part 7
Berusaha melepaskan diri dari Pak Danen terasa begitu sulit. Kadang ia mengutarakan sesuatu yang rasanya seperti di awang-awang. Terlalu tinggi untuk aku gapai. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana sandiwara ini akan berakhir.
Semakin lama aku dekat dengannya terus terang semakin sulit untuk menjaga hati. Ia membuatku merasa dicintai, padahal aku tahu kalau semua itu dusta. Ia mengejar sampai keinginannya tercapai, setelahnya tinggal menunggu waktu saja tiba bagi kami untuk menempuh jalan masing-masing.
Pria di hadapanku bercerita tentang banyak hal. Aneh, kadang aku menangkap kesedihan di sana. Hanya saja ia pandai menepiskan semuanya.
"Setelah ini kita ke butik," ucapnya seraya menghabiskan kopi yang ada di hadapannya.
"Ke butik lagi? Ngapain?" tanyaku heran.
"Kamu akan butuh gaun, atau kebaya atau kalau susah memilih ambil saja yang disuka."
"Buat apa? Tunangan?" tanyaku sambil tertawa.
"Buat pernikahan, resepsi, dan mungkin beberapa acara," balasnya santai.
"Tidakkah ini semua terlalu cepat? Maksudku kenapa tidak kita tunggu hasil pembicaraan sore nanti?"
"Are you trying to avoid it?"
"Nope. Hanya saja ini tidak masuk akal," jawabku seraya menatapnya dengan tidak percaya.
"Just enjoy the ride, apalagi yang dapat kita lakukan ya lakukan saja."
"Kalau ternyata batal?" pancingku.
"Tidak ada kata batal, kesepakatan sudah final."
Aku tidak bisa berkata-kata. Dia bukan pria yang mudah menyerah dan mundur. Aku bisa melihat kalau ia begitu mempesona. Tampan, kaya, dan memiliki pesona yang sulit ditepiskan. Anehnya pria ini malah terus mendesak sampai aku kehabisan jalan keluar. Bisa dibilang aku dan dirinya terjebak dalam suatu perjanjian konyol.
Ia mengulurkan tangan tanda mengajakku pergi dari restoran tersebut. Masuk ke mobil dan entah kemana kami pergi hari ini. Aku hanya mengikuti kemauannya.
***
Butik mewah di wilayah elit menjadi tempat pemberhentian pertama. Seorang perancang kenamaan menyambut kami di ruang kerjanya. Pria kemayu itu memperlihatkan sejumlah model gaun dan kebaya. Ia pun menerangkan bahan dan hiasan apa yang akan dipakai. Swarovski yang per butirnya berharga mahal hingga tulle dan sutra yang bernilai wow. Harganya pun tembus di atas lima puluh juta. Dadaku terasa sesak mendengar rinciannya.
Bersyukur ia meminta waktu dua bulan untuk pengerjaannya. Pak Danen keberatan. Saat keduanya nego soal waktu. Aku berusaha menghentikannya.
"Maaf, adakah gaun yang siap pakai? Atau kebaya yang tidak terlalu ramai aksennya? Saya ingin yang simple dan nyaman," kataku tidak ingin dibantah.
Bagaimanapun ini adalah baju yang akan aku pakai, tentu saja aku yang berhak memilih. Perancang itu dengan enggan menunjukan koleksi ready to wear di sisi lain. Ia tampak tidak suka dengan keputusanku. Terserah, aku tidak mau ambil pusing. Pak Danen menarik tanganku saat hendak masuk ke ruangan lain.
"Ras, jangan pikirkan harga. I want all the very best for you," bisiknya.
"Aku memang tidak suka yang terlalu berlebihan. Yang ready to ware juga bagus dan beberapa cuttingnya cantik."
Pak Danen menatapku lalu tersenyum.
"Jangan coba-coba memesankan gaun tadi. Kalau Abang yang pesan artinya Abang yang harus pakai," kataku memperingatkannya.
"Ancamanmu mengerikan," katanya sambil tertawa.
Kami memilih sebuah gaun dan kebaya. Pembayaran pun sudah dilakukan. Tinggal menunggu barang dikemas.
"Sudah selesaikan?" tanyaku.
"Baru ini, belum ke tempat lain." Jawabannya membuatku melotot.
"Maksudnya?"
"Rahasia," jawabnya membuatku penasaran.
Pria itu tersenyum menggoda dan memintaku bersabar.
Soal gaun terus terang aku merasa khawatir mamanya akan mengira kalau aku memanfaatkan keadaan terlebih pernikahan ini nantinya tidak tahu akan berlangsung berapa lama. Jadi memang sebaiknya tidak dipilih.
"Ayo, kita jalan lagi," katanya seraya menerima hasil perburuan kami.
Ia mengulurkan tangan dan menggandengku dengan erat.
***
Sebuah mall menjadi pemberhentian ke dua. Mobil parkir menggunakan valet dan ia pun dengan semangat mengajakku masuk.
"Nonton?" tanyaku asal tebak.
"Nope. Kamu suka nonton?"
Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Ini adalah mal mewah yang baru pertama aku masuki. Deretan outlet merek terkenal tertata rapi di sini. Jujur, aku mengagumi segalanya yang ada hanya saja membayangkan akan membeli salah satu barang di sini sudah membuatku nyaliku mengkerut.
Sebuah toko perhiasan menjadi tempat pertama kami. Aku menahan napas melihat keindahan dan harganya.
"Kamu akan membelikan cincin di sini?" bisikku.
"Belum. Jangan GR. Di sini hanya untuk mengukur lingkar jari. Cincinnya baru kita pesan nanti," jawabnya membuatku sedikit lega.
Sembari menunggu Pak Danen bercakap-cakap dengan karyawan yang bertugas. Aku melihat deretan indah cincin bermata berlian. Harus aku akui sangat indah. Namun, harganya pun luar biasa, ratusan juta.
Sebuah kotak khusus dikeluarkan berisi beberapa deret cincin. Setelah diukur, karyawan itu menyuruhku mencoba beberapa yang sesuai ukuran.
Aku menatap Pak Danen dengan tidak percaya.
"Coba saja," bujuknya.
Jemariku gemetar saat ia memilih dan memasukkan cincin ke jari manisku. Pas, memang. Namun, harganya tidak. Harga cincin itu tembus di dua ratus juta lebih.
"Bagaimana Mbak?" tanya petugas itu membuatku jantungan.
"Pas, tapi kami belum menentukan. Biar calon istri saya nanti yang memilih. Aku rasa ia ingin model khusus," kata Pak Danen sedikit membuatku lega.
Tidak lama kemudian kami pun pamit.
"Kamu berhasil membuatku gemetar," bisikku terus terang.
"Aku tahu, makanya ditunda dulu," jawabnya enteng.
Gaun dan cincin andai diambil semua sudah hampir tiga ratus juta. Busyet hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga jam. Pantas saja mamanya ngomong seperti itu. Aku bukan pasangan yang tepat. Ia lalu membawaku ke toko sepatu dan memintaku untuk mencoba beberapa.
"Pilih saja, jangan lihat harganya. Yakinlah, membeli lebih dari sepuluh pasang tidak akan membuatku bangkrut," bisiknya.
Aku langsung melotot. Jujur, aku ingin pulang. Mungkin orang mentertawakan kekonyolanku. Bukankah ini kesempatan untuk mendapatkan banyak hal dengan mudah? Sayang itu bukan cara berpikirku.
"Aku ke toilet sebentar," katanya seraya menyerahkan sebuah kartu platinum ke tanganku.
"Aku juga mau ikut ke toilet," jawabku cepat.
"Nope, stay. Cuma sebentar saja. Just shop til you drop," godanya sambil tertawa.
Kartu itu terpaksa aku terima. Jujur, aku ingin segera ke atm dan melihat berapa banyak isinya. Sumpah pertama kali seumur hidup aku sepenasaran ini. Hanya saja itu tidak sopan. Aku bingung memilih sepatu apa. Karyawan toko itu dengan ramah menunjukan semua model.
"Kalau untuk pernikahan yang putih atau hitam pasti cocok untuk dipilih," ucapnya seraya menunjukkan model keluaran terbaru.
Dua juta rupiah, aku rasa ini sudah cukup. Modelnya pun simple. Aku masih bisa membayarnya sendiri dari tabungan.
Saat sedang berdiri di depan kasir Pak Danen menyapa dan mengerutkan kening saat melihat atm-ku yang sedang di gesek.
Aku mengembalikan kartu miliknya dan ia menolak.
"Kamu pegang saja," bisiknya seraya tersenyum.
"Kok begitu?"
"Ya, siapa tahu kamu ingin beli sesuatu."
Tatapannya memaksaku untuk menyimpan kartu tersebut.
"Biar kamu lebih santai kita makan siang dulu, setelahnya bisa nonton film. Wajahmu terus-terusan tegang. Aku khawatir kamu malah pingsan," ucapnya.
Aku bisa menarik dengan napas lega. Bersyukur tidak ada kegilaan setelah ini.
Sekarang sikap mamanya terasa begitu wajar. Ia tidak berlebihan aku rasa. Mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama.
***
Usai film, pak Danen mengajakku ke salon.
"Buat apa? Kan, mau ke rumah sakit?" tanyaku heran.
"Ya biar fresh setelah seharian kita di jalan, lagian aku ingin potong rambut sebelum pergi ke luar negeri biar rapi," ucapnya membuatku tidak bisa menolak.
Salon pun masih dalam satu mall yang sama hanya beda lantai. Beberapa perawatan ia pilihkan. Aku rasa sampai sore kami akan menghabiskan waktu di sini.
Salon untuk pria dan wanita terpisah, hal itu hanya bisa membuatku pasrah. Layanan dari ujung rambut sampai ujung kaki terus terang aku nikmati. Baru kali ini aku mendapatkan layanan seperti ini. Pantas saja para wanita betah berada berjam-jam di sini.
Tubuh terasa rileks dan segar setelahnya. Saat aku pikir semua sudah selesai, seorang hairdresser malah menahanku.
"Belum selesai, Mbak. Sabar, ya kita make up dulu," katanya sambil tersenyum.
Ya ampun, apalagi! Aku hanya bisa pasrah saat ia mulai membersihkan wajah dan mengerjakan tugasnya.
Semua selesai sebelum jam lima sore. Itu artinya hampir satu hari penuh aku menghabiskan waktu di mal. Sungguh ini peristiwa yang akan aku ingat seumur hidup.
Pak Danen menghampiri dan langsung memberikan pujian.
"Cantik sekali, Sayang. You look so perfect," pujinya.
"Mau make up juga?" sindirku.
Pria bertubuh tinggi itu malah tertawa.
"Apa ini tidak berlebihan?" tanyaku pelan.
"Tidak. Malah membuatku waswas khawatir kamu berubah pikiran," godanya seraya meraih tanganku.
Aku tersenyum kecut menanggapi ucapannya. Andai aku secantik yang Pak Danen ucapkan, pasti Vano tidak akan menghilang. Ah sudahlah. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Bila pergi menjadi pilihannya, yang dapat aku lakukan adalah mengikhlaskannya. Kalau memang bukan jodoh, ya tidak dapat dipaksakan.
***
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Saat ini kami menuju ke rumah sakit. Telepon Pak Danen berdering, pria itu hanya menatap layarnya sesaat.
"Aku rasa Mama sudah sampai rumah sakit. Sebentar lagi kita sampai. Jangan tegang seperti itu, santai saja," katanya sambil tersenyum berusaha menenangkan.
Pria itu meremas tanganku pelan,
"Apa pun yang terjadi sebentar lagi, kita harus saling mendukung. Tetap di sisiku sampai akhir," ucapnya saat memarkirkan mobil.
Aku mengangguk memberikan persetujuan. Pria itu menatapku cukup lama sebelum membuka pintu mobil. Kami berjalan berdampingan. Aku bisa melihat Mama menatapku cukup tajam. Aku yakin ia sebenarnya belum bisa merestui kami.
"Dan, Mama pikir kamu tidak jadi datang," ucapnya dengan nada datar.
"Jadi. Semua sudah siap. Semoga lancar," jawabnya penuh teka-teki.
Mama tiba-tiba menghampiri dan berdiri di sisiku. Aku menatapnya dengan hati berdebar.
"Aku sudah tahu rencana Danen," bisiknya mengejutkan.
Pantas saja ia bersikap lebih baik. Aku mengangguk tanda mengerti.
"Well, mungkin saatnya aku mengucapkan terima kasih," ucapnya sambil tersenyum tipis.
Setidaknya perempuan ini sudah tahu tentang perjanjian kami. Aku bisa merasa lebih lega.
Setiba di ruangan, Bapak menatapku dengan sedikit terkejut. Pasti beliau heran dengan dandananku yang berbeda dari biasanya.
"Sesuai permintaan Bapak, saya membawa Mama ke sini untuk melamar Laras secara resmi," kata Pak Danen mulai membuka suara.
"Benar, Pak. Sudah cukup lama saya berharap Danen melepaskan masa lajang dan rupanya Laras yang sanggup membuat anak saya bertekuk lutut," ucap Mama meyakinkan.
Sumpah aku merinding mendengar ucapannya, bukannya merasa di atas angin, malah aku khawatir dengan kata-kata yang tidak tulus itu. Sedapat mungkin aku menyembunyikannya.
Bapak mengangguk pelan. Desahan napasnya terdengar pelan.
"Kalau memang Laras siap dan sudah yakin. Saya hanya dapat merestuinya. Semoga saya masih bisa melihatnya menikah sebelum menutup mata."
"Andai diizinkan, saya ingin hari ini juga menikah dengan Laras. Setidaknya sebelum saya pergi ke luar negeri untuk perjalanan dinas, kami sudah mempunyai ikatan yang jelas. Setidaknya akhir bulan saya baru bisa pulang," kata Pak Danen mengejutkan.
Hari ini juga menikah? Dia pasti gila. Itu mustahil. Sangat mustahil!
Bapak pun tampak terkejut. Ia menatapku lama.
"Kamu tahu syarat pernikahan?"
Pak Danen mengangguk. Anehnya, Mama malah tampak tenang. Apa rencana yang ada dalam benak mereka? Pak Danen terus memegang tanganku tanpa mau melepasnya walau aku sudah berusaha, tapi gagal.
"Rasanya tidak mungkin kalau sekarang," jawab Bapak pelan.
"Saya sudah mengajukan izin ke sini. Pihak rumah sakit mengizinkan selama pengunjung dibatasi."
"Bolehkah kalau Ibu dan Laras keluar sebentar. Ada yang ingin saya bicarakan secara pribadi," kata Bapak menyuruh kami keluar.
Mama melangkah keluar dan aku terpaksa mengikutinya. Kami berdua berada di luar ruangan tanpa kata.
"Bu, maaf. Saya tidak tahu kalau akan seperti ini," kataku dengan gugup.
Perempuan itu menoleh dan tatapannya tertuju padaku. Ia hanya mengangguk tanpa kata.
"Saya sekarang paham kenapa Ibu merasa saya tidak cukup pantas untuk Pak Danen."
"Kamu tidak bisa mundur, Ras. Kesempatanmu untuk membatalkan sudah hilang sejak membuat kesepakatan. Aku pun tidak bisa mencegahnya. Waktunya semakin mendesak. Terima saja. Mungkin kita tidak akan bisa akrab dan bersahabat, setidaknya kita bisa menjaga jarak," jawabnya dengan dingin.
Ucapannya jelas dan tegas. Aku kehilangan kata. Kami kembali terdiam. Seorang Ustaz datang bersama dua orang pria paruh baya.
"Maaf, kami sedikit terlambat," ucap pria itu pada Mama.
"Tenang saja Pak. Silakan duduk dulu."
Mereka hanya tersenyum dan menolak halus.
Tidak lama kemudian Pak Danen keluar ruangan dengan senyum lebar.
"Ayo masuk."
Mama dan kedua pria itu pun berdiri. Aku hanya menatapnya. Rasa takut menyelimuti hatiku. Sekali aku melangkah mungkin aku tidak bisa lagi mundur. Bagaimana kalau ini langkah yang salah?
Pak Danen menghampiri. Ia tersenyum.
"Bapak mengizinkannya. Kamu ingin ganti baju dulu? Atau begini saja tidak masalah, kamu tetap cantik dengan baju apa saja," rayunya.
"Ini beneran?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Mau aku cium biar yakin kalau ini nyata?"
Aku langsung memelototinya.
"Bagaimana mungkin Bapak seketika setuju? Abang bicara apa?" tanyaku curiga.
"Sayang, kamu tahu kondisinya tidak dapat diprediksi. Kemoterapi lanjutan tidak dapat menjamin kondisinya akan stabil. Beliau juga menyadari hal itu. Lagian mau ditunda sampai kapan?"
Aku hanya mematung. Semua ucapannya benar adanya. Kondisi Bapak yang membuatku nekat mendaftar di aplikasi madam rose. Saat ada pria yang menyanggupi kenapa aku malah mau kabur. Ini bukan tentang aku dan Pak Danen, tapi tentang kepentingan. Aku tidak boleh membawa perasaan ini keluar jalur. Ini murni kesepakatan.
Pelan aku menarik napas dan mengangguk setuju. Ini hanya soal waktu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top