"So??" tanyanya bersidakap dada menyederkan punggungnya di sofa.
Keningku mengkerut tidak ntau ke arah mana pembicaraanya kali ini.
Dia menghela nafas kasar dan membenarkan posisi duduknya.
"Kenapa nggak kekantor?" tanyanya sinis selaras dengan tatapannya yang menghujamiku sejak tadi.
Aku tersenyum sinis mendengar perkataanya.
"Emang tadi loe nyuruh gua kekantor?" bohongku masih tersenyum sinis.
Memangnya dia pikir aku takut? Hello, tadi dia nyuruh aku kekantor saat jam 6, dan jam 6 itu sudah berakhirnya masa kerjaku, aku bukan orang bodoh bias di suruh se-enak jidadnya.
Dia mendecih dan mengambil teh, meminumnya sampai tinggal setengah.
"Gua tadi sms loe nyuruh dateng, dan gua juga nelpon Tapi nggak loe angkat-angkat. Mati loe tadi?"
Aku membrenggut sebel mendengar kata-kata pedasnya. Mulai dia.
"Masak sih? Kok gua nggak tau?" tanyaku sok polos dan merogoh hp dari saku jeansku dengan gaya slowmotion.
80 panggilan tak terjawab dan 10 sms.
Aku yengir tak berdosa kearahnya dan kembali meminum tehku.
"Ah dan satu lagi, kenapa loe pake bahasa 'loe-gua' sama gua?"
"Emangnya nggak boleh?" tanyaku sok polos.
"Gua ini boss loe, jadi loe harus hormat sama gua." katanya songong. Dia ini ternyata gil;a hormat ya?!.
Aku mencibir dan memutar mata. "Boss?" tanyaku sinis, mataku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan jam 9 "ini jam berapa ya? Emangnya jam 9 gua masih kerja? Batas kerja gua cuman sampai jam 3 yah!" sambungku menatap dia sinis dan mencibir melihat ekspresinya yang tak perduli. Dasar medusa pria.
"Hatchhiii, hattchhii, hattchii,"
Aku menggeram tak suka ketika Fluku makin jadi.
Dia menatapku datar dan kembali meminum tehnya. Ish dasar nyebellin.
Tubuhku menggigil kedinginan, gigiku sudah gemeletuk, kepalaku berat dan pusing. Suasana yang paling kubenci.
"Mama!! Mama kedinginan?" tanya polos bocah kecil yang sedang menatapku dengan bingung.
Aku sedikit tersentak kaget mendengar suara Ita, sejak kapan ada di sini? Bukannya dia tadi ada di kamar?.
Dia melingkarkan selimut ketubuhku dan mengelus pelan pipiku, rasa hangat dari tangannya menjalar kepipiku.
Apa dia anak kandung Bagas? Kenapa sifat mereka berbeda 180° yah? Anaknya seperti malaikat, sedangkan papanya seperti iblis yang keluar dari neraka jahanam, sangat jauh berbeda.
"Nggak pa-pa kok honey, kok belum tidur?" tanyaku menariknya agar duduk di pangkuanku meski jeans yang kukenakan basah kuyub.
Kepalanya menggeleng dan tangannya menyentuh lekuk wajahku, seakan sedang menghafal.
"Nggak mama." jawabnya mencium pipiku dan memelukku dengan tangannya yang kecil.
"Kenapa?" tanyaku membalas memeluknya. Mayan dapet anget.
"Takut mama pergi lagi." katanya mencari tempat nyaman dalam pelukanku.
Aku terdiam dan mencium puncak kepalanya. Aku tau perasaannya bagaimana, di tinggalkan sama orang yang dicinta, tapi seenggaknya dia beruntung, karena dia masih dapat perhatian lebih dari papanya, sedangkan aku?. Ok stoop banding-bandingin hidup loe sama orang lain May.
"Kakak temenin bobok yuk??!!" tawarku.
Dia diam, seperti memikirkan sesuatu sebelum ia mengangguk dan turun dari pangkuanku.
Kurapatkan selimut yang menutupi tubuhku, mencoba menghilangkan dingin yang sangat menyiksa ini.
Baru beberapa langkah sudah kudengar hapeku berbunyi, menandakan panggilan masuk.
"Sebentar ya," kataku yang di jawab anggukan.
kugapai handphone di meja dan melihat id caller, hembusan nafas sebal keluar begitu saja dari bibirku, dengan enggan kutempelkan handphone ke telinga.
"Hallo pa,"
"Zein 'udah ketemu belum May? Kok belum pulang-pulang?" tanya papa dari sebrang, terdengar nada khawatir di setiap kata yang keluar. bahkan, dia tak perlu repot-repot menjawab perkataanku.
Aku menghela nafas "Udah pa, dia lagi di jalan kali, lagian Zein kan udah gede pa! Papa nggak perlu secemas ini! Dia anak laki, nggak pantas di manja." Kataku sedikit sebal.
Ini kenapa sih? Zein kan udah besar? Dia bisa jaga diri sendirikan? Dan pastinya dia juga bisa bedain mana yang baik mana yang buruk, tidak harus di kontrol kayak gini? Toh dulu waktu aku seusia Zein papa sama mama sebodo teing, terus kenapa mereka malah... ok gua lupa kalo gua anak pungut.
"May!! Jangan bantah papa, panggil Zein dan suruh cepat pulang, papa nggak mau anak papa kenapa-kenapa."
Tuhkan mulai sifat over-nya sama Zein!!!.
"Yaampun pa!! May sekarang lagi di rumah temen, nggak mungkin kan May...."
"May!!!" bentak papa dari sebrang.
Aku menghela nafas. Mengalah adalah jalan terbaik, tapi sampai kapan aku akan terus ngalah? sampai mata ku menutup dan nggak bisa nafas lagi?.
"Ok, May akan susul Zein," putusku pada akhirnya.
"Ah jangan lupa, motor Zein ada di rumah jadi..."
"Iya," potongku cepat dan mematikan telpon sepihak. Biarlah papa mencak-mencak di sana.
Tanganku terulur keatas memijit pelipisku pelan, rasa pusing makin menyergapku.
"Ma!!" panggil suara kecil menyentakkanku dari alam bawah sadar.
Kutatap Ita yang menatapku bingung. Kutekuk lututku, menyamakan tinggi kami, rasa bersalah memenuhi otakku.
"Ita, Maafin kakak ya, Kayaknya kakak nggak bisa nemenin Ita tidur deh malam ini," ujarku sangat menyesal.
Kedua mata bocah ini sudah berkaca-kaca. Oh tidak.
"Mama mau ninggalin Ita? Mama mau pergi lagi? Mama..."
"Sttt," kupotong ucapan Ita sebelum rasa bersalah makin menyergapku. "Maafin kakak ya Ita, tapi kakak janji, kakak akan kesini besok pagi-pagi buatin sarapan pagi buat Ita? Gimana?" bujukku.
Dia nampak berfikir dan menatapku ragu-ragu.
"Kakak janji sayang, kakak nggak akan ninggalin Ita," ucapku semenyakinkan mungkin.
Kedua bola mata hitam indah itu memandangiku pas di manik mata, mencoba mencari sesuatu.
"Janji?" tanyanya ragu. Aku mengangguk mantap, tersenyum manis dan mencium keningnya.
"Mimpi indah ya sayang," kataku mengacak rambutnya gemes, dia mengangguk dan masuk kedalam kamar. Huh. Anak yang manis.
"Nggak usah buat janji sama sembarang orang kalo loe nggak bisa nepatin,"
Kualihkan pandanganku menatap pria yebellin di sofa, kulempar selimut di tubuhku kearahnya.
"Gua bukan tipe orang OOD." kataku sengit yang di jawab cibiran. [Omong-Omong Doang]
"Kita liat aja nanti, "
Aku tersenyum sinis kearahnya dan berjalan keluar apartement, menutup pintu itu dengan keras.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top